-->

MENAIKKAN UPAH MINIMUM UNTUK ATASI DAMPAK PPN 12%, EFEKTIFKAH?

Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Keputusan pemerintah menaikkan PPN 12% (Pajak Pertambahan Nilai) pada tahun depan, menjadi kado pahit bagi masyarakat. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga dan terperosok pula. Sudahlah rakyat sebelumnya sudah menderita karena berbagai harta kebutuhan pokok merangkak naik, ditambah adanya momen nataru (natal dan tahun baru) sembako semakin naik dan naiknya PPN 12% tahun depan akan lebih naik lagi yang pasti membuat membuat hampir semua harga kebutuhan meroket.

Pemerintah berdalih, kenaikan PPN 12% tidak akan mempengaruhi daya beli masyarakat (www.bbc.com, Sabtu 21 Desember 2024) (1) dan tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi (www.beritasatu.com, Sabtu 21 Desember 2024) (2). Presiden Prabowo pun berdalih, tidak masalah PPN 12% naik dengan adanya program MBG (Makan Bergisi Gratis) (www.beritasatu.com, Sabtu 21 Desember 2024) (3). Hal ini menimbulkan gelombang protes di tengah masyarakat, sehingga mereka mengajukan petisi untuk menolak (4).

Perkembangan yang mengiringi lahirnya rencana menaikkan pajak pertambahan nilai PPN menjadi 12% pada tahun 2025, ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan rencana untuk menaikkan upah minimum nasional naik menjadi 6,5% pada tahun 2025. Pemerintah juga telah menyiapkan satgas untuk memastikan perusahaan-perusahaan tidak melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pemerintah berjanji tidak melakukan pemutusan hubungan kerja karena ada kenaikan upah minimum nasional. 

Pertanyaannya adalah, apakah rencana untuk menaikkan upah minimum menjadi 6,5% pada tahun yang sama ketika PPN dinaikkan menjadi 12%, itu akan meredam berbagai efek domino yang ditimbulkan dari kenaikan PPN 12%? 

Dampaknya jelas ada ketika orang mengalami kenaikan pengeluaran, kemudian di saat yang sama dia juga mengalami kenaikan pendapatan. Tidak semua rakyat di Indonesia ini, yang ketika regulasi PPN 12% itu berlaku; maka mereka otomatis masuk dalam jalur regulasi ekonomi. Artinya ada kelompok rakyat yang masih diberi subsidi untuk mengurangi dampak naiknya PPN 12%. 

Jika aparatur sipil negara atau ASN, maka dia juga akan ada buffer (penyangga, bantuan) dari pemerintah. Kalau pekerja swasta, maka bantuannya ada kenaikan upah minimum. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan rakyat lainnya di Indonesia yang jumlahnya jutaan dan mereka tidak ada di dua jalur itu? Mereka tidak menjadi ASN, mereka tidak juga bekerja di perusahaan sebagai pegawai swasta. Tapi mereka bekerja di sektor-sektor informal, yang berarti mereka harus mengatur pengeluarannya secara mandiri. Ini problem pertama yang tidak terpecahkan dari rencana kenaikan PPN 12%. 

Kedua. Apakah mereka yang berada di sektor pekerja swasta tadi, yang dibantu oleh pemerintah dengan memaksa pengusaha menaikkan upah minimum, menjadi solusi terhadap perusahaan juga terhadap pekerja? Dampak tekanan pengeluaran ke perusahaan sudah pasti akan semakin tinggi. Ketika tidak diminta menaikkan upah saja, sudah banyak analisis, akan ada gelombang PHK massal pasca dinaikkan PPN 12%. Karena itu bukan hanya di produk jadi akann terasa efek dominonya. Jika berbicara tentang PPN, berarti termasuk bicara semua bahan baku yang dipakai yang efek dominonya akan besar sekali pada faktor biayanya. Ini menjadi tekanan tersendiri bagi perusahaan sebelum dipaksa untuk menaikkan upah minimum.

Dengan dibentuknya Satgas untuk memastikan bahwa para perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja, maka tentu kita akan sampai pada satu keadaan perusahaan jatuh pada kondisi bangkrut. Bangkrutnya perusahaan itu tentu efek phk-nya jauh lebih massal, karena berarti perusahaan tutup bukan hanya mengurangi jumlah karyawan. Bagaimana solusinya kalau nanti terjadi situasi demikian?

Sebetulnya apapun langkah yang dilakukan sebagai upaya antisipatif,tidak akan mampu mengatasi problem ini. Karena tidak menyelesaikan problem dasarnya. Bukan hanya agar upahnya lebih besar sehingga pengeluarannya bisa diatur. Di sinilah terlihat betapa manusia itu sangat lemah akal pikirannya. Tidak bisa memahami segala sesuatu untuk mengatur dengan tepat, sebagaimana kesempurnaan syariat Islam.

