Perpustakaan Jadi Lokasi Produksi Upal, Terlalu!
Oleh : Zulfa Syamsul, ST (Aktivis Muslimah)
Gelap mata meraup keuntungan secara instan, Kepala Perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Dr.Andi Ibrahim (57), nekat menjadikan ruangan perpustakaan tempatnya bertugas menjadi pusat pencetakan uang palsu (upal). Tak tanggung, ruangan yang berukuran 2x4m persegi itu disulap agar mampu meredam suara sehingga tidak menimbulkan kecurigaan petugas lainnya. Pun sempat ada yang bertanya, AI berkelit bahwa ia sedang mencetak buku yang akan jadi koleksi perpustakaan.
AI tidak sendiri bersama Muhammad Syahruna (52), salah satu dari 17 tersangka lainnya yang telah dikantongi kepolisian, menjadi Otak utama tindak kejahatan pemalsuan uang ini. Dari siaran pers diketahui bahwa MS(52) adalah pihak yang pertama kali berhasil mencetak upal di Jl.Sunu Makassar. Rumah yang ditempati merupakan rumah ASS yang hingga tulisan ini dibuat belum ditetapkan sebagai tersangka.
“Awal pertama ditemukan di Jl.Sunu Makassar, karena sudah mulai membutuhkan jumlah yang lebih besar maka mereka membutuhkan alat yang lebih besar. Jadi, tadinya menggunakan alat kecil,” ungkap Irjen Pol Yudhiawan dikutip dari tribunnews.com (Rabu, 25/12/2024).
Lalu mesin cetak upal yang lebih besar pun diimpor dari China. Mesin dengan daya cetak berkali lipat ini ditebus dengan harga Rp600 juta, beratnya pun hampir 3ton. Mengangkutnya sudah tentu tidak mudah. Dari rekonstruksi yang dilakukan Kepolisian, 25 orang personel tak mampu mengangkat mesin tersebut. Dari hal ini, kita bisa mengetahui betapa gigihnya AI beserta jaringannya mewujudkan rencana jahatnya. Na’as, baru dua bulan beroperasi dengan mesin ini Tim Gabungan Satreskrim Polres Gowa dan Unit Reskrim Polsek Pallangga berhasil membongkarnya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga, sepandai-pandainya pelaku merencanakan kejahatanya akhirnya ketahuan juga.
Mencoreng Dunia Pendidikan Tinggi Islam
Terlibatnya seorang dosen yang juga menjabat sebagai Kepala Perpustakaan UINAM menjadi dalang kejahatan pemalsuan uang ini membuat kalangan civitas akademika dan masyarakat luas lainnya terpukul. Betapa tidak, sosok dosen yang selama ini dipahami sebagai sumber Ilmu, sumber kebaikan dan sumber kebijaksanaan nyatanya menggunakan kecerdasannya untuk hal yang bertentangan dengan hukum. Aspek keteladanan sebagai pendidik pun hilang padanya, karena sungguh seorang pendidik memiliki kewajiban moral untuk mempertanggungjawabkan apa yang disampaikannya.
“Sangat besar kemurkaan di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (TQS.As Shaaf:3)
Ketika ilmu yang diemban oleh seorang pendidik dimaknai sebagai pemberian Allah dan peruntukannya untuk mendapatkan Ridho-Nya, maka seyogyanya semakin tinggi ilmu seseorang semakin dekatlah ia kepada Sang Maha Pemilik Ilmu. Inilah yang teercermin dari ulama-ulama Islam terdahulu. Karakter Moral Keislaman tak dapat terpisahkan dari keseharian mereka hingga hasil karya keilmuwannya.
Salah satu diantaranya adalah Imam Sulaim Ar-Razi yang wafat pada tahun 447H. Dalam buku Manajemen Waktu Para Ulama karya Syaikh Abdul Fattah (halaman 90) digambarkan sosok beliau yang sepanjang hidupnya dihabiskan dengan menulis, mengajar, membaca atau menelaah Al-quran sehingga tak pernah ada waktu menganggur. Beliau adalah sosok yang militan dalam menjaga sifat wara’nya dengan selalu melakukan introspeksi dalam soal waktu dan tak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa manfaat.
Masih dalam buku yang sama (halaman 77-82) digambarkan tentang sosok Ulama yang bernama Ibnu Jarir, seorang guru besar ilmu tafsir, ahli hadits dan ahli sejarah yang lahir di tahun 224H. Setiap hari waktunya dihabiskan dengan aktivitas keilmuan. Mulai dari mengajar, membacakan hadits, menyimak murid-muridnya menyetorkan hafalan hadits serta menulis setiap hari sebanyak 40 lembar selama 40 tahun hidupnya. Saking banyaknya karya beliau, setidaknya terdapat 358ribu lembar yang dihimpun dengan berbagai disiplin ilmu di dalamnya. Jumlah tersebut setara dengan sebuah penerbitan. Padahal lembaran-lembaran tersebut ditulis di atas kertas oleh tangannya sendiri, dengan penanya sendiri, di atas kertas miliknya sendiri.
