Maraknya Konten Pornografi Anak, Tanda Matinya Fungsi Pilar Penjaga Generasi
Oleh : Nina Nurhasanah
(Aktivis Dakwah)
Dua kasus eksploitasi anak dan penyebaran konten pornografi melalui aplikasi Telegram telah dibongkar oleh Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. "Meguru Sensei" merupakan nama grup aplikasi Telegram dengan tersangka berinisial MS (26). Kasus ini pertama kali diungkap oleh Wakil Dittipidsiber Kombes Pol Dani Kustomi, di Mabes Polri Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024).
"Penangkapan tersangka dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2024, di Jetis, Kecamatan Gerogol, Kota Sukoharjo, Jawa Tengah. Tersangka merupakan pelaku penjual konten video asusila anak di bawah umur yang bisa di akses melalui media sosial Telegram" ucap Dani Kustomi.
Diketahui tersangka MS mengunduh konten video asusila melalui berbagai sumber di internet, yang kemudian dijualnya kembali di grup Telegram yang telah dibuatnya. Dia mematok harga mulai dari Rp.50.000 hingga Rp.250.000.
Kemudian kasus kedua yakni "Acil Sunda" yang merupakan sebuah nama grup Telegram yang dibuat oleh tersangka berinisial S (24) dan SHP (16). Di mana di dalamnya terdapat eksploitasi dan penyebaran video asusila anak. Kini tersangka S telah ditangkap di Kampung Babakan, Kecamatan Mancak, Kota Serang Banten.
Inilah realitas yang terjadi di negeri ini yang seharusnya kita renungi. Lantas bagaimana masa depan anak-anak kita kelak, jika ini dibiarkan terjadi?
Sungguh miris, di usia anak-anak yang belum matang akalnya ini justru malah disuguhi tontonan yang merusak. Aktivitas generasi telah dibajak oleh pebisnis kotor dan dirusak masa depannya sebagai penerus bangsa. Harus kita akui bahwa anak-anak saat ini telah tumbuh pada lingkungan yang tidak ideal. Orang tua yang sudah berupaya sekeras apa pun memproteksi anak-anaknya akan terasa berat karena selalu hadir di sekelilingnya pada gaya hidup yang mendewa-dewakan syahwat.
Prinsip hidup sekular yang menyebabkan adanya kondisi semacam ini, di mana menjunjung nilai kebebasan seperti kebebasan berperilaku. Sistem ini menjadikan duniawi yang bersifat sesaat sebagai standar dan tujuannya. Prinsip Ketuhanan bukan tidak diakui, namun hanya sekadar dianggap ritual peribadatan saja. Bahkan sistem sekular ini justru berkontribusi besar dalam mengikis keimanan pada setiap individunya, sehingga keimanan bukan lagi menjadi kontrol mereka dalam mengarungi kehidupan secara utuh. Sekularisme melahirkan prinsip hidup yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan sesuatu tanpa peduli halal dan haram. Termasuk dalam mencari uang, kebebasan berperilaku ini yang akhirnya mendorong lahirnya bisnis haram yang bergelimang syahwat, tak peduli nilai moral apalagi nilai spiritual. Standar Hakiki kebahagiaan dalam kehidupan sekular adalah bergelimang materi. Maka wajar hal ini terjadi meski seruan moral selalu disuarakan. Konten pornografi tetap saja mudah diakses, aplikasi kencan bebas semakin marak, sehingga memicu berperilaku apapun agar syahwat terpuaskan.
Pada satu sisi, sistem hukum yang menjamin prinsip kebebasan bagi individu telah tercipta karena sekularisme. Setiap individu dipastikan oleh Negara memperoleh kebebasan sebagaimana yang dijamin dalam Demokrasi yaitu bebas berperilaku, berpendapat, berekspresi, bebas untuk menentukan agama yang dianutnya, dan bebas untuk memiliki sesuatu. Sekilas terlihat dengan jaminan kebebasan ini manusia akan bahagia dan hidup tenang. Namun kenyatataanya malah menimbulkan berbagai problematika di tengah masyarakat dan tanpa disadari menjadikan Negara mandul atas perannya sebagai pengayom dan pelindung. Arti pelindung di sini adalah menciptakan sistem hukum yang sifatnya preventif dan berefek jera. Rakyat yang harusnya dilindungi tetapi Negara seolah setengah hati dalam melindunginya. Kebebasan individu dijamin tetapi di lain sisi Negara abai menjamin hak hidup anak yang layak menikmati sistem sosial yang sehat.
Inilah realitas hidup dalam sistem sekular. Peran Negara cenderung di wilayah abu-abu. Sistem hukum yang lemah berpotensi memunculkan kasus yang serupa. Industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari sebelumnya dikarenakan adanya kemajuan teknologi dan digitalisasi. Saat ini banyak sekali aplikasi yang mudah diakses secara bebas oleh semua kalangan. Anak-anak zaman sekarang mudah sekali berselancar di dunia maya. Memang awalnya mereka tidak memahami konten-konten negatif tetapi lingkaran pertemanan dan disertai aktivitas mereka di dunia digital yang bebas tanpa batas yang akhirnya membuat mereka terpapar konten pornografi. Kondisi ini makin parah dengan tidak adanya sistem proteksi digitalisasi. Walaupun konten ini di labeli 18+ atau sejenisnya, anak-anak tidak akan mampu menoleransi peringatan tersebut karena kondisinya sudah kecanduan pornografi.
