-->

Ilusi Pemberantasan Korupsi


Oleh : Ratna, Aktivis Muslimah
 
Dalam sepuluh tahun terakhir kasus korupsi di negeri ini semakin menjadi yang meliputi semua bidang, terutama di semua lembaga pemerintahan. Seperti: Pertama, sektor pertambangan. Paling mutakhir adalah korupsi dalam tata Kelola timah selama 2015-2022 yang menyebabkan kerugian negara secara fantastis sekitar 271 triliun yang meliputi kerugian ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, biaya pemulihan lingkungan dan kerugian di luar kawasan hutan. Ini baru satu kasus di sektor pertambangan, selain sektor minerba adalah yang paling banyak merugikan negara. Korupsi di BUMN mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka sekitar 2016-2021 
(Kompas.id, 4/01/2024).

Kedua, sektor pembangunan dan infrastruktur. Salah satu modus korupsi di sektor ini menurut study word bank adalah mark up yang sangat tinggi, bisa lebih dari 40%. KPK mencatat, korupsi di sektor ini terjadi pada tahapan perencanaan, proses pengadaan, hingga pelaksanaan. Dari nilai kontrak 100%, ternyata nilai riil infrastruktur hanya tinggal 50% (kpk.go.id, 20/5/2022).
 
Ketiga, sektor pendidikan. Terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak APH (Aparat Pengelola Hukum sepanjang Januari 2016-September 2021 yang menimbulkan kerugian negara hingga RP1,6 triliun dan kemungkinan lebih besar dari itu. Selain itu, dari observasi Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) struktur pendidikan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dimanfaatkan, baik kondisi mangkrak atau tidak lengkap. ICW menyebutkan korupsi di sektor pendidikan masuk dalam lima besar (antikorupsi.org, 19/11/2021).
 
Keempat, sektor pemerintahan. Tiga pilar kekuasaan di negeri yang popular disebut trias politica sudah cukup lama tertular penyakit korupsi. Begitu banyak elite trias politica yang mendekam dalam penjara karena korupsi. Menurut KPK, semenjak 2004-2023 ada 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD juga pejabat (KPK.go.id.18/10/23). 
 
Korupsi juga melibatkan para kades, jumlah tindak pidana korupsi oleh walikota/bupati naik menjadi 19 orang dari tahun sebelumnya (katadata.co.id, 15/08/22). Sejak pemerintah menggelontarkan dana desa (2015), banyak korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan aparatnya. Dari 17 kasus dengan 22 tersangka ditahun 2016, menjadi 155 kasus dengan 252 tersangka setelah 6 tahun (KPK.go.id, 21/08/23). 
 
Menurut Peneliti ICW, Dicky Anandya, dalam nawacita 2014 dituliskan secara jelas bahwa penegakkan hukum ingin diperkuat dengan basis nilai-nilai antikorupsi. Namun seiring berjalannya waktu komitmen nawacita ini mulai berubah dari sikap awalnya. Justru ada Upaya melemahkan KPK secara kelembagaan melalui revisi UU KPK, serta adanya tes TWK (Tes Wawancara Kebangsaan) ditengarai sebagai peneybab melemahnya lembaga antikorupsi itu.  
 
Komitmen-komitmen tentang antikorupsi tidak akan pernah ada realisasinya selama faktor utama penyebab korupsi yang berpangkal pada ideologi yang diterapkan di negeri ini, yaitu kapitalisme, demokrasi, yaitu kapitalisme-sekuler yang terwujud dalam nilai-nilai yang terwujud oleh masyarakat kini yang terlibat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonism, sistem demokrasi yang menciptakan politic patronese, yakni pembagian keuntungan di antara politisi dan pendukungnya. 

Bancakan kekuasaan ini juga membuka peluang besar terjadinya korupsi. Sebabnya banyak proyek di pemerintahan akhirnya dikuasai oleh golongan tertentu untuk kepentingan kelompok sendiri. Pengawasan dan penindakan pun menjadi sulit untuk dilakukan karena terjadi konfllik kepentingan diantara legislatif, eksekutif, bahlan yudikatif. 
 
Jika dilihat, dalam pandangan syariat Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat, sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, halaman 31, korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu penggelapan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya. 

Rasul bersabda,“Siapa saja yang kamiangkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul” (HR. Dawud & Al Hakim).

Faktor utama penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ditetapkan di negeri ini yakni kapitalisme-sekuler yang terwujud dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonism. Dan paham inilah yang menjadi salah satu factor penyebab adanya korupsi. 

Ada juga faktor pendukung yakni lemahnya karakter individu (misal individu yang tidak tahan godaan suap, adanya budaya suap atau grativikasi yang berawal dari inisiatif Masyarakat. Ditambah pula penegakkan hukum yang lemah, seperti adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera. 
 
Karena faktor utama penyebab korupsi adalah ideologi, maka, langkah utama yang harus dilakukan yakni menghapus pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis. Lalu, diterapkan syariat Islam sebagai satu-satunya system hukum yang semsetinya berlaku dan penerapan syariat Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).  

Secara preventif, paling tidak ada enam langkah untuk mencegah korupsi, yakni; rekruitmen sumber daya manusia aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas bukan berasaskan konektivitas atau nepotisme; negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh apparat dan pegawainya; negara wajib meberikan gaji dan fasilitas yan laykan kepada aparatnya; Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para parat negara; Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi para aparat negara dan pengawasan oleh masyarakat. 
 
Adapun secara kuratif, membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk koruptor massuk kategori ta’zir, yakni hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim atau penguasa. []