-->

Kapitalisasi Pendidikan Berujung Pembullyan Siswa

Oleh : Ummu Naura

Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menilai tindakan guru sekolah dasar (SD) yang meminta siswanya duduk di lantai karena menunggak biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan.

Meski sekolah swasta memiliki kebijakan mandiri dalam pengelolaan keuangannya, menurutnya tetap ada batasan yang harus dijaga agar tindakan mereka tidak mencederai hak-hak siswa.

Tindakan meminta murid belajar di lantai, karena menunggak SPP selama tiga bulan sebagaimana kasus di sebuah SD swasta di Medan, merupakan tindakan yang tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan yang menjunjung tinggi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang bermartabat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 

Secara psikologis anak, tindakan tersebut tentu dapat berdampak buruk pada kepercayaan diri dan kesehatan mental anak. Pendidikan bukanlah sekadar layanan jasa, melainkan juga tanggung jawab sosial membangun sebuah generasi bangsa.

Kapitalisasi Pendidikan di Indonesia

Di Indonesia, kapitalisasi pendidikan telah diamini oleh terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Di sana disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal; dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.

Peraturan ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, pemerintah melalui peraturan di atas baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung adanya komersialisasi pendidikan. Kedua, pemerintah dalam hal ini, selain karena faktor ekonomi, memerlukan adanya pihak lain dalam keterlibatan pembangunan pendidikan di Indonesia.

Dalam jangka yang panjang, peraturan ini akan menuai bencana-bencana terstruktur. Sebab, ketika pendidikan sudah dikendalikan oleh pihak swasta dan pemilik modal, perlahan tapi pasti—meminjam istilah Freire dalam Sekolah Kapitalisme yang Licik—pendidikan akan menjadi sesuatu yang mahal dan eksklusif.

Swasta dan pemilik modal, dalam hal ini, tanpa intervensi negara punya keleluasaan untuk menentukan bayaran-bayaran dan biaya operasional di sekolah yang tidak jarang cenderung tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat. Untuk menyebut contoh, ini artinya semakin mahal sekolah, maka mereka yang bisa menjangkaunya akan semakin sedikit.

Hal ini yang menyebabkan sekolah pada akhirnya malah membuat mereka yang kaya menjadi semakin pintar dan sebaliknya bagi yang miskin. Pendidikan yang dikomersialisasi akan menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan pendidikan semakin lebar. Dalam kasus yang ekstrem, pendidikan yang terlampau mahal membuat, “Orang miskin dilarang sekolah,” menjadi mungkin.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, hal di atas jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan yang humanis. Di mana seharusnya, pendidikan menjadi sesuatu yang terbuka untuk semua, inklusif, dan juga sangat ramah untuk berbagai kalangan. Sampai di sini, timbullah pertanyaan baru: Tidak semua anak lahir dari keluarga yang berkecukupan, lalu di mana posisi anak?

Seperti sudah disinggung sebelumnya, kapitalisasi pendidikan tentu saja tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi. Ketika berbicara mengenai aktor, justru anaklah yang menjadi pihak yang paling terdampak.

Fakta ini tentu saja membuat kita mengernyitkan dahi. Padahal, anak-anak itu memiliki hak yang sama untuk bersekolah. Anak-anak itu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Jika kita tarik ke awal, maka, kapitalisasi pendidikan-lah salah satu faktor yang membuat bencana bagi anak di Indonesia ini terjadi.

Penelitian-penelitian yang lain banyak dilakukan di Indonesia juga membuktikan, besarnya biaya untuk sekolah, oleh mereka yang memiliki tuntutan ekonomi yang tinggi; mereduksi minat belajar yang dalam jangka panjang berpotensi pada meningkatnya jumlah anak putus sekolah.

Tidak hanya itu, kapitalisasi pendidikan juga turut memengaruhi keadaan psikologis anak di sekolah. Biaya sekolah yang terlampau mahal membuat keluarga—terutama mereka yang sangat terbatas ekonominya—menekan anak untuk belajar lebih keras dari biasanya. Anak dituntut menjadi pintar di sekolah sebab adanya anggapan umum bahwa; “Biaya yang dikeluarkan di pendidikan berkorelasi positif dengan prestasi belajar anak”.

Ini jelas melanggar prinsip humanistik pendidikan dimana posisi anak sebetulnya harus dibiarkan bebas mengeksplorasi diri. Tuntutan dan pemaksaan itu akan menyebabkan anak tertekan.

HAK WARGA NEGARA DALAM MEMPEROLEH PENDIDIKAN

Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Berbicara mengenai hak asasi manusia berarti membicarakan hak-hak yang melekat pada diri manusia. Dalam UUD 1945 Pasal 28 telah dijelaskan bahwa hak asasi manusia ialah hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi hingga hak untuk mendapatkan pendidikan.
Melalui UUD 1945, Indonesia menyatakan cita-cita luhurnya untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, turut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Hak untuk mendapatkan pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, yang melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Pentingnya pendidikan menjadikan pendidikan dasar bukan hanya menjadi hak warga negara, tetapi juga kewajiban negara.

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting untuk membangun pendidikan di Indonesia. Pendidikan ini pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan atau keahlian dalam kesatuan yang harmonis.

Pendidikan memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.

Negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Berkat kekuasaan negara inilah, negara memiliki otoritas untuk mendesak terciptanya perlindungan hukum terhadap hak asasi setiap warga negara khususnya untuk mendapatkan pendidikan.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam

Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara .Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung. Sementara itu, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas Negara.

Pembiayaan pendidikan Islam adalah merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan dana yang diterima dan bagaimana cara penggunaan dana untuk kemaslahatan sekolah agar tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Konsep biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun bukan uang sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak yakni masyarakat, orangtua, dan pemerintah terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan serta cita-cita yang sudah ditentukan bisa tercapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya biaya pendidikan harus digali dari berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif sehingga dilaksanakan secara efektif dan efisien. Dalam Islam, sejarah pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. 

Dapat dipastikan dengan layanan pendidikan sesuai sistem Islam, tidak akan ada kasus siswa dihukum karena keterlambatan soal biaya. Karena Islam mewajibkan pembiayaan pendidikan mutlak ditanggung oleh Negara.

Wallahu’alam bishowab