Disforia Ditengah Kenaikan Tarif PPN
Oleh : Rima Syarofi (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Di awal tahun baru kemarin, lagi-lagi masyarakat harus menerima kabar pahit. Bagaimana tidak? Setiap pergantian tahun, seolah menjadi momen kenaikan harga. Mulai dari harga kebutuhan pokok hingga non pokok. Bahkan mirisnya, saat ini kenaikan tersebut sudah merembet hingga ke pajak. Beberapa hari yang lalu pemerintah telah mengumumkan kenaikan pajak sebesar 12% yang berlaku pada awal Januari 2025 kemarin. Sementara, mantan presiden sebelumnya yaitu Joko Widodo, menanggapi kenaikan pajak ini dengan mengatakan bahwa kenaikan tersebut sudah diputuskan DPR sehingga pemerintah harus menjalankannya. Hal itu ia ungkapkan ketika ditemui di rumahnya (Detik Jateng 27/12/2024).
Rencana pemerintah dalam menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% tahun 2025 ini, besar kemungkinan akan menjadi bumerang dan memukul daya beli masyarakat. Terlebih lagi pemberlakuan kenaikan pajak ini begitu mendadak. Sebagaimana dikabarkan bahwa presiden Prabowo telah memastikan tarif PPN naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 kemarin. Menurutnya, kenaikan PPN ini dilakukan sebagai buah dari pengesahan UU nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP) yang sebelumnya telah disahkan pada masa pemerintahan Jokowi. Kenaikan ini tentunya menimbulkan penolakan dari masyarakat, hingga mereka membuat petisi daring berjudul "Pemerintah segera batalkan kenaikan PPN". Hal tersebut bertujuan untuk mendesak Presiden Prabowo Subianto agar mau membatalkan kanaikan PPN 12%. Dan dikabarkan jika petisi tersebut berhasil ditandatangani oleh 193 ribu orang (CNN Indonesia, Sabtu 28/12/2024).
Mulai dari mahasiswa, dosen, petisi, buruh, hingga pengusaha, telah beramai-ramai untuk melakukan penolakan kenaikan PPN ini. Mereka dibuat disforia akan kebijakan terbaru hingga membuat dada mereka sesak. Namun, apa boleh buat? Rupanya penolakan demi penolakan yang mereka lakukan tampak tidak membuahkan hasil. Karena, pemerintah masih tetap memberlakukan kenaikan pajak ini. Menurut Menteri Keuangan RI, yaitu Sri Mulyani, menganggap bahwa pemungutan pajak terhadap masyarakat harus diberlakukan. Karena, sumber APBN sepanjang tahun 2024 yang lalu telah dialokasikan untuk sektor pendidikan dalam negeri sebesar 20%. (CNBC Indonesia, 04/01/2025)
Belum lama masyarakat dibuat mengelus dada dengan kabar kenaikan BBM, dan saat ini masyarakat semakin dibuat sesak dada karena harus menerima kenyataan pahit dari kebijakan pemerintah terkait dengan kenaikan PPN. Walaupun yang dikenai pajak hanyalah barang atau jasa mewah saja, akan tetapi dampak dari kenaikan tersebut tetap berimbas kepada yang lainnya. Sehingga hal itu juga akan berimbas kepada penurunan daya beli masyarakat, dan tidak mustahil juga dapat menghambat perekonomian para pedagang-pedagang kecil. Akibatnya, banyak dari mereka yang akan kesulitan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Pemungutan pajak oleh negara terhadap masyarakat seolah dijadikan hal yang lumrah di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini pajak dijadikan sebagai sumber pemasukan yang paling dominan bagi APBN. Pajak menjadi salah satu pos pemasukan negara yang dibebankan kepada warga negara dalam berbagai bentuk. Menurutnya, kenaikan PPN adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan APBN Indonesia. Karena, mau tidak mau APBN harus terus dijaga kesehatannya secara konsisten oleh pemerintah. Hal semacam ini memang akan menjadi suatu keniscayaan, karena sistem yang diterapkan di negeri ini adalah sistem Kapitalisme.
