Pemimpin Pengurus Rakyat, Terwujud Dalam Sistem Khilafah
Oleh: Hamnah B. Lin
Indonesia dengan beragam potensinya, mulai dari kekayaan alamnya hingga sumber daya manusianya, sejatinya mampu melejit menjadi negara adidaya. Dengan syarat negara dipegang oleh orang dan sistem yang tepat, tepat dalam pandangan Sang Pencipta yakni Allah SWT, bukan tepat dalam pandangan manusia.
Namun nyatanya negeri ini telah lama hidup di bawah kepemimpinan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) yang sudah terbukti sangat menyengsarakan dan memunculkan banyak permasalahan. Wajar saja sistem ini tidak mampu memberikan jawaban kesejahteraan. Pasalnya, semua aturan dan kebijakan yang diterapkan meniadakan aturan agama, lebih tepatnya menghilangkan peran Islam dalam kehidupan. Padahal, risalah Islam berasal dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia dan seluruh makhluk, Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aturan Islamlah yang menjamin terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia.
Kepemimpinan sekuler—yang berkolaborasi dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistik—telah melahirkan pragmatisme dalam mengelola negara. Memunculkan tindakan dan keputusan yang lebih mengutamakan hasil praktis daripada prinsip moral, serta mengedepankan kepentingan pemilik modal daripada memperhatikan nasib rakyat. Kekuasaan pun menjadi alat untuk kepentingan kelompok dan keluarga. Alhasil, hubungan rakyat dengan penguasa terpisah dan berjalan sendiri-sendiri, tidak ada hubungan kuat yang mengikat, dan jauh dari prinsip ri’ayah ( melayani ) dan pertanggungjawaban.
Dari hasil penggalian nas-nas syar’i, Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II menggambarkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin Islam, di antaranya kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.
Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberikan jabatan kepadaku?’ Beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah. Sesungguhnya ia (jabatan) adalah amanah. Sesungguhnya pada Hari Kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.’”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus diemban oleh orang-orang yang kuat sehingga ia akan mampu menunaikan seluruh amanahnya dengan baik. Sementara itu, orang yang dianggap lemah diingatkan untuk tidak mengambilnya karena berpotensi pada pengabaian amanah yang akan berujung pada kehinaan dan penyesalan.
Seorang pemimpin harus menghiasi dirinya dengan sifat takwa. Ketakwaan harus melekat, baik waktu ia sebagai dirinya sendiri atau ketika menjadi pemimpin rakyatnya. Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah ﷺ mengangkat seorang pemimpin atas pasukan atau sariyyah (detasemen), beliau berpesan kepadanya dengan ketakwaan kepada Allah dalam dirinya sendiri, dan agar ia memperlakukan kaum muslim yang bersamanya dengan baik.’”
Salah satu amanah yang ada di pundak seorang pemimpin adalah menegakkan kedisiplinan, keadilan, dan bersikap tegas. Agar dalam menjalankan amanah tersebut tidak menyusahkan rakyatnya, Asy-Syaari’ memerintahkan pemimpin juga untuk bersikap lemah lembut.
Terkait hubungan penguasa dengan rakyatnya, Islam memerintahkan seorang pemimpin harus senantiasa memperhatikan rakyatnya dengan memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat hanya dengan Islam.
Islam menetapkan bahwa seorang pemimpin diangkat (dibaiat) untuk menjalankan hukum syarak. Dia wajib memerintah dengan kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya. Asy-Syaari’ juga memberikan hak kepada pemimpin untuk berijtihad, serta melarangnya mengambil selain hukum Islam. Allah Swt. menyebut mereka yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan-Nya sebagai kafir, zalim, dan fasik (lihat QS Al Maidah ayat 44, 45, dan 47).
Ketika pemimpin Islam hadir menerapkan syariat secara kafah, keadilan dan penegakan kebenaran bukan sebatas teori dan janji, melainkan betul-betul terealisasi. Sejarah mencatat gambaran tersebut. Sosok pemimpin yang menerapkan kepemimpinan Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Keadilan beliau ﷺ dalam menegakkan hukum sungguh tampak nyata.
Sosok pemimpin Islam tidak berhenti pada diri Rasulullah ﷺ, para khalifah setelah beliau pun terus melanjutkan konsep kepemimpinan beliau. Di antaranya Khalifah Umar bin Khaththab, sosok pemimpin yang peduli dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam Tarikhul Khulafa mengisahkan bahwa Khalifah Umar adalah orang yang pertama kali membuat lumbung-lumbung cadangan makanan (seperti tepung gandum, kurma, kismis, dan air) di antara Kota Makkah dan Madinah. Tujuannya adalah agar para pedagang, musafir, atau bahkan yang pergi haji/umrah tidak kelaparan jika persediaan bekal mereka habis. Makanan-makanan ini dibagikan secara gratis bagi mereka yang membutuhkannya.
Khalifah Umar pula yang menetapkan kebijakan untuk tidak membagikan tanah Irak, Syam, dan Mesir. Berdasarkan pemahaman beliau terhadap ayat-ayat fai, harta tersebut tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang, tetapi dimasukkan ke dalam sumber pendapatan yang bersifat tetap dan pasti untuk berbagai pembiayaan.
Dari sumber tersebut, dibiayai seluruh kemaslahatan negara, baik untuk tentara, makanan, orang-orang fakir dan miskin, anak yatim, para janda, juga untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslim. Demikianlah yang disampaikan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah.
Inilah fakta pemimpin atau penguasa pernah bisa menjadi pengurus rakyat yang amanah, yakni hanya terwujud dalam aturan Islam yakni khilafah.
Allahu a'lam.
Posting Komentar