Kepemimpinan Islam Wujudkan Jaminan Atas Rumah Layak Huni
Oleh : Soelijah W. (Aktivis Muslimah)
Termaktub dalam pasal 28 H, ayat 1, UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik, sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Maka hal tersebut menjadi kewajiban negara untuk berperan dan bertanggung jawab menyediakan lingkungan layak beserta pelayanan kesehatannya.
Namun fakta berkata lain. Pada 4 Desember 2024, Hasyim Djoyohadikusumo (adik dari Presiden terpilih, Prabowo Subianto) selaku Ketua Satgas Perumahan dalam Program penyediaan rumah, ada sekitar 11 juta keluarga antri mendapatkan rumah layak. Menurut statistik pemerintah, 27 juta keluarga tinggal di rumah tak layak huni, berupa gubuk dan sebagainya.(www.finance.detik.com)
Faktor Penyebab
Beberapa faktor penyebab belum terpenuhinya kebutuhan rumah layak untuk sebagian masyarakat diantaranya adalah melambungnya harga tanah. Lahan yang terjangkau biasanya jauh dari pusat perekonomian dan sosial masyarakat, bahkan meski pemerintah sudah mensubsidi dalam pembangunan dan pemilikan rumah hunian, namun harganya tetap saja mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat.
Bagi warga yang sudah memiliki lahan dan hendak membangun rumah pun merasa kesulitan akibat harga-harga material atau bahan bangunan yang sangat mahal. Akhirnya tinggal di tempat seadanya asalkan terlindung dari terik matahari dan hujan pun menjadi pilihan terakhir mereka. Meskipun kondisi bangunan yang tidak layak atau tidak memenuhi standar bangunan layak huni.
Kapitalisme Abai Terhadap Urusan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan tanggung jawab kesejahteraan seluruh rakyat kepada negara, namun apa daya sistem pemerintahan yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalisme. Sistem yang menempatkan kebutuhan akan rumah layak huni kemudian menjadi tanggung jawab individu. Negara hanya berperan sebagai regulator. Hal ini menunjukkan negara abai pada tugas utamanya sebagai raa'in (pengurus) rakyat terutama pada rakyat yang lemah dan miskin.
Negara tidak memberikan perhatian serius pada rakyatnya yang telah puluhan tahun harus hidup di bawah kolong jembatan, bantaran sungai atau pun di gang-gang sempit yang sama sekali tidak sehat. Kondisi mereka yang rentan gizi buruk/stunting (dialami 25% anak Indonesia). Atas nama liberalisasi, negara malah menyerahkan pemanfaatan lahan/konsesi pada swasta, mengakibatkan kekayaan milik umum berupa barang tambang seperti pasir, batu, besi, semen, kayu serta hutan berada dibawah kendali korporasi yang berakibat pada mahalnya lahan, bahan bangunan dan tak terkendalinya harga rumah. Di sisi lain, negara juga gagal mengentaskan kemiskinan yang menyebabkan rakyat makin kesulitan mengakses kebutuhan akan papan yang layak huni.
Sistem yang Bertanggung Jawab Hanya Ada dalam Islam
Bagaimana kondisi saat negara yang menerapkan Islam Kaffah? Tentu saja akan berbeda keadaannya. Islam memandang negara adalah pihak yang bertanggung jawab secara langsung sehingga tiap individu bisa mengakses rumah yang layak. Memperoleh hak atas hunian dengan harga terjangkau dengan cara perolehan yang syar'i. Hunian dengan lingkungan aman, nyaman serta memenuhi aspek kesehatan. Inilah pengaturan Islam tentang kepemimpinan (yang tidak boleh berperan hanya sebagai regulator saja) serta sifat-sifatnya yaitu yang pertama, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwasanya "Imam (Khalifah) adalah raa'in/ pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (HR. Bukhari). Kedua, kepemimpinan Islam harus dipenuhi dalam dirinya yakni sifat kepribadian Islam, ketakwaan welas asih terhadap rakyatnya dan tak menimbulkan antipati, (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakshiyah Islamiyah Juz 2, halaman 158). Ketiga, tanggung jawab penguasa terhadap rakyat adalah senantiasa memperhatikan rakyat, memberikan nasehat, memperingatkannya, tak menyentuh sedikitpun harta kekayaan milik umum dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain, (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakshiyah Islamiyah, Juz 2 halaman 161).
Oleh karena itu dalam pemenuhan kebutuhan akan papan, maka negara tidak dibenarkan mengalihkan pemenuhannya pada pihak swasta. Kepemilikan lahan diatur syariat sehingga menjadi jalan kemudahan rakyat untuk memiliki hunian layak dengan mekanisme mutlak pembiayaan pembangunan perumahan berbasis Baitul Maal dan dibenarkan selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim. Bahkan bagi rakyat yang tidak mampu memiliki, negara akan menjamin dengan mekanisme Iqtha'/pemberian lahan milik negara secara cuma-cuma sekaligus membangunkan rumah diatasnya.
Darimanakah sumber-sumber pemasukan untuk membiayai seluruh kebutuhan tersebut? Yaitu berupa pos kepemilikan umum yang bersumber dari sumber daya alam yang jumlahnya melimpah seperti barang tambang, hutan, gunung, danau yang sebagiannya menjadi bahan dasar pembuatan rumah. Negara wajib mengelolanya dan mendistribusikan pada seluruh rakyat dan menjualnya dengan harga yang murah sehingga dapat terjangkau.
Sungguh hanya dengan penerapan Islam Kaffah dalam bingkai Khilafah yang menjadi jawaban atas problem jaminan ketersediaan perumahan bagi seluruh rakyat. Wallahu a'lam bi ash-shawaab.[]
Posting Komentar