Padahal, ketika pajak dijadikan sumber pemasukan utama negara, maka sesungguhnya hal itu telah memaksa masyarakat untuk bisa hidup mendiri. Sehingga, masyarakat terpaksa harus berjuang sendiri untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Hal ini dikarenakan, di dalam sistem Kapitalisme, negara tidak berperan sebagai ra'in (pengurus) rakyat. Sehingga, urusan rakyat akan terabaikan terlebih lagi jika mereka adalah rakyat biasa. Akan tetapi, sistem Kapitalisme justru menjadikan negara berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi pemilik modal. Sehingga, negara hanya akan memberikan pelayanan terbaiknya ketika berhadapan dengan para oligarki. Sebaliknya, negara cenderung abai jika berhadapan dengan rakyat biasa.
Kewajiban membayar pajak untuk semua elemen masyarakat, tentunya sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat dibuat disforia (tidak bahagia) dengan kebijakan dalam sistem Kapitalisme ini. Karena, rakyat dipaksa dan dibiasakan untuk melakukan sesuatu yang hakikatnya justru mendzolimi diri mereka sendiri. Bagaiamana tidak? Di tengah mereka harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, mereka juga harus menyisihkan uangnya untuk membayar pajak. Bahkan, yang membuat hati semakin tersayat, adalah ketika mereka sampai telat atau tidak membayar pajak, maka segala urusan mereka akan sengaja dihambat dan dipersulit. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk kedzoliman besar yang menimpa mereka.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam dengan segenap aturannya yang sempurna, telah memberikan aturan terbaik bagi segala urusan kehidupan manusia, termasuk dalam hal pajak. Pajak dalam sistem Islam, biasa dikenal dengan istilah "Dharibah". Dharibah merupakan salah satu sumber pemasukan untuk Baitul maal. Konsep dharibah (pajak) dalam sistem Islam itu berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalis. Dalam sistem Islam, dharibah bukanlah sumber pemasukan Baitul maal yang utama. Melainkan, dharibah justru dijadikan opsi yang paling terakhir, bahkan itu pun jika ada kebutuhan yang sangat mendesak dan penting.
Dalam Islam, sumber pemasukan utama negara bukan dari sektor pajak dan riba, melainkan diambil daru tiga pos utama dalam Baitul maal meliputi:
1. Pos pengelolaan kepemilikan negara, yaitu fai, Anfal, ghanimah, khumus, kharaj, jizyah, serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik negara.
2. Pos kepemilikan umum, yaitu harta milik umum yang dikelola negara seperti hutan, laut dan tambang.
3. Pos pengelolaan zakat maal, seperti pertanian, peternakan, emas dan perak, barang tambang, perniagaan, barang temuan (rikaz) dan zakat profesi.
Sementara dharibah dalam Islam dipungut hanya sewaktu waktu, serta tidak terus menerus tiap hari dan tiap tahun. Dharibah dipungut jika pemasukan di Baitul maal kosong atau harta yang ada masih tidak cukup untuk pembelanjaan atas suatu kondisi. Di samping itu, dharibah juga hanya dibebankan kepada umat muslim yang kaya dan mampu saja, tidak pada semua elemen masyarakat. Dengan segenap peraturan tersebut, Islam terbukti telah berhasil memberikan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Bahkan, pada masa kekhilafahan Ummar bin Abdul Aziz tidak didapati satu pun dari warga negaranya yang berhak menerima pajak, yang tidak lain dikarenakan pada saat itu semua masyarakat tergolong tercukupi bahkan kaya.
Oleh sebab itu, kehadiran sistem Islam sangat dibutuhkan di masa sekarang. Keberhasilan sistem Islam tidak perlu diragukan lagi. Karena sistem Islam berhasil melahirkan peradaban emas selama 13 abad lamanya. Dan bahkan, hanya sistem Islam lah yang mampu menghapus segala bentuk penderitaan yang pernah dialami umat manusia termasuk ketika Eropa sedang menghadapi "Dark Age" Atau yang biasa disebut Masa Kegelapan. Sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta yang Maha Sempurna akan menghantarkan manusia kepada nilai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga, negeri yang di bawahnya menerapkan aturan Islam secara kaffah akan menjadi negeri yang sejahtera dan diberkahi.
Wallahu A'lam bi Ash-Shawwab
Posting Komentar