-->

PPN Naik Lagi, Penderitaan Rakyat Seakan Tak Berarti


Oleh : Julia Sara, S.I.Kom

Tahun baru 2025 menjadi tahun mencekam bagi seluruh rakyat Indonesia karena pemerintah akan resmi menaikkan pajak PPN sebesar 12%. Bukannya melanjutkan kehidupan dengan amunisi dan semangat baru, justru kenaikan pajak tertinggi kedua se-ASEAN ini menjadi mimpi suram. Dilansir dari Tirto, kenaikan PPN hingga 12% ini akan menjadi beban berat bagi masyarakat ekonomi kelas menengah (15/11/2024). Selain pajak yang naik, harga-harga sembako dan kebutuhan hidup lainnya sejak awal pun sudah melambung tinggi. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah ekonomi pas-pasan, pengeluaran malah semakin membengkak karna buruknya sistem perekonomian yang diterapkan.

Alasan kenaikan PPN diklaim untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan dan pembayaran hutang negara yang mencapai 8.444,87 Triliun (tempo.co, 11/08/2024). Akan tetapi, jika hanya mengandalkan pajak dari masyarakat kelas menengah saja tentu saja tidak akan memadai. Di sisi lain, DPR malah merumuskan regulasi baru terkait pengampunan pajak atau tax amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ditambah lagi dengan wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan Perusahaan dari 22 persen ke 20 persen serta beragam bebas pajak (tax holiday) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan.

Tentu saja, kenaikan PPN ini sangat tidak adil bagi masyarakat kelas menengah, karena masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 9 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025, yakni berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga akan ada wacana pemberlakuan harga tiket KRL yang disesuaikan dengan NIK. Kemudian, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta yang terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis (tempo.co, 22/11/2024).

Fakta kenaikan PPN bukan hanya sekali ini saja terjadi, melainkan sejak tahun 2022 silam dan ini membuktikan bahwa kenaikan pajak tidaklah memberi solusi, yang ada hanya menambah beban pada masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan adanya praktik korupsi yang masih belum tuntas ditangani. Padahal, jika para koruptor diberi hukuman yang jera dan disita seluruh aset kekayaannya, pasti akan menambah pendapatan negara sekaligus mengurangi pengeluaran ekonomi yang diambil oleh para koruptor tersebut. Namun, mereka hanya dianggap angin lalu belaka dan bukan benalu yang harus disingkirkan.

Ditambah lagi dengan pemerintah yang suka berhutang untuk membangun mega proyek yang tidak menghasilkan keuntungan apapun bagi negara. Bukannya menghemat pengeluaran negara, makin membuat krisis ekonomi negara. Harusnya pemerintah yang sangat tahu situasi dan kondisi ekonomi negara, tidak berhutang sebelum keadaan benar-benar butuh dan darurat, akan tetapi kenyataannya malah harus melakukan hal tersebut untuk melayani kepentingan para kapitalis dalam menjalankan mega proyek tertentu.

Situasi ekonomi dan pemerintahan yang kacau ini, bukan hanya karena ketidakterampilan pemerintah dalam membaca dan menanganinya, akan tetapi karena pemerintah berada dalam lingkaran kapitalisme yang tidak bisa diputus begitu saja. Sistem kapitalisme yang menjerat membuat pemerintah tak berdaya karena disetir oleh para kapitalis, sehingga keputusan dan penanganan masalah tidak pernah memberi solusi tuntas, hanya angin segar sesaat yang menyapa penderitaan rakyat.

Sejatinya, dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi rakyatnya, bukan sebagai pelindung dan pelayan yang mengurusi setiap permasalahan yang ada. Karena pada hakikatnya, sistem kapitalisme membuat pemerintah melayani dan mengurusi para pemilik modal (kapitalis) untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga tampak jelas kecenderungan pemerintah yang lebih berpihak pada elit ekonomi kelas atas dan seakan tak bersimpati pada masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah.

Begitu miris hidup dalam genggaman kapitalisme, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan pajak ini, bukan hanya diberlakukan pajak untuk ekonomi kalangan atas dan menengah, atau bahkan meniadakan koruptor, akan tetapi mencampakkan sistem kapitalisme yang diterapkan karena inilah muara dari ketimpangan dan kesengsaraan yang menimpa.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-A'raf : 96 yang artinya "dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Jelas sudah, hanya dengan menerapkan sistem Islam hidup akan diberkahi dan mendapatkan banyak kebaikan serta kemudahan dalam kehidupan. Karena dalam Islam, kepala negara ibarat pengembala, yang mengurusi hajat dan seluruh kebutuhan dari gembalaannya. Juga penunjuk arah bila salah dalam bertindak dan bertingkah laku. Sungguh, potret pemimpin demikian tidak akan kita temukan pada masa sekarang, sekalipun ada pemimpin muslim pada negeri kaum muslimin, masih belum optimal pelayanannya dan tidak menerapkan semua hukum-hukum Allah di bumi yang membentang luas ini.

Dalam Islam, khalifah (kepala negara) akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan bertanggung jawab untuk memenuhi sumber pendapatan negara. Yang mana pajak bukanlah pemasukan utama sebagaimana yang diterapkan oleh negara kapitalisme, karena sumber pendapatan negara didapatkan dari pengelolaan sumber daya alam yang melimpah ruah di dalam negeri. Untuk mengelola dan memaksimalkannya, maka akan dihentikan keran investasi dari asing yang membuat ekonomi independen dan mandiri dari tangan penjajah yang berusaha untuk mengambil sedikit demi sedikit kekayaan alam rakyat.

Dengan diterapkan sistem Islam pula, pribadi masyarakat yang rusak, jahat, dan korup juga akan terminimalisir dengan sendirinya karena ketidaknyamanan terhadap maksiat yang dilakukan di tengah ketaatan dan kemuliaan yang dijunjung tinggi, sehingga permasalahan ekonomi akan diselesaikan tanpa menumbalkan kemaslahatan rakyat.

Wallahhu'alam bishawab.