-->

Kenaikan PPN 12%, Solusi untuk Menambah Pendapatan Negara?


Oleh : Lisa Ummu Salman
(Praktisi Pendidikan)

Kebijakan ekonomi dan kebijakan fiskal seharusnya berfokus untuk kemaslahatan umat. Bukan hanya sekadar memenuhi target untuk menambah pendapatan negara.

Mengutip dari Kompas, Kamis 14 November 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2025 pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Komisi XI DPR RI menyetujui rencana pemerintah tersebut untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Keputusan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kebijakan ini diambil oleh Pemerintah untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan menghadapi potensi krisis ekonomi global. Menurut Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang dikutip ekonomi.bisnis.com, Selasa 19 November 2024, kenaikan tarif PPN diperkirakan akan menambah pendapatan negara minimal Rp100 triliun. Selain itu, Sri mulyani Indrawati yang dikutip dari ekonomi.bisnis.com, Selasa, 5 Maret 2024 tax ratio Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara – negara anggota ASEAN, G20, serta The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta penyesuaian terhadap standar international (Tempo, Jumat, 15 November 2024). 

Mengutip Kompas.com, Kamis, 6 Juni 2024, ada beberapa kasus korupsi dengan nominal yang fantastis yang merugikan Indonesia, diantaranya kasus korupsi PT Timah (271T), kasus BLBI (138T), penyerobotan lahan PT Duta Palma Group (78T), pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur yang terjadi pada 2009-2011 menyeret PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (37,8T), PT Asabri merugikan negara 22,7T, PT Jiwasraya (16,8T), izin ekspor minyak sawit mentah (12T), pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 (9,37T), korupsi proyek BTS 4G (8T), serta korupsi Bank Century (6,7T). Melihat data korupsi tersebut, target dari pendapatan yang diperoleh dari kenaikan PPN 12% tidak sebanding dengan uang negara yang dikorupsi PT Timah. Hal ini menunjukkan bahwa target penerimaan dari kenaikan PPN (Rp 100 triliun) jauh lebih kecil dibandingkan kerugian negara akibat korupsi. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kebijakan tersebut dibandingkan dengan upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi yang lebih signifikan dalam meningkatkan pendapatan negara.

Mengutip Bisnis.com, Selasa, 10 Desember 2024, Pemerintah berencana meningkatkan pinjaman luar negeri pada tahun 2025 hingga 219% dibandingkan tahun 2024 untuk mendanai program-program Presiden Prabowo Subianto yang telah tercantum dalam APBN. Rencana hutang luar negeri yang akan dilakukan pada tahun 2025 adalah sebesar Rp775,87 triliun. Hal ini bertolak belakang dengan berita di Tempo terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12% untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Kenaikan PPN 12% masih diiringi dengan rencana kenaikan utang luar negeri bahkan hingga 219% dibandingkan pada tahun 2024. 
Mengutip news.ddtc.co.id, Rabu, 26 Juni 2024 tax ratio Indonesia lebih rendah dibandingkan negara- negara anggota ASEAN lainnya. Tax ratio Indonesia hanya 12,1% lebih rendah dibandingkan rata- rata OECD (34%). Tax ratio merupakan penerimaan pajak terhadap GDP. Seharusnya semakin rendah tax ratio semakin baik, karena pemerintah memenuhi kebutuhannya tidak hanya bersumber dari pajak. Kalau tax ratio semakin tinggi artinya pemenuhan kebutuhan bersumber dari pajak. Hal ini tentunya akan memberatkan masyarakat.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya pemungut pajak akan masuk neraka." 
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." 
(HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruqutni)
Dalam hadits tersebut terdapat larangan untuk memungut pajak. Apalagi pajak atau tarikan yang memberatkan rakyatnya. Karena sejatinya tugas negara adalah melayani rakyatnya, memenuhi kebutuhannya, serta menjamin kesejahteraannya.

Pendapatan negara dalam sistem ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan, dan keberlanjutan. Sumber pendapatan negara islam jauh lebih beragam dan tidak hanya bergantung pada pajak, melainkan juga dari berbagai instrumen syariah yang bertujuan untuk menyeimbangkan distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat. Berikut beberapa sumber pendapatan negara dalam sistem ekonomi Islam: zakat (QS. At-Taubah: 103), ghanimah/harta rampasan perang dan fay'/harta yang diperoleh tanpa pertempuran, seperti aset dari perjanjian damai (QS. Al-Anfal: 41), jizyah/pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang tinggal di negara Islam sebagai imbalan perlindungan dan layanan negara (QS. At-Taubah: 29), kharaj/pajak atas tanah yang dikenakan kepada pemilik tanah, baik Muslim maupun non-Muslim, ushur/pajak perdagangan yang dikenakan pada barang dagangan yang melewati batas wilayah negara Islam, wakaf/harta yang diwakafkan oleh individu untuk kepentingan umat, amwal fadhlah (harta tak bertuan). Ada juga pendapatan lain, seperti hasil dari asset negara dan lainnya (mutafarriqah).

Demikianlah Islam mengatur sumber penerimaan negara. Kesempurnaan sistem ekonomi Islam di atas hanya dapat diterapkan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Penerapan Islam tidak hanya akan membawa kesejahteraan bagi seluruh manusia (muslim dan nonmuslim), melainkan juga akan membawa keberkahan dari Allah Swt.