-->

Sindikat Perdagangan Bayi, Tuntas hanya dengan Islam Kaffah


Oleh : Zulfa Syamsul, ST (Aktivis Muslimah)

Bak suara petir di siang hari, kabar penjualan bayi kembali membuat terhenyak. Adalah DM(77) dan JE(44) di Rumah Bersalin(RB) Sarbini Dewi di Desa Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Diketahui DM adalah bidan sekaligus pemilik rumah bersalin sementara JE adalah pegawai yang telah beraksi sejak 2010. Selama belasan tahun ini, 66 bayi telah berhasil dijual, tak hanya di sekitaran Yogya, tapi juga dijual ke berbagai daerah di Indonesia. seperti Surabaya, Bali, NTT bahkan Papua. Harganya pun berbeda berdasarkan jenis kelamin. Bayi perempuan ditawarkan dengan kisaran Rp55juta sedangkan bayi laki-laki harga tertinggi mencapai Rp85juta. 

Kini, keduanya telah diamankan oleh Pihak Kepolisian setempat dan dijerat dengan Pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pasal 83 dan Pasal 67 F UU Perlindungan anak dengan konsekuensi hukuman penjara selama 15 tahun dan denda maksimal Rp300juta. (jogja.tribunnews.com, 12/12/2024)

Masalah Multi Sektor

Dari beberapa sumber yang dihimpun, setidaknya ada tiga hal yang patut diberi perhatian. Pertama, tersangka DM(77) selain sebagai pemilik rumah bersalin, Ia juga merupakan residivis atas kasus serupa. Tak jera dengan hukuman penjara 10 bulan yang dilakoninya di Lapas Wirogunan, pasca bebas Ia kembali beraksi dengan kejahatan serupa. Hal ini membawa kita pada kesimpulan bahwa penerapan sanksi tidak membuat jera. 

Kedua, Bak terhimpit Batu, aksi jual bayi ini adalah atas keridhoan dari para orang tua. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wadir Reskrimum Polda DIY AKBP K Tri Panungko bahwa para orang tua memberikan bayi dengan suka rela kepada tersangka untuk dijual.

“Orang tua kandungnya ini memang ingin menjual tapi dengan perantara bidan-bidan ini karena dia (pelaku) kan punya jaringan,” kata Tri dikutip dari cnnindonesia.com (14/12/2024)

Oleh karenanya pihak kepolisian berencana memanggil para orang tua bayi untuk dimintai keterangan. Perlu diketahui sebagian diantaranya adalah orang tua tanpa hubungan pernikahan alias anak bayi yang dijual adalah anak hasil zina. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada laporan terkait hasil pertemuan tersebut.

Ketiga, adanya fakta bahwa RB Sarbini Dewi belum mengantongi izin resmi dari Instansi terkait tapi mampu beroperasi selama belasan tahun adalah bentuk pembiaran. Hal ini tentu membuktikan lemahnya pengawasan negara hingga aksi kejahatan ini berlarut-larut.

Kemaksiatan, Wajar di sistem Sekuler! 

Hilangnya rasa takut kepada Allah SWT dipelopori oleh aqidah sekulerisme yang menggurita di tubuh kaum muslim saat ini. Sekulerisme adalah pemisahan aturan Islam dari negara atau memisahkan agama dari kehidupan. Aturan-aturan Islam ditanggalkan, diganti dengan UU yang berasal dari pemikiran manusia dalam mengatur kehidupan. Akibatnya umat Islam berada dalam kondisi melanggar perintah Allah bahkan melakukan laranganNya tanpa merasa bersalah. Akhirnya, kemaksiatan pun tumbuh subur bak cendawan di musim hujan.

Hal ini bisa terlihat pada pasangan yang berzina, ada yang setelah bayinya lahir lalu dijualnya seperti pada kasus ini. Juga ada yang setelah bayinya lahir lalu dibunuhnya seperti pada kasus lain. Adapun pada pasangan sah, mereka nekat menjual bayi mereka lantaran tergiur materi karena himpitan ekonomi, semuanya menjadi wajar di sistem hidup yang sekuler ini. 

Sementara di sisi petugas kesehatan yang melakoni sindikat penjualan bayi, juga wajar ada karena tingginya permintaan. Lantaran Kapitalisme tidak mengindahkan hal-haram, bayi dinilai sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan. Wajar! 

Begitu pula dengan tak jeranya para pelaku kejahatan lantaran sanksi yang tidak sesuai, adalah hal wajar dalam sistem sekuler. Bukankah sanksinya ditetapkan berdasarkan akal manusia yang lemah dan terbatas? 

Dan abainya pemerintah terhadap legalitas operasional Rumah Bersalin juga menjadi wajar. Bukankah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme belum tuntas diberantas?

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-qur’an) dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya (TQS.An.Nisa’:60)

Solusi Hakiki Hanya Pada Islam

Dalam Islam, anak adalah amanah yang akan dimintai tanggung jawab atasnya maka melimpahkan pengurusan anak kepada orang lain tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah khianat. Dalam hal ini orang tua diperingatkan dengan ayat yang berbunyi:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra’: 31).

Penjualan bayi memang tidak membunuh anak, tapi mengambil keuntungan atas penjualannya adalah bagian dari kejahatan yang melukai martabat kemanusiaan dan mengancam kepentingan masyarakat berupa ketidakjelasan nasab. Karenanya sanksi atas kasus perdagangan bayi akan ditangani oleh seorang Qadhi Muhtasib. Hal ini berdasarkan penjelasan Macam-macam Qadhi beserta wewenangnya pada Kitab Struktur Negara Khilafah (Bab Peradilan: 9/81-83). 

Jika saat dijual, bayi disertakan dengan dokumen yang seolah itu adalah anak kandungnya maka kejahatan yang dilakukan berhubungan dengan pemalsuan nasab. Sanksi yang diberikan oleh Qadhi Muhtasib meski tidak dalam bentuk had dan jinayat, akan tetap membuat jera pada pelakunya.

Hal lain yang menjadi pokok permasalahan atas kasus ini adalah adanya kesulitan ekonomi yang menjadi faktor pendorong terjadinya penjualan bayi. Dalam Islam, penguasa wajib memenuhi kebutuhan dasar atas semua rakyat, yakni sandang pangan dan papan termasuk kebutuhan kesehatan, keamanan dan pendidikan. Hal yang sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Kapitalisme sekuler yang menyerahkan pemenuhan kebutuhan rakyat kepada pemodal. Penguasa saat ini hanya mengambil peran sebagai regulator dan hal itu menyalahi sabda nabi Muhammad saw,

“Imam adalah penggembala (raa’in) dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya” (HR.Bukhari dan Muslim)

Saatnya kembali kepada Islam secara Kaffah, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu ‘alam.