JERATAN PAJAK DALAM KAPITALISME
Oleh : Annisa
Berbagai respon masyarakat Indonesia yang menuntut penolakan atas kenaikan pajak merupakan buntut dari kabar yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12). Hasil pembahasan konferensi tersebut berkaitan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari yang sebelumnya 11% dan akan diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Said Abdullah selaku Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, menyampaikan bahwa pemerintah menaikkan pajak ini bukan tanpa dasar, melainkan telah menjadi amanah UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah berlaku secara bertahap sejak April 2022 sebesar 11% dan kemudian pada 1 Januari 2025 menjadi 12%. UU ini sebagai mandat yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi dan kemudian disahkan oleh anggota dewan DPR RI, sampai akhirnya diterbitkan pada 29 Oktober 2021 oleh Jokowi. Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa UU HPP dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
Oleh karena itu, diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang fokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Meskipun pemerintah telah mengumumkan barang-barang yang akan dikenakan PPN 12% yakni barang dan jasa yang tergolong barang mewah premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA, Pendidikan standar internasional dan pelayanan Pendidikan premium, rumah sakit kelas VIP, daging sapi premium. Bahkan, hingga menyediakan paket bantuan PPN 12% kelompok rumah tangga mulai dari bantuan pangan/beras 10 kg per bulan selama 2 bulan dengan 16 juta penerima ataupun PPN ditanggung pemerintah 1% untuk tepung terigu, gula industri dan minyak kita, dan diskon listrik sebesar 50% (2200VA) selama 2 bulan (Januari-Februari 2025). Menanggapi hal ini, hasil survei Litbang Kompas menyatakan bahwa sebanyak 47,2% masyarakat tidak yakin bahwa penerapan kenaikan PPN 12% berdampak terhadap perbaikan perekonomian.
Para pakar ekonomi pun menilai bahwa kenaikan PPN 12% dan memberikan bantuan sosial yang sifatnya temporer dan terbatas untuk golongan tertentu saja bukan solusi yang tepat dalam memulihkan perekonomian dan semestinya ditunda. Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih merangkak pulih pasca pandemi Covid-19, bahkan beberapa bulan terakhir ini daya beli masyarakat yang semakin melemah, ditambah pula melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika, tingginya PHK, dan ketidakstabilan ekonomi, kenaikan PPN 12% justru hanya akan memperparah kondisi perekonomian akibat seiring meningkatnya pula biaya produksi dan konsumsi. Sehingga, inflasi pun tentu akan terjadi. Sebagian besar ekonom tak yakin jika PPN 12% hanya diperuntukkan atas barang-barang mewah, karena kebijakan sejenis ini pun telah ada sejak 2009 yang realitanya berdampak pada hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah.
Lalu, para tokoh ekonom juga menyampaikan bahwa pemerintah terkesan terlalu terburu-buru dalam menerapkan kebijakan PPN 12%. Rocky Gerung ikut menilai bahwa kebijakan ini merupakan hasil kepanikan pemerintah atas kondisi ekonomi negara dimana sektor-sektor yang diharapkan menunjang APBN tidak berjalan optimal. Tahun 2024 yang merupakan akhir dari periode Jokowi dan Ma’ruf Amin, APBN digunakan untuk mengebut berbagai pembangunan infrastruktur, termasuk IKN. Pemerintah membutuhkan anggaran untuk melanjutkan proyek Jokowi tersebut dan proyek andalan Prabowo-Gibran sebagai presiden terpilih, seperti makan gratis dan menggaji anggota kabinetnya yang berukuran lebih besar. Dari kenaikan PPN 12% ini pemerintah menargetkan penambahan penerimaan negara sekitar Rp75 T dengan waktu yang lebih cepat, karena menyasar seluruh elemen masyarakat dalam produksi dan konsumsi barang-jasa.
Pajak sebagai Tulang Punggung Perekonomian Kapitalisme
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, pajak merupakan instrumen paling penting dalam perekonomian sebuah negara. Sebab, pajak adalah sumber utama yang berkontribusi terhadap pemasukan negara untuk membiayai pengeluaran negara. Target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia pada tahun 2024 yang sebesar Rp2.802,3 T, penerimaan pajak memiliki persentase yang sangat besar yakni Rp2.309,9 T atau sekitar 82% dari APBN, sedangkan penerimaan bukan pajak hanya sebesar Rp492 T. Bahkan, dalam kapitalisme pajak menjadi life blood (urat nadi), yakni sebagai penentu kehidupan sebuah negara. Sehingga, saat ini pajak menjadi bagian instrumen yang tidak mungkin tidak ditarik oleh suatu negara dan menjadi pungutan yang wajib dikeluarkan oleh masyarakat untuk diberikan kepada pemerintah negara.
Prinsip-prinsip pajak yang digagas oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) menjadi pondasi sistem perpajakan modern saat ini, yang meliputi keadilan (Equity), kepastian (Certainty), kenyamanan (Convenience), dan efisiensi (Efficiency). Namun, pada praktiknya kebijakan pajak seringkali menjadi problem yang menyengsarakan dan mencekik rakyat di tengah kehidupan masyarakat yang sulit dalam menanggung besarnya kesenjangan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, hingga PHK. Para koruptor yang tiada akhirnya merugikan ekonomi negara, justru rakyat yang harus menanggung dan membantu ketika negara mengalami defisit atas nama asas gotong royong. Penerapan pajak dalam sistem kapitalisme sering berlaku tidak adil. Selain menyasar seluruh masyarakat untuk menunaikan pajak, negara seringkali memberikan amnesti atau pengampunan pajak bagi perusahaan-perusahaan raksasa, sedangkan tidak bagi masyarakat miskin.
