Tarif PPN Terus Menanjak, Di Mana Kedaulatan Rakyat?
Oleh : Ilma Susi
Belum juga seumur jagung pemerintahan rezim baru berjalan, kini kebijakannya tentang kenaikan pajak telah menuai kritik. Berbagai caption petisi penolakan atas kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025. Diantara petisi itu adalah:
“Menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah bentuk kejahatan. Jangan minta pajak besar jika belum becus melayani rakyat. Tolak PPN 12%.”
Hingga Selasa (23-12-2024) pukul 11.32 WIB, petisi yang digagas komunitas Bareng Warga dan dimuat di laman change.org sejak 19-11-2024 ini sudah ditandatangani sebanyak 187.062 orang.Di bulan sebelumnya, tepatnya Jumat (20-12-2024), petisi yang saat itu ditandatangani 143 ribu orang, sudah sempat dibawa para penggagasnya dan diserahkan kepada Kemensetneg. Apakah petisi itu direspon positif? Boro-boro, sebelum diterima saja mereka sempat dihadang 820 personel kepolisian. Benar-benar keamanan perut rakyat semakin tak jelas.
Bikin Cemas dan Kecewa
Kebijakan menaikkan PPN 12% ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR tanggal 7 Oktober 2021. UU ini awalnya merupakan inisiatif pemerintahan Jokowi yang sejak memerintah sudah secara masif menjalankan reformasi perpajakan.
Meski muncul penolakan yang keras dari berbagai pihak, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda pemerintah akan mencabut UU HPP ini. Lagi-lagi, rakyat harus gigit jari karena aspirasinya tidak digubris oleh penguasa dan wakil rakyat yang dipilihnya. Kecewa!
Berbagai alasan dimunculkan, misalnya diklaim berkekuatan hukum karena telah disetujui seluruh anggota DPR, atau klaim bahwa kebijakan ini dipandang sangat penting. Selain itu, pemerintah juga menyatakan kenaikan PPN 12% ini tidak akan diberlakukan pada semua jenis barang dan jasa. Adapun yang akan dikenai kenaikan PPN 12% adalah jenis barang dan jasa premium, semisal beras premium, jasa pendidikan dan kesehatan premium, dll.
Untuk menenangkan masyarakat, pemerintah berjanji akan memberikan beberapa stimulus. Di antaranya adalah pemberian bansos berupa diskon listrik 50% dan bantuan beras 10 kg selama 2 bulan. Juga bakal ada insentif pajak, berupa perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% untuk UMKM; Insentif PPh 21 ditanggung pemerintah untuk industri padat karya; serta insentif PPN lain dengan total alokasi mencapai Rp265,6 T di tahun 2025.
Yang menjadi persoalan adalah semua yang disebut-sebut sebagai tujuan kenaikan PPN 12% serta solusi atas dampak yang ditimbulkannya nyatanya masih berupa klaim. Lagipula, pembatasan objek kenaikan PPN dan pemberian stimulus yang berjangka pendek itu tidak serta merta mengurangi beban rakyat yang terdampak dalam jangka panjang.
Memicu Inflasi
Dengan kenaikan pajak ini, dipastikan akan meningkat dan memicu kenaikan harga-harga barang dan jasa. Akibatnya daya beli yang selama ini rendah kondisinya akan lebih parah. Tidak terkecuali para pelaku usaha, beban mereka pun akan bertambah berat hingga fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan akan bertambah buruk, bahkan akan banyak yang jatuh dalam kelompok miskin.
Inflasi bakal tak terhindarkan.
Lalu klaim bahwa kenaikan PPN 12% akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak juga bakal jadi mimpi. Yang pasti bila konsumsi masyarakat melemah, omset pelaku usaha menurun pasti akan mempengaruhi penerimaan pajak lainnya, seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai. Mengapa pemerintah ngotot menerapkan kebijakan yang justru membuat rakyat tambah menderita? Bukankah bakal menambah keuangan negara juga masih tanda tanya?
Kedaulatan Rakyat Hanya Mitos
Kebijakan kenaikan PPN 12% beserta gelombang penolakan kembali menjadi bukti bahwa kedaulatan rakyat yang digembar gemborkan dalam sistem demokrasi ternyata omong kosong. Sejumlah UU yang diproduksi sistem ini real tak mewakili kehendak rakyat, bahkan bertentangan dengan kepentingan mereka.
Masih hangat dalam ingatan UU Ciptakerja dan UU IKN yang juga pro kepentingan pemilik modal. UU ini juga dipandang membuka lebar pintu penjajahan melalui skema investasi. Bukankah realitasnya ini megemplang utang atas nama pembangunan?