Sungguh miris jika melihat fakta yang disuguhkan bahwa rata-rata usia termuda anak yang kecanduan pornografi adalah 11 tahun (setara anak kelas 4 sampai 5 SD). Konten negatif telah mengontrol hati dan pikiran mereka hingga terjajahnya naluri seksual anak-anak sejak dini. Bisa jadi orang tua pun belum sempat memberikan penjelasan pada usia prabaligh mengenai fitrah yang melekat sejak lahir itu. Namun ternyata telah dibajak oleh liberalisasi yang berefek pada kecanduan pikiran yang menjadi tidak produktif dan kecenderung hati mereka kepada kemaksiatan.
Negara tidak boleh abai atas hal ini dan orang tua juga tidak boleh pasrah menyaksikan perbuatan kriminal ini. Jika sistem sanksi dan hukuman sudah ada namun tidak membuat efek jera maka perlu adanya pengkajian ulang untuk membahas apa akar masalahnya. Sistem sosial yang "sakit" adalah penyebab awal dari adanya lingkaran bisnis syahwat ini. Standar halal dan haram dalam perbuatan tidak lagi diperdulikan yang akhirnya melahirkan pebisnis yang hanya memikirkan keamanan dirinya saja, tetapi dengan cara mengeksploitasi anak-anak di bawah umur. Secara tidak langsung media saat ini menjadi sarana pembangkit syahwat dengan berbagai unsur erotik dengan akses visualisasi, syair, dan sejenisnya. Berlakunya sistem sekular dan liberalisasi membuat tayangan atau konten porno bebas dibiarkan berkeliaran demi meraup keuntungan tanpa peduli kualitas dan masa depan generasi.
Islam adalah solusi
Hak hidup manusia telah dijamin oleh islam. Terwujudnya melalui penerapan syariat (Maqhashid Syariah) yaitu memelihara Agama (Hifzh al-Din), memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs), memelihara akal (Hifzh al-'Aql), memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl) dan memelihara Harta (Hifzh al-Mal). Dengan 5 jaminan pemeliharaan ini, generasi akan terlindungi dan terselamatkan dari paparan pornografi dan tentunya butuh peran Negara di dalamnya. Terjaminnya pemeliharaan akal dalam sistem Islam kepada anak-anak misalnya, yang nantinya mereka dapat tumbuh sesuai fitrah mereka sebagaimana layaknya manusia.
Sejumlah aturan umum telah digariskan oleh Islam yang secara langsung berperan dalam terjaganya sistem sosial yang sehat diantaranya :
Pertama, Islam mempunyai sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan seperti batasan menutup Aurat dan interaksi antara lawan jenis dalam kehidupan sosial untuk menjaga pandangan. Di lain sisi, sistem pendidikan berbasis Akidah Islam untuk membentuk karakter individu yang bertakwa. Akidah Islam yang kokoh sebagai proteksi agar terjauh dari godaan termasuk dalam hal ini mengakses konten pornografi. Kemudian keimanan yang kuat yakni menghadirkan Allah dalam setiap langkah hidupnya, selalu merasa dalam pengawasan Allah, sehingga menjadikannya takut untuk berbuat maksiat dan menuruti nafsu syahwat.
Kedua, media berjalan sesuai prinsip-prinsip syariat seperti terbebas dari konten asusila baik secara langsung atau sekadar visual, candaan, syair dan lain-lain. Harus dipahami oleh Negara bahwa media sosial saat ini sudah menjadi referensi untuk masyarakat dalam membentuk realitas sosial. Harus dipastikan juga oleh negara bahwa media sosial harus bersih dari konten pornografi sekecil apa pun itu.
Ketiga, sistem keamanan digital akan dibangun oleh Negara agar terjaminnya perlindungan dan menjauhkan generasi dari pemikiran konten rusak dan merusak. Dari sini tidak akan memberi celah sedikitpun pada individu untuk membuat dan menyebarkan konten-konten negatif yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial masyarakat.
Keempat, sanksi tegas untuk para pelaku dengan bertujuan kasus serupa tidak akan terulang. Dalam syariat Islam kasus pornografi terkategori sebagai kasus takzir. Sanksi tegas ini dijatuhkan kepada pelaku melalui wewenang Khalifah. Hukumannya bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai ijtihad Khalifah. Dalam kasus ini adalah anak-anak yang terlibat akan diselidiki dahulu apakah sudah memasuki usia balig atau belum dengan tujuan dikajinya seseorang dalam kondisi sudah terbebani hukum (mukallaf) atau tidak.
Kelima, Negara sangat perlu untuk menyelenggarakan Pendidikan Islam pada usia Kanak-kanak, Mumayyiz, Prabalig hingga Balig, agar generasi dapat memahami tentang sebuah konsekuensi atas ssegala perbuatan dengan tujuan terbentuknya generasi yang berkepribadian Islam. Peran pendidikan sangatlah vital guna membentuk karakter kepribadian pada generasi. Agar terwujudnya generasi yang bertakwa dan mumpuni dalam ilmu, dan memiliki jiwa yang takut hanya kepada Sang Khalik, maka negara harus fokus pada sistem pendidikan Islam.
Maka dari itu Islam mempunyai mekanisme dalam melindungi generasi dari paparan pornografi. Jadi sangat jelas bahwa Islam kafah memiliki konsep yang jelas dalam melindungi generasi dan tidak hanya itu tetapi mencakup jaminan hak hidup mereka dalam lingkup sistem sosial yang sehat,sehingga generasi tidak terbajak produktivitasnya oleh konten negatif di usia muda.
Wallahu A'lam Bishawab
Posting Komentar