-->

Bagaimana Islam Menjawab Pajak?


Oleh : Eyii Shelly (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa pajak 12 persen hanya berlaku pada barang dan jasa mewah. Dengan harapan, kebijakan ini tidak berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa di sektor lain. Keputusan ini mungkin dilakukan pula karena pertimbangan banyaknya protes dan demonstrasi yang dilakukan masyarakat umum dan mahasiswa.

Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu lalu media melaporkan bahwa banyak kalangan mahasiswa berbagai kampus yang menolak kenaikan PPN %. Salah satu diantaranya adalah penolakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (BEM Unair. Penolakan ini didasarkan pada kajian mendalam mengenai dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat. Aulia Thaariq Akbar, Presiden BEM Unair, mengkritik keputusan pemerintah yang menaikkan PPN menjadi 12% saat masyarakat banyak yang mengalami penurunan kelas sosial. Ia berpendapat bahwa kondisi ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah, namun mereka tetap melaksanakan kenaikan pajak. Aulia juga menilai pernyataan pemerintah tentang kenaikan PPN yang seharusnya hanya berdampak pada barang mewah tidak jujur, karena setelah pengumuman, ternyata kebutuhan pokok juga terpengaruh (Beritajatim.com, 21/12/2024).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen hanya diterapkan pada barang dan jasa mewah pada Januari 2025%. Contoh barang dan jasa yang akan dikenakan PPN meliputi bahan makanan premium seperti beras, buah-buahan, dan daging berkualitas tinggi, serta jasa pendidikan dan kesehatan premium. Pengenaan PPN juga berlaku untuk listrik bagi pelanggan rumah tangga dengan daya tertentu. Sementara itu, barang kebutuhan pokok masih akan bebas PPN, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020, yang mencakup beras, tepung terigu, daging ayam dan sapi, berbagai jenis ikan, telur, minyak goreng, cabai, bawang, dan gula pasir (Kompas.com,19/12/2024).

Kenaikan tarif PPN seharusnya tidak hanya ditunda, tetapi harus dihentikan. Rakyat sudah cukup menderita dengan pajak yang ada. Rakyat seharusnya mendapatkan perhatian dari negara, bukan dibeban dengan pajak yang memberatkan kehidupan mereka. Sebenarnya, mengapa negara merasa berhak memaksa rakyat membayar pajak, dan menilai bahwa rakyat diperlakukan seperti anak kecil yang tidak punya pilihan. Tekanan pajak yang diberikan negara merupakan siksaan bagi rakyat.

Lebih parah lagi, Pemerintah menaikkan pajak atau menetapkan PPN sebesar 12% sebagai strategi fiskal untuk mencapai sejumlah tujuan ekonomi dan kebijakan publik. Alasan utama kenaikan ini meliputi peningkatan pendapatan negara untuk membiayai proyek infrastruktur dan program sosial, penyesuaian dengan standar internasional karena beberapa negara memiliki PPN lebih tinggi, pengurangan ketergantungan pada utang untuk memperbaiki stabilitas fiskal, pengendalian pola konsumsi melalui pajak pada barang tertentu, dan pemenuhan kebutuhan keuangan pascapandemi akibat beban belanja yang meningkat selama Covid-19.

Kondisi ini disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme di negara ini, yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan. Undang-undang digunakan untuk melegalkan pemungutan pajak, yang mengikat rakyat untuk mematuhinya. Di sisi lain, kekayaan alam dan sumber daya yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat malah dikuasai oleh kapitalis dan oligarki. Sistem kapitalisme memberikan kebebasan kepemilikan, menciptakan tatanan hukum yang tidak adil, di mana yang kuat selalu menang. Ini dianggap sebagai kesalahan besar negara dalam mengadopsi sistem kapitalisme demokrasi.

Dalam sistem kapitalisme, fokus pertumbuhan ekonomi berlandaskan kapital dengan negara berperan sebagai fasilitator. Untuk mendukung pertumbuhan ini, pemerintah memerlukan pendapatan besar untuk infrastruktur dan layanan publik, sehingga mengarah pada pajak konsumsi yang membebani masyarakat kecil. Sektor strategis sering diprivatisasi, mengurangi pendapatan negara dari sumber daya alam dan membuat pemerintah bergantung pada pajak yang lebih tinggi. Kenaikan pajak ini sering kali melindungi modal besar, dengan insentif pajak untuk perusahaan besar dan beban pajak dialihkan kepada masyarakat menengah ke bawah. Situasi ini menyebabkan kesulitan hidup bagi masyarakat, yang dianggap perlu diatasi dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang menerapkan syariat islam secara kaffah.

Islam diturunkan oleh Allah untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan menerapkan syariat-Nya. Negara dalam pandangan Islam bertanggung jawab menjalankan hukum syara' berdasarkan akidah Islam. Undang-undang negara harus bersumber dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Untuk kesejahteraan rakyat. Ada tiga sumber pemasukan tetap negara dalam Islam: kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan zakat. Jika sumber-sumber tersebut tidak mencukupi, masyarakat yang mampu diwajibkan untuk mendanai kebutuhan negara. Allah mengharuskan adanya upaya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi umat, dan Rasulullah mengingatkan agar tidak saling membahayakan.

Allah memberikan hak kepada negara untuk mengumpulkan harta melalui pajak, hanya untuk beberapa kondisi untuk membiayai beberapa kebutuhan, antara lain:

Pertama, untuk pendanaan jihad dan semua yang berkaitan dengannya, termasuk pembentukan pasukan dan pengadaan peralatan militer;

Kedua, untuk mendanai industri militer dan pendukungnya agar negara memiliki senjata; 

Ketiga, untuk membantu kaum miskin dan ibnu sabil, yang harus terus didanai baik ada dana di baitulmal maupun tidak;

Keempat, untuk membayar gaji tentara, pegawai, hakim, guru, dan pekerja pelayanan masyarakat, yang merupakan kewajiban Baitul mal;

Kelima, untuk pembiayaan hal-hal yang vital bagi kesejahteraan umat, seperti infrastruktur dan layanan publik; Keenam, untuk keadaan darurat seperti bencana alam. Negara boleh memungut pajak untuk kebutuhan ini jika dana baitulmal tidak mencukupi.

Pajak dalam sistem Islam hanya dibebankan hanya kepada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta, khususnya dari golongan kaya, dan tidak dipungut dari nonmuslim. Tujuan pemungutan pajak adalah untuk membiayai kebutuhan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim. Pajak juga tidak boleh dipungut secara paksa di luar kemampuan atau melebihi kebutuhan yang mendesak. Selain itu, negara tidak diperbolehkan untuk memungut pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah. Pungutan yang tidak sesuai dikategorikan sebagai zalim, dan memungut cukai dianggap sebagai tindakan yang dilarang. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk mengurangi beban rakyat dibandingkan dengan sistem pajak dalam kapitalisme. Pengaturan pajak dalam Islam mengedepankan keadilan dan keteraturan, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an.