-->

Pelecehan Seksual Makin Mengerikan, Dimana Negara Sebagai Pelindung?


                 Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh kompas.com tanggal 13/12/2024, ML, ayah berusia 60 tahun di Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, ditangkap karena memerkosa anak perempuannya, SA selama 22 tahun. Saat ini SA berusia 36 tahun. Pemerkosaan pertama kali terjadi tahun 2002 saat korban masih duduk di kelas 1 SMP. Bahkan, dari kekerasan seksual tersebut, SA melahirkan dan memiliki seorang anak laki-laki yang kini diadopsi oleh orang lain.

Di wilayah lain, di Aceh Utara, polisi menangkap tiga pelaku pemerkosan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Lhoksukon, Aceh Utara pada Senin (11-11-2024). Juga di Kabupaten Ende, NTT seorang petani berinisial MJA (40) ditangkap polisi atas dugaan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16), padahal korban dan pelaku masih memiliki hubungan keluarga. Realitas yang sama terjadi di Jawa Barat. Provinsi ini rentan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki. Sebanyak 171 kasus telah terjadi selama 11 bulan, beberapa di antaranya terjadi di dalam rumah tangga.

Jika kita amati, sungguh anak- anak dan perempuan adalah sosok yang rentan mengalami kekerasan dan kondisinya kian terancam. Keluarga dan orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung terakhir justru menjadi pelaku kekerasan seksual yang menyeramkan. 

Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.

Data ini seharusnya membuat pemerintah resah gelisah dan bergegas mencari solusi atas semua ini. Namun faktanya situs-situs porno yang hingga kini tidak kunjung diblokir total, kendati kegelisahan masyarakat akan dampak buruknya sudah sejak lama bergaung. Selain itu, keberadaan media—terlebih media sosial—saat ini cenderung menjadi instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal, seperti pornografi dan pornoaksi, secara langsung di gawai masing-masing individu. Hal ini mencerminkan lemahnya filter media. Ditambah tipisnya kadar keimanan individu, akhirnya mendukung pengabaian mereka pada standar halal-haram. Demikian juga maraknya game online dan judi online yang sudah banyak makan korban dari berbagai kalangan.

Kondisi rusak ini akibat dari penguasa yang telah menerapkan sistem sekuler, dimana peran agama telah dipinggirkan, telah dihilangkan hingga mampu merusak naluri dan fitrah manusia. Kehidupan liberal telah diadopsi negeri ini, halal haram sebagai penimbang setiap tindakan telah diterobos. Maka muncullah perbuatan- perbuatan bejat, bengis tak manusiawi.

Hal ini sungguh berbeda tatkala sistem Islam yang diterapkan. Dalam Islam, generasi adalah aset peradaban sehingga harus dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Islam bahkan memosisikan generasi tidak hanya sebagai aset dunia, tetapi juga akhirat. Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6). 

Juga dalam ayat, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]: 9).

Islam memberikan solusi sempurna untuk menanggulangi kekerasan seksual yang dalam hal ini terdiri atas tiga pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.

Individu yang bertakwa lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Keluarga yang terikat dengan syariat Islam kafah akan melahirkan orang-orang saleh yang enggan berlaku maksiat.

Dari keluarga- keluarga ini kemudian tumbuh sikap untuk melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, dimana aktivitas ini adalah menjadi bagian keseharian mereka. Mereka tidak akan bersikap individualistis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. 

Terakhir, yakni negara yang menerapkan aturan Islam kafah (Khilafah) sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Negara khilafah juga mampu melindungi seluruh warganya dari segala bentuk gangguan keamanan, khususnya arah tindakan kekerasan seksual. 

Inilah langkah real yang sekarang seharusnya kita wujudkan, sebagai upaya untuk menyelamatkan bangsa dari krisis moral, dan berbagai kerusakannya. Apakah pandangan, pemikiran dan solusi ini bisa disepakati bersama? Guna bisa melangkah bersama melaksanakannya dengan berharap Ridha-Nya.
Allahu a'lam.