Penerapan pajak yang telah berlangsung bertahun-tahun sebagai tulang punggung yang menopang pembangunan negara, seolah tidak pernah ada satupun pembanding sistem kehidupan bernegara lain yang tidak dibiayai oleh pajak. Oleh karena itu, sebagian besar pandangan baik masyarakat maupun para ekonom masih keliru, yakni mereka hanya menilai perkara tepat atau tidak tepat waktunya ataupun besar kecilnya satuan pajak yang harus dibebankan kepada masyarakat. Misalnya, penerapan PPN 12% dianggap pendek dari masa recovery setelah Covid-19. Artinya, jika diterapkan di masa yang akan datang bukan menjadi suatu masalah, tetapi hanya perlu disesuaikan besarannya.
Pajak dalam Ekonomi Islam
Seluruh peraturan dalam Negara Islam wajib bersumber dari akidah Islam yang melahirkan berbagai aturan-aturan cabang, termasuk dalam aspek ekonomi. Di dalam Islam, sumber penerimaan dan pengeluaran negara sepenuhnya ditentukan berdasarkan hukum syariah yang digali dari dalil-dalil syariah. Karena itu pos-pos penerimaan dan pengeluaran negara di dalam Negara Islam atau Khilafah Islam bersifat tetap.
Pajak atau dhariibah merupakan salah satu sumber penerimaan di dalam APBN Khilafah. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak di dalam sistem kapitalisme. Pajak didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT atas kaum Muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan atas mereka, ketika tidak ada harta di Baitul Mal untuk memenuhi belanja tersebut (Zallum, 122: 2004).
Perbelanjaan negara meliputi: jihad fi sabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fi sabilillah; santunan fakir, miskin dan ibnu sabil; untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada kaum Muslim; kebutuhan pelayanan umum, seperti infrastruktur jalan, sekolah dan rumah sakit, yang dapat menyebabkan bahaya ketika jumlah dan kualitasnya kurang; dan penanganan bencana alam, seperti kelaparan, gempa dan topan (Zallum, 123-129; 2004).
Oleh karena itu, pajak di dalam Islam merupakan sumber penerimaan insidental.
Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara, seperti zakat, kharaj, jizyah dan pendapatan dari harta milik umum tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim tidak melakukan sumbangan sukarela (tabarru’ât) yang mencukupi untuk menutupi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, pajak di dalam sistem kapitalisme bersifat permanen, bahkan menjadi sumber utama penerimaan negara. Kemudian, objek pajak di dalam Islam diperuntukkan hanya bagi Muslim yang kaya. Pasalnya, kebutuhan yang menjadi dasar penarikan pajak di atas merupakan kewajiban kaum Muslim. Batasan orang kaya di sini adalah kelebihan dari pengeluaran untuk kebutuhan primer dan sekunder (Zallum, 130: 2014).
Jumlah pajak yang ditarik di dalam Islam hanya dibatasi berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai belanja yang wajib ditanggung kaum Muslim, namun tidak dapat di-cover oleh Baitul Mal. Sebabnya, fungsi pajak bukan seperti di dalam sistem kapitalisme untuk meningkatkan penerimaan Baitul Mal atau untuk membatasi kegiatan ekonomi tertentu, tapi semata-mata untuk menutupi kekurangan pembiayaan pos-pos yang wajib tersebut. Karena itu penarikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan sebab hal itu termasuk kezaliman atas kaum Muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak". (HR Abu Daud no.2937 dan Darimi no. 1668). Lalu, dalam Q.S. An-Nisa ayat 29 Allah juga telah melarang umat Islam untuk mengambil harta dengan cara yang batil.
Faktor lainnya yang menjadi keunikan sistem Islam adalah sistem yang mendorong lahirnya ketakwaan individu termasuk pegawai negara dan sistem pidana yang sangat detail mengatur harta pegawai negara. Sebagai contoh, larangan menerima suap, hadiah dan pendapatan yang tidak halal lainnya, tidak hanya diancam oleh sanksi pidana, tetapi juga ancaman terhadap siksa di Akhirat kelak. Pada titik ini, sistem kapitalisme sangat rapuh, sebab dari dasarnya ia telah memisahkan agama dari kehidupan. Dalam pandangan Islam penguasa dan negara berfungsi sebagai pemberi pelayan dan pemberi jaminan atas kebutuhan pokok rakyat. Negara sebagai pengayom, bukan pemungut harta rakyat untuk jadi pemasukan utama negara.
Alhasil, perpajakan di dalam sistem kapitalisme merupakan aturan yang zalim. Aturannya bertentangan dengan ajaran Islam, yang dibuat berdasarkan kesepakatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Akibatnya, pajak dalam sistem kapitalisme mengandung banyak kelemahan sehingga rakyat hingga pejabat pun cenderung berupaya menghindarinya. Kezaliman ini tentu saja harus dihilangkan melalui penerapan Islam secara sempurna di bawah naungan Khilafah Islam.
Posting Komentar