NASIB SRITEX DI UJUNG TANDUK DI TENGAH MASIFNYA INVESTASI TEKSTIL
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Industry tekstil Indonesia sedang mati suri. Banyak yang gulung tikar. Ini karena masifnya serbuan industry tekstil dari Cina yang jauh lebih murah. Tapi ironisnya, pemerintah malah memboyong banyak investor Cina untuk membangun industry tekstil; tanpa memprioritaskan terlebih dahulu para pemain lama pengusaha tekstil yang Tengah kolaps.
Menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan 15 investor asing menunjukkan minat berinvestasi pada industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia (www.cncbindonesia.com, Jumat 1 November 2024) (1). Investor-investor tersebut akan memindahkan lokasi pabrik ke Indonesia. Airlangga mengatakan bahwa kebanyakan investor asing tersebut berasal dari Cina. Saat ini perusahaan-perusahaan Cina memang sedang menjalankan strategi mengurangi ketergantungan terhadap pasar domestik dan memperluas operasi mereka ke negara-negara lain sebagai alternatif atau tambahan produktivitas dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Kebijakan membuka lebar keran investasi asing ini sejatinya dipertanyakan. Benarkah rakyat yang akan diuntungkan? Karena perusahaan Cina belum hadir saja, industri tekstil lokal sudah banyak yang tutup akibat gempuran produk Cina. Yang sedang hangat dibicarakan yaitu bangkrutnya raksasa industi tekstil Indonesia, yaitu Sritex. Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Putusan ini setelah SRIL melewati masalah utang yang menggunung (www.cnbcindonesia.com, Kamis 24 Oktober 2024) (2). Sebagaimana tertuang dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022. Sebelum putusan ini, Sritex sempat tenggelam karena terbentur utang yang menggunung. Hingga September 2022, total liabilitas SRIL tercatat US$1,6 miliar atau setara dengan Rp 24,66 triliun (kurs=Rp15.500/US$). Jika benar dinyatakan pailit, Nasib 50.000 pekerja Sritex akan terancam kehilangan pekerjaan.
Kebijakan ini sejatinya merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Salah satu prinsip dari ekonomi kapitalisme adalah perdagangan bebas, yang menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif antara satu negara dengan negara lainnya. Kerjasama-kerjasama antar kawasan sebagai implementasi dari perdagangan bebas pun makin didorong sebagaimana ASEAN, China Free Trade Area atau ACFTA yang merupakan kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Cina. Melalui kesepakatan ini, produk Cina begitu mudah masuk ke Indonesia dan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga produk lokal masyarakat Indonesia. Dengan tingkat kemiskinan tinggi tentu akan memilih produk yang lebih murah. Dampaknya industri dalam Negeri bangkrut dan PHK massal tak terhindarkan. Hal ini memicu semakin parahnya tingkat kemiskinan di negeri ini.
Sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan ekonomi yang berjalan dalam sebuah negeri. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah peningkatan jumlah barang dan jasa. Dengan kata lain, fokus pada aktivitas produksi dan menurut sistem ekonomi kapitalisme untuk menunjang hal ini. Maka negara wajib menyuburkan tumbuhnya investasi di berbagai sektor. Maka tak heran hari ini investor asing terlibat di berbagai bidang; seperti Pendidikan, Kesehatan, transportasi, infrastruktur, energi, pariwisata, dan lain-lain. Kini investasi asing itu merambah pada kebolehan relokasi industri asing ke dalam negeri. Negara sendiri menganggap bahwa ini adalah bagian dari menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Di negeri ini padahal faktanya kebijakan investasi ala kapitalisme hanya merugikan rakyat dan menguntungkan para pemilik modal. Pemilik modal dimudahkan dalam mengakses SDA (Sumber Daya Alam) sebagai bahan baku produksi dan dimudahkan dalam memasarkan produknya. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dan sikap konsumtif yang tinggi. Kondisi ini menjadi peluang sumber cuan tersendiri bagi pemilik modal, yang nantinya akan merelokasi pabriknya di negeri ini.
Investasi dalam ekonomi kapitalisme jelas memiliki kesalahan yang sangat mendasar, sebab investasi ini berangkat dari pandangan yang mementingkan aktivitas produksi tanpa dibarengi dengan mekanisme distribusi barang dan jasa yang sangat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat individu per individu. Pertumbuhan ekonomi yang didukung investasi ini juga hanya dihitung secara komunal, sehingga meskipun angka pertumbuhan ekonomi tinggi akibat melejitnya investasi, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan tiap individu rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya. Munculnya kesenjangan yang lebar di tengah Masyarakat. Dampak lebih jauh adalah potensi penjajahan ekonomi akibat investasi asing yang mengancam kedaulatan negara. Oleh karena itu, akar persoalannya sebenarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini.
Berbeda dengan sistem ekonomi yang diatur sistem politik Islam, yaitu Khilafah Islam. Dalam Khilafah, investasi bukan sesuatu yang dilarang. Akan tetapi pelaksanaannya dibatasi dengan syarat yang telah ditetapkan syariat Islam. Investasi asing tidak boleh terjadi pada pengelolaan SDA yang merupakan milik umum, untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat ataupun kebutuhan hidup orang banyak. Investasi ribawi dan melanggar syariat juga tidak akan diperbolehkan. Investasi asing tidak boleh menjadi jalan penjajahan ekonomi yang mengancam kedaulatan negara.
Dalam menjalankan hubungan luar negeri, termasuk perdagangan maupun investasi, negara Khilafah akan berpedoman pada luar negeri yang disandarkan pada syariat Islam; yakni berkaitan dengan dakwah dan Jihad, serta kemaslahatan rakyat. Kesejahteraan rakyat sejatinya merupakan tanggung jawab negara. Sebagai pengurus rakyat atau raa’in, politik ekonomi Islam akan mampu mewujudkan hal tersebut. Dan berjalannya politik ekonomi Islam memastikan pihak swasta tidak terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat.
Negara Khilafah, dengan sistem keuangannya yang berada di bawah Baitul Mal, memastikan negara memiliki sumber pemasukan yang sangat besar; yang diperuntukkan untuk kemaslahatan umat. Sehingga negara bisa mandiri dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa bergantung pada investor asing yang sarat dengan penjajahan ekonomi.
Selain itu, pelaksanaan hubungan luar negeri akan ditentukan oleh status negara tersebut di hadapan Khilafah. Khilafah tidak akan melakukan hubungan luar negeri dengan negara yang terkategori negara kafir Harbi fi'lan, yaitu negara yang sedang terlibat dalam peperangan secara nyata dengan Khilafah. Adapun terhadap negara kafir Harbi hukman, yaitu negara yang tidak memerangi umat Islam dan negara muahid, yaitu negara yang terikat perjanjian damai dengan Khilafah. Maka Khilafah boleh melakukan perdagangan luar negeri sesuai dengan ketentuan syariat.
Demikianlah penerapan aturan Islam Kafah di bawah naungan Khilafah, memastikan kebijakan khalifah berorientasi pada kemaslahatan rakyat dan sesuai dengan syariat Islam.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.cnbcindonesia.com/news/20241101042143-4-584718/15-investor-tekstil-mau-pindah-dari-china-ke-indonesia
(2) https://www.cnbcindonesia.com/market/20241024093040-17-582631/kronologi-bangkrutnya-raja-tekstil-sritex-tumbang-ditelan-utang
Posting Komentar