Real saja, bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk merealisasikan aneka program quick win yang sudah terlanjur dijanjikan. Program Makan Bergizi Gratis, misalnya yang menerlukan dana Rp71 triliun. Lalu periksa kesehatan gratis Rp3,2 triliun, pembangunan rumah sakit kengkap di daerah Rp1,8 triliun, pemeriksaan TBC Rp8 triliun, renovasi sekolah Rp20 triliun, sekolah unggulan terintegrasi Rp2 triliun, serta lumbung pangan nasional, daerah, dan desa sebesar Rp15 triliun.
Seharusnya proyek-proyek ambisius itu dilakukan penguasa untuk melayani rakyatnya. Yang terjadi adalah mengandalkan pendanaan dengan memalak rakyat. Hal itu menunjukkan kegagalan penguasa mengurus dan menyejahterakan rakyat. Alih-alih berpikir strategis menarik sumber-sumber pendapatan dari SDA yang melimpah, para penguasa justru rela memberikannya kepada swasta dan pihak asing seraya memperlakukan rakyat selaksa sapi perah.
Lahirnya berbagai kebijakan rusak dalam sistem demokrasi merupakan keniscayaan. Sistem ini lahir dari sekularisme ini menuhankan akal dan kebebasan. Wajar jika demokrasi tidak mengenal prinsip halal haram. Agama luput dari turut campur mengatur kehidupan.
Demokrasi akan selalu melahirkan tirani minoritas yang dilegalisasi UU. Politik perwakilan yang dibanggakan dan berbiaya super mahal nyatanya hanya menjadi jalan lahirnya kekuasaan mutlak bagi segelintir orang atas rakyat secara keseluruhan. Sementara sistem kepemimpinannya pun jauh dari fungsi pelayanan dan bersifat populis otoritarian.
Rakyat dipaksa menerima aneka kebijakan yang ditetapkan mesku itu merugikan mereka. Semboyan “dari, oleh, dan untuk rakyat” yang lekat dengan prinsip daulat rakyat, serta lekat pada konsep pembagian kekuasaan, hanyalah jargon yang menjadi pemanis demokrasi. Sementara rakyat yang katanya berdaulat telah diwakili oleh kelompok kecil kaum pengusaha. Pantaslah bila dikatakan demokrasi selalu kekat l dengan korporatokrasi.
Berharap Pada Sistem Islam
Berharap memperoleh
keadilan dan kesejahteraan pada kepemimpinan sekuler demokrasi hanya sebatas mimpi. Sistem ini realitasnya merupakan sistem zalim yang bersembunyi di balik narasi kedaulatan rakyat. Sistem yang dimainkan para pemburu kekuasaan untuk melakukan berbagai kecurangan struktural dan merampas hak milik umat secara legal.
Sudah saatnya umat mengambil sistem kepemimpinan Islam yang menjadikan posisi penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi seluruh rakyatnya. Sistem kepemimpinan ini disebut sebagai Khilafah, yakni negara warisan Rasulullah saw. yang bertugas menegakkan syariat Islam kafah dalam berbagai aspek kehidupan atas seluruh umat, baik di dalam, maupun luar negeri Khilafah, yakni dakwah dan jihad untuk menyebarkan Islam ke seluruh alam.
Profil kepemimpinan dalam sistem Khilafah berbeda secara diametral dengan kepemimpinan demokrasi. Pemimpin dalam sistem Islam adalah personal dengan profil kepribadian yang kuat, yakni memiliki pola pikir dan pola jiwa yang standarized. Penguasa yang paham cara mengurus urusan rakyatnya, sekaligus memiliki pola jiwa hakim yang mampu memutus segala perkara dengan adil dan bijaksana. Semua kepengurusan kemaslahatan rakyat itu sesuai standar syariat Islam. Selain itu, mereka juga memiliki ketakwaan yang tinggi, sekaligus sifat lembut dan empati kepada rakyatnya.
Adapun dalam hubungan dengan rakyatnya, mereka senantiasa berupaya melingkupi kehidupan politik dengan nasihat takwa, tidak merampas harta milik rakyatnya. Yang brilian dari kepemimpinan Islam adalah, selalu menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya sumber aturan dan kebijakannya.
Demikian juga penerapan sistem Islam pada sektor lain, seperti sistem ekonomi, pergaulan, hukum dan peradilan pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan oleh negara, benar-benar melahirkan kehidupan yang mulia. Akal, nyawa, harta, kehormatan, agama, dan negara benar-benar terpelihara di bawah kepemimpinan Islam hingga peradabannya yang tinggi bisa menjadi teladan dan cahaya bagi dunia.
Posting Komentar