Perdagangan Bayi Marak, Buah Sistem Hidup Rusak
Oleh : Dede Yulianti
Terbongkarnya kasus jual beli bayi di Yogyakarta selama belasan tahun yang dilakukan oleh dua orang bidan menjadi sorotan. Berdasarkan data yang diperoleh Polda DIY, sejak kurun waktu 2015 hingga saat tertangkap tangan pada 4 Desember 2024, tercatat sebanyak 66 bayi dijual dari praktik kedua tersangka. Bayi-bayi tersebut terdiri atas 28 bayi laki-laki, 36 bayi perempuan, serta 2 bayi tanpa keterangan jenis kelaminnya. Dua tersangka menjual bayi dengan harga Rp55 juta hingga Rp65 juta untuk bayi perempuan dan Rp65 juta hingga Rp85 juta untuk bayi laki-laki, dengan dalih sebagai biaya persalinan.
Terungkapnya kasus perdagangan bayi di Yogyakarta bukanlah kali pertama. Kasus serupa telah terjadi sebelumnya. Kasus perdagangan anak tercatat mencapai 52% selama tahun 2021–2022. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, 11 kasus perdagangan anak ditemukan pada tahun 2021, sementara pada tahun 2022 bertambah menjadi 21 kasus (sumber: Metrotvnews.com).
Berulangnya kejahatan ini menunjukkan adanya problem sistemik yang melibatkan banyak faktor. Faktor ekonomi merupakan masalah utama. Kemiskinan yang membelit keluarga serta tingginya biaya hidup, pendidikan, dan kesehatan anak mendorong orang tua mengambil jalan pintas dengan menjual bayi mereka demi mendapatkan materi. Persoalan ekonomi ini bahkan mampu menggerus nurani seorang ibu hingga tega menjual anak kandungnya. Begitu pula dengan tenaga kesehatan (bidan) yang lebih tergoda oleh materi dibandingkan nilai kemanusiaan yang seharusnya mereka junjung tinggi.
Selain itu, faktor hukum yang lemah menjadi penyebab lain. Hukum yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku kriminal menciptakan ruang bagi terulangnya kejahatan serupa. Masalah sosial, seperti maraknya pergaulan bebas, turut menjadi pemicu. Fenomena ini menyebabkan banyak bayi lahir di luar pernikahan hingga muncul istilah kehamilan yang tidak diinginkan. Lemahnya sistem pendidikan juga berkontribusi dengan melahirkan manusia-manusia yang nyaris kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Semua faktor tersebut berakar dari abainya negara dalam mengurus rakyat. Inilah bukti nyata buruknya sistem sekuler kapitalisme dalam mengatur kehidupan manusia. Untuk menghapuskan kasus perdagangan bayi, dibutuhkan kesungguhan negara dalam menyelesaikan akar masalahnya serta penerapan sistem sanksi tegas yang akan menutup peluang terjadinya kasus serupa.
Berbeda halnya jika negara dibangun atas asas akidah Islam. Sistem pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah, sehingga perilakunya akan mengikuti hukum syariat. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak nilai di atas selembar kertas, melainkan juga membentuk kepribadian mulia.
Tatanan pergaulan atas dasar syariat Islam akan menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, memandang pergaulan bebas sebagai perilaku hina, bahkan sebagai tindakan kriminal. Tegasnya sanksi Islam terhadap perzinaan akan menutup rapat peluang terjadinya kehamilan di luar pernikahan. Dengan demikian, bayi-bayi yang tidak diinginkan tidak akan merebak seperti saat ini.
Selain itu, jaminan negara atas kesejahteraan setiap individu akan menjaga rakyat dari tindakan mencari harta melalui jalan yang haram. Begitu pula dengan sistem peradilan Islam yang tegas menindak kejahatan, sehingga mampu mencegah terjadinya kasus serupa.
Sungguh, kasus-kasus yang tidak berperikemanusiaan semakin marak terjadi saat ini. Sudah saatnya kita mengembalikan tatanan kehidupan atas dasar syariat Islam agar kerusakan segera berganti dengan keberkahan. Kebaikan demi kebaikan akan teraih dengan mudah.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar