-->

STATISTIK NGADI-NGADI ALA KAPITALISME


Oleh : Musdalifah Rahman

Warga Indonesia dibelahan mana yang hari ini mengiyakan bahwa standar hidup layak di negara ini hanya sebesar 1,02 juta perbulan?

Padahal nominal standar hidup layak yang dimaksud tidak hanya melingkupi kebutuhan makan saja. Secara definisi, standar hidup layak merupakan standar kebutuhan yang dimiliki seseorang (pekerja) untuk bisa hidup layak selama satu bulan. 

Standar ini melingkupi berbagai macam kebutuhan premier hingga tersier di antaranya yakni kebutuhan makanan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan rekreasi.

Karenanya cukup mengherankan melihat data statistik yang baru-baru dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang menyebutkan bahwa ukuran hidup yang terkategori layak di Indonesia pada Tahun 2024 adalah sejumlah 1,02 juta perbulan perjiwa.

Dikutip dari tvonenews.com pada hari Kamis, 21 November 2024, Badan Pusat Statistik mencatat standar hidup layak di Indonesia 2024 yang direpresentasikan dengan pengeluaran riil per kapita per tahun menjadi Rp12,34 juta atau sekitar Rp1,02 juta per bulan. Jumlah standar hidup layak tersebut naik 3,71 persen atau Rp442 ribu dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp11,89 juta per tahun, atau Rp990,9 ribu per bulan. 

Ketetapan standar hidup layak tersebut di tahun ini memang mengalami peningkatan hingga sebesar 3,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun apa iya, standar hidup layak tersebut betul-betul dihitung berdasarkan pengeluaran riil per kapita per tahun? 

Pasalnya, harga kebutuhan pokok makin mencekik dari waktu ke waktu. Dan problem ini tidak hanya dikecap pahit oleh masyarakat kelas bawah. Namun dari kalangan menengah juga merasakan bahwa hampir sebagian besar pendapatan perbulannya keluar untuk anggaran kebutuhan makan. 

Jadi, jika mereka menginginkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih memadai atau menabung untuk kebutuhan jangka panjang, maka mereka harus menekan pos pengeluaran untuk kebutuhan makan. 

Dan dalam kondisi yang semakin papah ini, masyarakat masih harus dibebani dengan beraneka tagihan pajak yang tidak pandang bulu. Hal ini makin memekakkan mata kita bahwa “sejahtera” hanyalah sebatas kata yang kerap digunakan kaum politis saat ingin meraup suara. Namun, setelah kursi kekuasaan digenggaman, “sejahtera” hanyalah data statistik untuk menutup rapat-rapat bilik-bilik kemiskinan.

Hal yang perlu diketahui, sistem kapitalisme memang hadir untuk meniscayakan demikian. Sistem rusak ini melegitimiasi ukuran kesejahteraan dan kelayakan hidup bersumber dari pendapatan perkapita, lalu menyamaratakan ukuran tersebut untuk seluruh lapisan masyarakat sehingga menyamarkan keberadaan individu miskin.

Tidak dalam rangka memojokkan hasil analisa para orang intelektual terkait kesepakatan standar hidup layak yang dikeluarkan. Namun ukuran standar hidup layak itu berpotensi besar disamakan dengan komponen hidup layak (KHL).

Dan KHL ini bukan angka yang hanya berakhir sebagai bentuk pendataan saja. Karena, sejatinya menjadi standar kebutuhan pekerja alias buruh untuk hidup layak dalam satu bulan, yang mana menjadi sebagai salah satu dasar perhitungan upah minimum provinsi (UMP). Atau dengan kata lain berdampak pada nominal pendapatan banyak orang.

Menyoal sengkarut ketidaklayakan hidup rakyat, berbagai program yang telah pemerintah lakukan bukan berarti tidak baik dan tidak perlu. Namun selama ini, kita keliru menyandingkan permasalahan dan solusinya. Bagaimana mungkin kelayakan hidup rakyat bisa dicapai hanya dengan bantuan-bantuan jangka pendek sedangkan sistem yang dipraktikan hari ini justru meniscayakan kefakiran.

Teramat sulit untuk ditampik bahwa kehidupan rakyat yang jauh dari kata layak dan tidak berkesudahan ini berawal dari penerapan sistem yang mengusung prinsip kebebasan kepemilikan. Tidak ada pengkategorian yang jelas tentang aset-aset apa saja yang berana privat, publik dan milik negara. Kepemilikan dititikberatkan pada keuntungan materi.

Sehingga, hasil dari pengelolaan sumber daya alam tidak terdistribusi secara merata atau bahkan hanya segelintir orang saja yang menikmati hasilnya. Terealisasilah jargon “yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya”.

Selain itu, penerapan sistem kapitalisme saat ini juga menyulap wajah perpolitikan yang jauh dari target meri’ayah umat. Politik kini murni dibekingi oleh nafsu kekuasaan dan ambisi akan harta. 

Karenanya, korupsi makin marak dan kursi kursi kekuasaan diduduki oleh oknum-oknum yang melenggangkan kaki para korporat bengis untuk menjarah kekayaan negeri.

Makin jelaslah, ketidaklayakan hidup hanyalah satu dari sekian output yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme yang jauh dari konsep keadilan sosial. Dan kronisnya penyakit Bernama kemiskinan tidak akan pernah bersanding dengan penawarnya jika sistem tatanan kehidupan seperti ini terus dilanggengkan.

Berbeda halnya jika kita melirik sistem Islam, dimana kita akan menemukan konsep kepemilikan terinci dengan jelas dan bersifat wajib (mengikat) yang terkategori ke dalam kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Sehingga meskipun suatu benda memiliki nilai ekonomi tinggi dimata dunia sekalipun, jika benda tersebut terkategori dalam kepemilikan umum, maka haram untuk memprivatisasinya.

Tidak hanya itu, politik dalam sistem Islam diwadahi atas keinginan mengurusi umat. Jabatan diduduki karena dorongan takwa. Dan dengan pemberlakukan sanksi yang memberikan efek jera bagi perusak hajat hidup orang banyak dalam sistem Islam, maka korupsi akan terminimalisir atau bahkan kehilangan peminat sama sekali. Harta rakyat yang dikelola negara aman dan terdistribusi secara merata.

Banyak yang beranggapan kesempurnaan sistem Islam itu hanya teori semata, hanya dongeng pengantar tidur para ekstremis. Padahal fakta sejarah yang sulit dibantah, Islam pernah diterapkan secara menyeluruh termasuk halnya pemberlakuan konsep kepemilikan serta tabiat perpolitikan yang agung.

Islam sungguh rahmatan lil alamin. Penerapan syariatNya tidak akan mungkin mencelakakan. Namun jika mengambil dari selainnya, maka bersiaplah untuk menyaksikan tatanan hidup yang awut-awutan.