Predator Anak Makin Menjadi, Adakah Pelindung Hakiki?
Oleh : Ummu Furqon
Menjelang hari anak, sebuah peristiwa naas dialami seorang siswi DCN (7) kelas 1 Madrasah Ibtidaiah di Banyuwangi, Jawa Timur dibunuh dan diperkosa sepulang sekolah pada Rabu (13/11/2024).
Menanggapi kejadian tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur. Dia memastikan bahwa Kementerian PPPA akan mengawal proses hukum kasus tersebut, sekaligus memberikan pendampingan terhadap keluarga korban.
Di wilayah lain, Polres Aceh Utara juga menangkap tiga pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Senin (11/11/2024).
Dan masih di bulan yang sama. MJA(40), seorang petani di Kabupaten Ende, NTT, ditangkap polisi atas dugaan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16). Penangkapan pelaku berdasarkan laporan pada 28 September 2024. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, pelaku terbukti melakukan pemerkosaan dan ditetapkan sebagai tersangka.
Tak hanya anak perempuan, anak lelaki juga rentan menjadi korban pelecehan seksual. Sebanyak 171 kasus dalam 11 bulan terakhir, misalnya, terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak., dalam kurun waktu Januari hingga November 2024, terjadi 485 kasus kekerasan terhadap anak laki-laki di Jabar, Sebesar 35 persen atau 171 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual. Ironisnya, hampir 50 persen kasus kekerasan terhadap anak, termasuk pelecehan, terjadi di sekitar lingkungan rumah tangga. Mayoritas pelaku kekerasan yang merupakan kerabat terdekat mencapai 207 orang dan tetangga sebanyak 39 orang.
Melihat banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual, kondisi anak kian terancam. Belum lagi lingkungan keluarga yang seharusnya aman tapi faktanya banyak yang menjadi pelaku pelecehan itu berasal dari keluarga sendiri. Jika hukuman tidak mampu mencegah maraknya predator anak, lalu adakah perlindungan nyata bagi anak-anak?
Sekularisme Perusak Naluri dan Akal Manusia
Menilisik kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak, tampaknya hari ini tak ada lagi ruang aman bagi anak untuk sekadar bermain, baik itu anak lelaki ataupun perempuan. Keluarga, masyarakat dan negara tidak bisa diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak.
Banyaknya faktor penyebab dari maraknya kasus kekerasan seksual membuat masyarakat hingga Negara tidak sadar pada hal mendasar yang menjadi pokok permasalahan. Dalam ranah individu misalnya, lemahnya keimanan dan rusaknya fitrah kemanusiaan membuat banyak orang terjerumus ke dalam hal-hal negatif yang melanggar ajaran agama seolah Tuhan tidak mengawasi segala tindak-tanduk yang mereka lakukan. Bagaimana mungkin orang-orang dewasa yang secara alamiah harusnya menjaga dan mengayomi anak-anak tetapi mereka malah merusaknya jika bukan karena rusaknya fitrah kasih sayang dalam diri pribadi? Ironi bukan.
Kemudian, dalam ranah yang lebih kompleks yakni masyarakat yang semakin individualis membuat standar interaksi yang terjalin semakin buruk sehingga berkurangnya kepedulian dan peran masyarakat untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan.
Selanjutnya, negara sebagai pembuat kebijakan dan benteng terakhir yang diharapkan menjadi tempat yang bisa memberikan perlindungan kepada anak namun perannya tak cukup maksimal dalam memberikan sanksi yang menjerakan sehingga terus bermunculan kasus-kasus baru kekerasan terhadap anak.
Negara terkesan abai pada urusan moral dan membiarkan faktor-faktor penyebab maraknya predator anak merajalela. Sebagai contoh, media khususnya sosial media dan website dengan konten-konten seronok yang sangat mudah diakses namun negara tidak memblokirnya. Padahal negara memiliki andil yang sangat signifikan dalam membatasi dan menyaring konten-konten yang bisa diakses masyarakatnya agar terjaga akal dan nalurinya.
Inilah dampak penerapan sistem sekular yang merusak naluri dan akal manusia. Yaitu sistem yang memisahkan antara agama dan kehidupan dunia. Sistem yang menganut kebebasan tanpa batas membuat manusia sebagai individu bebas melakukan apa saja, tidak lagi mengindahkan standar halal-haram, yang terpenting hanyalah kepuasan dan kesenangan meski sesaat. Pada akhirnya, masyarakat hanya diperbudak hawa nafsu dan kehilangan akal sehat.
Islam Sebagai Jalan Hidup
Islam sebagai jalan hidup, tidak hanya menawarkan ketenangan spiritual tapi juga memiliki seperangkat aturan yang dapat mencegah dan menanggulangi setiap permasalahan. Dalam kasus kekerasan seksual seperti ini, jauh sebelum sistem sekular yang rusak dan merusak, Islam menetapkan negara memiliki kewajiban menjaga generasi, baik dalam kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.
Islam memiliki tiga pilar perlindungan terhadap rakyat termasuk anak antara lain individu yang bertakwa kontrol masyarakat dan penegakan sistem sanksi oleh negara yang tegas dan menjerakan.
Dalam menjaga generasi, Islam menjamin terjaganya akal sehat dan fitrah masyarakat melalui informasi atau konten-konten yang tersedia di media adalah informasi yang baik, benar dan mencerdaskan sehingga terbentuk individu-individu yang bertakwa yang secara sadar memahami bahwa dirinya adalah hamba Allah yang terikat dengan hukum Allah dan Allah Maha Mengawasi setiap tindak tanduknya.
Kedua, peran masyarakat dalam mengontrol pelaksanaan peraturan yang ada, saling tolong menolong dan nasihat-menasihati dalam kebaikan serta mencegah keburukan karena memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama untuk menggapai ridho-Nya.
Terakhir yang paling krusial adalah Negara sebagai pembuat kebijakan dan pemberi sanksi dalam mengadili dan menghukum para pelaku kriminal yang melanggar syariat untuk disanksi sesuai aturan Allah.
Jika korban mempunyai bukti (al bayyinah) pemerkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim, atau jika pelaku mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia belum pernah menikah (ghairu muhshan) dan dirajam hingga mati jika dia sudah pernah menikah (muhshan). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Perlu digarisbawahi, sistem sanksi dalam syariat Islam sejatinya berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Dengan demikian, terjawablah bahwa hanya Islam yang mampu memberikan perlindungan bagi anak-anak dari para predator seksual dan semua itu akan terwujud hanya dengan penerapan sistem Islam secara utuh dan menyeluruh.
Wallahu ‘alam bisshowab.
Posting Komentar