Listrik Belum Merata Kemaslahatan Rakyat Diabaikan
Oleh : Ummu Naura
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, mengatakan sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik. Sampai dengan Triwulan I 2024, Ditjen Ketenagalistrikan telah menetapkan daerah belum berlistrik sebanyak 0,13 persen, 112 desa/kelurahan,”
Listrik merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Faktanya, di Jawa Barat (Jabar) ada 22.000 kepala keluarga (KK) belum teraliri listrik. Hal tersebut terungkap saat debat Pilkada Jawa Barat 2024, sabtu 23 November 2024.
Para calon gubernur diminta menyampaikan program dan strateginya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Bahkan, sampai triwulan I tahun 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik, ungkap Jisman P Hutajulu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6177 Tahun 2022 tentang pemberian dan pemutakhiran kode, data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau, rasio Desa berlistrik sudah sebesar 99,87%. rinciannya sekitar 92,33% atau sekitar 77.342 desa/kelurahan mendapat aliran listrik dari PT PLN.
Kemudian sebanyak 4,27% atau sekitar 3.573 Desa mendapat aliran listrik dari perusahaan penyedia listrik selain PLN selanjutnya 3,27% atau 2.736 desa atau kelurahan mendapat aliran listrik dari Program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE)
Liberalisasi Listrik
Fakta adanya wilayah yang belum mendapat layanan listrik sangat patut dipertanyakan. Pada zaman serba digital hari ini, negeri ini masih saja bergumul dengan persoalan klasik, yakni pemerataan fasillitas dan layanan publik wilayah pelosok atau terpencil.
Ini karena hajat hidup publik seperti energi listrik diliberalisasi sedemikian rupa menjadi layanan berbayar alias tidak gratis.
Liberalisasi ditandai dengan dominasi swasta dalam mengelola hajat hidup masyarakat. Liberalisasi bidang energi listrik sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Pada tahun 1990-an, telah banyak berdiri independent power producer (IPP) melalui perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA).
IPP tersebut mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksi listriknya ke PLN. Pada akhirnya, skema kerja sama ini memaksa PLN selaku BUMN membeli listrik kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat.
Peran IPP untuk mendukung ketersediaan listrik kian meningkat. Nilai tenaga listrik yang dibeli PLN dari IPP makin meningkat tiap tahunnya. Pada 2016 nilai tenaga listrik yang dibeli PLN sebanyak Rp60 triliun hingga pada 2021 mencapai Rp104 triliun.
Negara merasa terbantu dengan kehadiran IPP karena membangun sebuah pembangkit listrik memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu pembangunan yang lama sehingga menggandeng pihak luar menjadi dalih pembenar.
Kebijakan ini makin dilegitimasi dengan terbitnya UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang menyebut bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik.
Dengan UU ini, pemerintah menggandeng swasta sebagai pembangkit listrik dengan alasan percepatan pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai pihak swasta, IPP pasti menginginkan keuntungan mengingat biaya untuk membangun pembangkit listrik sangat besar. Layaknya perusahaan swasta pada umumnya, berbisnis di bidang energi yang dibutuhkan masyarakat harus mendatangkan keuntungan besar bagi mereka.
Hingga saat ini, IPP hanya mau berinvestasi membangun pembangkit listrik di wilayah-wilayah pusat beban listrik, seperti Sumatra dan Jawa. Sangat wajar jika wilayah pelosok seperti Papua dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan pembangkit listrik. Dari aspek infrastruktur dan perekonomian, investor belum tertarik membangun pembangkit listrik di wilayah pelosok atau terpencil.
Keran liberalisasi listrik makin menguat setelah penerbitan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan berbagai kemudahan bagi investor swasta dalam negeri maupun asing di bidang energi listrik.
Meski UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan pemerintah menggantinya dengan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja, isi Perppu tidak banyak berbeda dengan UU Cipta Kerja yang menuai polemik itu.
Sinyal liberalisasi listrik makin menjadi setelah pro dan kontra perihal power wheeling. Skema power wheeling menjadi salah satu isu sentral dalam pembahasan tentang RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Sebagai informasi, power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara atau PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi PLN. Bahkan, skema ini bisa menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
Skema ini menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan karena dinilai hanya mementingkan bisnis swasta semata. Sebelumnya, Kementerian ESDM berencana membuka skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET ke DPR untuk dibahas. Namun, setelah mendapat banyak tentangan dari publik, pemerintah mencabutnya dari DIM.
Dari berbagai fakta tersebut, jelas sudah kapitalisasi energi listrik sangat tampak. Sangat wajar jika masyarakat pelosok mengalami kesulitan dalam mengakses layanan listrik
Pengelolaan Listrik dalam Pandangan Islam
Islam menetapkan listrik sebagai milik umum dilihat dari dua aspek.
Aspek pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori api yang merupakan milik umum.
Aspek kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta, sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara yang juga milik umum.
Rasulullah Saw. Bersabda, yang artinya “kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air dan api,” terjemahan hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad.
Listrik statusnya sebagai kepemilikan umum, maka Islam menetapkan pengelolaannya oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah, yakni mudah dijangkau. Islam juga melarang penyerahan pengelolaan listrik kepada pihak swasta dengan alasan apapun.
Negaralah yang bertanggung jawab memastikan setiap individu rakyat mendapatkan layanan listrik hingga ke pelosok.
Negara tidak boleh membiarkan satupun rakyat, tidak bisa mengakses listrik. Sebab listrik merupakan kebutuhan dharuri (urgen) untuk menunjang aktivitas sehari-hari rakyat.
Dalam mengelola layanan listrik ini, negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya.
Terkait hasil pengelolaan batu bara untuk listrik, ini pun haram dikomersilkan negara. Negara tidak boleh menjadikannya objek bisnis. Negara wajib menjamin kualitas maupun kuantitasnya sehingga tidak satupun rakyat terhalang mendapatkannya, baik rakyat kaya atau miskin, muslim maupun nonmuslim.
Pengelolaan listrik tentu membutuhkan dana yang besar. Pengeluaran dana yang besar ini harus dipandang sebagai bentuk pengurusan negara pada umat agar kebutuhan umat bisa merata baik di kota maupun di desa.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang dapat menerapkan konsep kepemilikan Islam dan memosisikan listrik sebagai kebutuhan umat yang wajib dipenuhi negara. Supaya semua lapisan masyarakat dapat menikmati listrik secara merata dan kemaslahatan rakyat tidak terabaikan.
Wallahu a’lam bishshowaab
Posting Komentar