Yang pertama. PPN naik itu karena bicara ada problem di APBN, maka kita berarti juga harus membahas tentang bagaimana sebetulnya solusi terhadap APBN. PPN adalah pungutan yang dikenakan negara terhadap rakyatnya berbasis regulasi sekuler. Pemerintah mengambil regulasi ini karena Indonesia berarti tidak mengadopsi syariah. Inilah masalahnya. Jika Indonesia menerapkan syariat Islam secara kafah, maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan berbagai macam jenis pungutan kepada rakyatnya. Karena ada detail di dalam syariah yang mengatur apa saja jenis pendapatan negara.

Mengapa PPN terus dinaikkan sementara pungutan kepada pihak luar pihak asing yang masuk ke pasar Indonesia tidak dikenakan pungutan? Ada aspek lain di luar ekonomi, yakni hegemoni atau dalam tanda petik ya terjajahnya Indonesia terhadap sistem politik negara luar. Di dalam Al-Quran, ada banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam itu tidak boleh menyerahkan urusannya itu kepada negara-negara yang tidak mengatur regulasi negaranya dengan Islam. Karena itu, membuka ruang untuk dikuasainya umat Islam itu oleh negara luar dan dampaknya bisa kita lihat hari ini, kehidupan semakin sempit. Itulah mengapa pungutan pajak semakin bertambah banyak ragamnya. Sistem pungutan PPN ini karena tekanan dari negara-negara.

Sedangkan prinsip syariah tentang pungutan pada rakyat, ada banyak kebaikan di dalamnya.
Pertama. Prinsip dasar pungutan yang dijalankan dalam regulasi Syariah harus kembali mengaju kepada Al-Quran dan As-Sunah. Harta yang dipungut itu adalah harta yang produktif, bukan harta yang dikonsumsi. 
Kedua. Jika pungutan itu dikenakan pada sebuah harta, maka dipastikan juga harta itu menghasilkan sesuatu dan menghasilkan sesuatu secara berkesinambungan sampai batas tertentu, yang tidak dibutuhkan lagi oleh yang bersangkutan. Jadi memang dipastikan itu harta berlebih ketika dipungut oleh negara.
Kalau prinsip sekuler dalam mengatur pungutan ke rakyat ini, tidak memperhatikan dua hal di atas. Fokusnya adalah bagaimana harta ini memberikan pemasukan yang besar bagi kas keuangan negara.
Mengapa dalam pungutan Syariah, tidak fokus pada banyak pungutan? Karena dalam APBN yang disebut Baitul Mal, tidak bergantung kepada pungutan kepada rakyatnya. Jadi kita temukan ada pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum, yang akan jadi semacam deposit yang melimpah dari aset Sumber Daya Alam (SDA). 
Ketiga. Pengelolaan dari kepemilikan negara, semacam padang gembalaan yang luas. Perkebunan yang luas berarti produktif sekali.
Keempat. Pungutan kepada individu rakyat, yaitu zakat mal. Zakat mal itu kalau kita lihat dia ada nisabnya (batas jumlah wajib keluar zakat), ada haul (batas waktu harta mengendap). Jadi ada batas minimal yang itu terkena zakat. jika di bawah itu, berarti tidak terkena zakat dan itu pun masih ditunggu 1 tahun haulnya. Jadi betul-betul dipastikan itu harta tidak terpakai dan tidak dibutuhkan dalam 1 tahun itu. 

Dengan regulasi semacam ini, maka tidak pernah kita lihat ada catatan bahwa ada keluhan dari masyarakat ketika negara itu mengambil pungutan kepada rakyatnya. Karena mekanismenya sudah diatur secara sempurna dalam Islam. Regulasi PPN 12% yang zalim jika dibandingkan dengan Islam yang sangat sempurna, sangat jauh berbeda. Maka seharusnya kita segera kembali kepada syariat Islam. 

Problem terbesar hari ini adalah umat Islam sendiri yang belum meminta secara tegas bahwa mereka itu hanya mau diatur dengan syariah. Mengapa umat itu belum meminta secara tegas? Karena banyak sekali umat Islam yang belum paham syariah secara kafah. Sehingga opini “black campaign” atau kampanye negatif tentang Syariah yang merajalela di semua media terutama media masa saat ini, membuat umat Islam memusuhi syariatnya sendiri. Padahal jika kita lihat tadi, sedemikian banyak kebaikan yang Allah berikan di dalam syariat-Nya.

Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://www.bbc.com/indonesia/articles/clyx4e3greeo (Pemerintah menyatakan naiknya PPN 12% tidak berdampak signuifikan pada daya beli masyarakat)
(2) https://www.beritasatu.com/ekonomi/2861830/kemenkeu-kenaikan-ppn-12-persen-tidak-berdampak-signifikan-terhadap-pertumbuhan-ekonomi
(3) https://www.beritasatu.com/ekonomi/2860939/makan-bergizi-gratis-jadi-alasan-prabowo-terapkan-ppn-12-persen-pada-2025
(4) https://www.beritasatu.com/ekonomi/2861533/petisi-tolak-ppn-12-persen-diterima-sekretariat-negara