PPN Merangkak Naik, Ekonomi Makin Tercekik
Oleh : Hana Sheila, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Kenaikan PPN menjadi 12 persen yang tadinya ditetapkan di awal Januari 2025 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani karena banyak yang mengeluh maka akan diundur tapi tetap di tahun yang sama. Saat ini tarif PPN 11 persen, pemerintah memandang kenaikan tarif pajak ini sesuai dengan kebutuhan untuk menjaga Kesehatan APBN disaat prospek penerimaan seret akibat kondisi global yang tidak pasti.
Kebijakan ini sontak mendapat kritik dari berbagai kalangan karena dinilai bisa semakin menekan nilai beli masyarakat dan menggangu roda dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu.
Seperti yang diungkap Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani, momentum saat ini tidak tepat untuk menaikan tarif PPN. Saat ini saja, tanpa keniakan tarip PPN, penjualan di berbagai sektor usaha sudah merosot akibat turunnya permintaan dan lemahnya daya bli Masyarakat. Beberapa sektor usaha seperti industr tekstil, sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor. Sektor ritel dan pembelanjaan juga lesu. Meski pengunjung tetap banyak dan mal tetap ramai, Tingkat penjualan turun. Masyarakat hanya dating berkunjung tanpa belanja. (Kompas.id, 14/11/2024).
Pajak di negeri ini sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak, namun miris di tengah kehidupan rakyat yang makin lesu pemerintah justru memaksa kenaikan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Pelaksanaan pembangunan dan pengurangan ketergantungan pada utang menjadi alasan kuat pemerintah tetap melanjutkan kebijakan kenaikan pajak ini.
Namun faktanya kenaikan pajak belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti kesengsaraan rakyat terlebih mereka dalam situasi ekonomi sulit, seperti maraknya pengangguran, naiknya bahan makanan pokok, sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dan memadai, dan sebagainya. Apalagi ada problem korupsi uang rakyat (APBN) dan pemerintah yang gemar berutang. Oleh karenanya, PPN merangkak naik, rakyat makin tercekik.
Situasi ini terjadi karena konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Padahal negara memiliki sumber daya alam yang melimpah yang jika dikelola negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. Namun akibat sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasinya negara menyerahkan SDA kepada pihak korporat hingga rakyat kesulitan mengaksesnya.
Di sisi lain abainya negara terhadap dampak akibat kenaikan pajak mengonfirmasi posisi negara bukan sebagai pengurus rakyat. Negara tampak tidak peduli dengan nasib 25 juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bukankah kenaikan pajak akan semakin menjauhkan masyarakat dari kata sejahtera?
Yang miris lagi, negara semakin menampakkan keberpihakannya kepada korporat, dengan bertindak sebagai regulator bukan fasilitator yang melayani kepentingan pemilik modal. Maka, sistem kapitalisme saat ini tidak layak dijadikan sistem yang mengatur kehidupan manusia sebab sistem ini lahir dari buatan akal manusia sehingga batil dan tidak manusiawi.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yaitu khilafah, negara sebagai pengayom bukan pemalak. Rasulullah bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”(HR Bukhari).
Pengurusan ini terlihat dari salah satu mekanisme bagaimana khilafah mendapat sumber pemasukan negara tanpa berutang dan memalak rakyat dengan pajak. Islam memiliki sistem negara yang menjadi pengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Sedangkan pajak sendiri bukanlah sumber utama pemasukan negara, ini hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan.
Memungut pajak artinya mengambil harta kaum Muslim tanpa kerelaan dan hukumnya haram. Karena pada dasarnya pemasukan baitul mal dari pos-pos pendapatan sebagai hak kaum Muslim dan hak baitul mal yaitu pos fa’i dan kharaj yang pengelolaanya harta milik umum hingga zakat semuanya cukup untuk menunaikan kewajiban keuangan dan tidak membutuhkan pungutan pajak kaum Muslim. Namun ketika kas baitul mal tidak mencukupi dan urusan rakyat wajib dilaksanakan barulah meminta kepada umat Islam dengan batas yang ditetapkan syariat bagi yang mampu dan berkecukupan saja.
Inilah sistem Islam, memungut pajak ketika darurat saja bukan dijadikan sumber utama pemasukan negara.[]
Posting Komentar