Demikianlah gambaran ulama dalam rahim peradaban Islam, jika kini ulama yang ada justru melakukan hal yang sebaliknya maka tentu ini adalah sebuah malapetaka. Lantaran Ulama-lah yang seharusnya yang paling besar ketakutannya kepada Allah.
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama,” (TQS. Al Fathir ayat 28)
Kena Batunya
Kurikulum pendidikan tinggi Islam yang digagas oleh Kementrian Agama sarat dengan moderasi beragama. Hakikat moderasi beragama yang bersumber dari aqidah Sekuler ini tidak hanya melunturkan aqidah civitas akademika tapi juga membuat mereka menjadi ragu dengan kebenaran aqidah Islam. Akibatnya Islam tidak lagi diyakini secara mutlak sebagai satu-satunya agama yang benar. Lebih jauh, Islam tidak juga dibenarkan sebagai satu-satunya sumber aturan dan nilai. Karena itulah prinsip-prinsip dari ideologi, keyakinan dan kepercayaan agama lainnya, juga bisa dibenarkan. Inilah awal mula kerusakan yang ada pada kurikulum kampus pendidikan tinggi.
Pragmatisme yakni paham yang mengedepankan manfaat tanpa menghiraukan halal-haram adalah pandangan hidup yang bersumber dari aqidah sekulerisme. Begitu pun dengan paham materialisme yang meninggikan nilai-nilai materi(uang) misalnya, akan dibenarkan untuk dilakukan lantaran sudah melupakan aqidah Islam yang harus terikat dengan syariat Islam. Dan inilah yang menjadi faktor utama mengapa seseorang berani melakukan pelanggaran.
Jika kini, dosen Kampus Pendidikan Tinggi Islam sendiri melakukan kejahatan, maka sesungguhnya kampus tersebut hanya menuai apa yang sudah ditaburnya. Yakni menebarkan aqidah moderasi beragama yang bersumber dari Ideologi Sekulerisme.
Bukan Moderasi Tapi Islam Kaffah
Penegakan Islam beserta syariatnya secara menyeluruh sudah diserukan oleh anak-anak negeri ini. Namun, seruan tersebut masih dimentalkan bahkan dilabeli negatif lantaran masih bercokolnya aqidah sekulerisme di setiap lini masyarakat. Padahal penerapan Islam secara Kaffah menggantikan sistem Kapitalisme-Demokrasi-Sekuler inilah solusi hakiki atas berbagai kerusakan yang terjadi di tengah-tengah kita.
Sebagai penduduk dengan jumlah mayoritas, umat Islam mesti serius menelaah kerusakan aqidah sekulerisme ini. Bukan terjebak memperbaiki hal-hal yang merupakan perkara cabang. Jika ada genteng yang bocor, bukan sibuk memasang ember atau membuat saluran agar air tidak menggenangi rumah. Tapi fokuslah pada perbaikan genteng tersebut. Bahkan jika kesimpulannya genteng sudah tidak layak maka sudah semestinya diganti dengan yang baru.
Penerapan Sistem Kehidupan berdasarkan Sekulerisme ini sudah sangat terang benderang rusak dan merusak. Sekulerisme menjadikan umat Islam mengambil sebagian aturan Islam dan mencampakkan sebagian aturan lainnya. Ayat terkait individu seperti sholat, puasa, zakat dan berhaji diambilnya. Namun ayat yang berkaitan dengan kenegaraan seperti larangan riba, penerapan hukum qishas, hukum hudud dan jinayat diabaikannya. Kondisi ini sangat rentan terhadap umat Islam sebagaimana peringatan Allah SWT dalam ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah antara itu (keimanan atau kekufuran). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang Kafir azab yang menghinakan” (TQS.An-Nisaa:150-151)
Pemecatan secara tidak terhormat atas dosen AI sudah dilakukan oleh pihak Rektor UINAM. Penyelidikan kepolisian pun masih terus berlanjut. Meski demikian, belum ada jaminan bahwa hal ini tidak akan terulang di masa yang akan datang, selama sekulerisme-Kapitalisme-Demokrasi masih menjadi dasar dalam mengatur kehidupan. Kembalilah kepada Islam Kaffah wahai orang-orang yang berakal!
Wallahu ‘alam.
Posting Komentar