Patuh Pajak Menjadi Alasan Tanda Cinta Tanah Air
Patuh Pajak Menjadi Alasan Tanda Cinta Tanah Air
Oleh : Maulli Azzura
Lagi-lagi pajak lagi-lagi sengsara. Penderitaan rakyat seolah tak pernah berhenti dizholimi para penguasa. Rakyat seperti sapi perah bahkan lebih dari itu, apa yang keluar dari perutnya seperti kotoran-pun tak luput dari pungutan pajak. Sungguh sangat ironisnya demokrasi. Bej@tnya para penguasa telah melampui batas-batas kemanusiaan. Tak sejalan lagi dengan prinsip-prinsip Pancasila yang katanya mereka-lah yang paling Pancasilais.
Bukan hanya pertunjukan lewat roda pemerintahan saja, tapi secara individu banyak sekali mereka memamerkan harta kekayaan yang nilainya ratusan milyar. Media sosial era digitalisasi-pun ikut andil dalam panggung demokrasi. Mudahnya meng-akses dunia digital, sangat dimanfaatkan oleh para pelaku pemungut pajak sampai pada tataran kementriannya juga demikian. Alih-alih pajak yang dipungut sebagai sarana membangun negara. Justru sebaliknya , mereka memanfaatkan untuk memperkaya diri. Itulah faktanya.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat III (Kanwil DJP Jabar III) menggelar program Pajak Berisyarat kepada penyandang disabilitas Teman Tuli, sebagai anggota dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) Kota Bogor dan Depok. Melalui acara yang digelar untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional ini bertujuan untuk mengajak penyandang disabilitas patuh pajak. (pajak.com 09/12/24)
Rasa iba, peduli terhadap penderitaan rakyat lenyap. Pajak yang digadang-gadang menunjang negri, kenyataannya menyengsarakan rakyat dan memuliakan para borjuis yang ada dalam lingkaran rezim. Sungguh memalukan bukan? Potret inilah yang semakin menunjukan bahwa adanya dan diterapkannya ideologi kapitalis, sangat bobrok dan sama sekali tidak ada kemakmuran bagi siapapun yang diam didalamnya.
Lantas apakah Islam mengenal pajak ?
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Bukan seperti Negara Demokrasi, seperti makhluk penghisab darah. Semuanya serba pajak, dan tujuan itu bukan untuk membiayai kemiskinan, perang akibat ancaman musuh, atau mungkin untuk memperkuat pertahanan negara. Kecuali pajak yang mereka pungut hanya untuk kepentingan golongan dan individu di dalamnya yakni untuk memperkaya diri dan memamerkannya di khalayak , sedang rakyat dalam keadaan tertindas dan sengsara.
Naudzubilah min dzalik.
Posting Komentar