-->

Musibah Melanda Berbagai Wilayah, Saatnya Bersama Muhasabah


Bencana Melanda Berbagai Wilayah, Saatnya Bersama Muhasabah
Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh okezone tanggal 9/12/2024, bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 35 kejadian bencana melanda Indonesia selama sepekan terakhir per 2 hingga 9 Desember 2024. Dimana dari kejadian itu, menyebabkan sebanyak 24 orang meninggal dunia. 

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari mengatakan dari 35 kejadian bencana sepekan dimana 21 kali atau 60% adalah bencana banjir. Selanjutnya, bencana tanah longsor dan cuaca ekstrem.

Terjadinya bencana alam memang layak membuat kita muhasabah. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa bencana alam sejatinya bersifat sistemis. Ini tampak dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tidak menunjukkan perubahan signifikan, padahal hampir tiap tahun data rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbaharui dan diberikan kepada pemda terkait. Bencana yang berulang dan menjadi langganan ini menegaskan lalai dan abainya penguasa untuk mengurus rakyatnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa solusi teknis sudah tidak mampu menanggulangi. Ini juga harus menjadi pelajaran untuk mitigasi bencana alam di daerah yang lain.

Bagi kaum mukmin, setiap musibah harus dihadapi dengan keimanan. Seorang muslim wajib mengimani bahwa tidak ada satu pun musibah yang dia alami melainkan atas kehendak Allah Swt.. Allah Swt. berfirman,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ ٱللَّهِ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah.” (QS At-Taghabun [64]: 11)

Dengan kata lain, musibah adalah bagian dari qada Allah Swt. (QS Al-Hadid [57]: 22). Sikap seorang muslim terhadap qada Allah Swt. adalah rida. Rasul saw. bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sungguh besarnya pahala itu seiring dengan besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang rida, untuk dia keridaan itu. Siapa yang benci, untuk dia kebencian itu.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).

Semisal hujan adalah rahmat. Sedemikian teliti Allah menggambarkan proses terjadinya hujan. Kita pun dianjurkan membaca doa, “Allahumma shayyiban naafi’aa” saat turun hujan agar menjadi hujan yang bermanfaat. Dengan begitu, pasti seimbang pula fungsi ekologis hujan tersebut bagi suatu kawasan. Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, tidak pelak hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana, na’użu billāh

Untuk itu, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Semua itu semestinya tecermin dari pembangunan dan pengelolaan bumi yang tidak melulu demi reputasi, apalagi kapitalisasi dan angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.

Penguasa semestinya malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “bencana alam langganan”. Hal itu menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, alih-alih mengantisipasinya. Sudah semestinya penguasa kembali pada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menegakkan aturan Allah Taala dan meneladan Rasulullah saw. dalam rangka mengurus urusan umat.

Pada dasarnya menolong orang-orang yang terkena musibah adalah kewajiban dan tanggung jawab bersama. Namun demikian, yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah. Sebabnya, pemerintah memang diamanahi untuk mengurus segala urusan rakyatnya, termasuk saat rakyat ditimpa musibah, sebagaimana saat ini.

Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan ikhtiar terbaik dalam mengatasi rentetan dampak yang dirasakan warga akibat musibah gempa ini. Pemerintah harus memastikan dan menjamin setiap warga negara yang terdampak musibah terpenuhi segala kebutuhannya. Terutama makanan, akses terhadap air, layanan kesehatan, dan obat-obatan.

Berapa pun biaya yang diperlukan harus disediakan dan dikeluarkan oleh pemerintah. Realokasi anggaran, penggunaan sisa anggaran lebih dan sisa lebih penggunaan anggaran, termasuk opsi yang bisa dilakukan. Kuncinya adalah kepedulian dan kemauan pemerintah untuk bertanggung jawab penuh mengatasi semua persoalan akibat musibah gempa ini.
Rasul saw. bersabda,
فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin manusia adalah pengurus mereka dan dia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

Amanah pemimpin (pemerintah), seperti dalam hadis di atas, adalah mengurus urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, ri’âyah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariat Islam serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh pemimpin yang amanah. Dalam mengurusi rakyat, pemerintah hendaklah berlaku seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim)

Pengurusan rakyat oleh pemerintah ini tidak mungkin bisa dilakukan dengan baik kecuali dengan menjalankan seluruh hukum dan aturan Allah Swt. dalam wujud penerapan syariat-Nya secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. 
Wallahualam bissawab.