-->

Kebijakan Pajak 12%, Benarkah Tidak Berdampak Signifikan Pada Rakyat?


Oleh : Ummu Asyraf 

Meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah dan sebagainya. 

Terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, dengan adanya implikasi tersebut, narasi pemerintah bahwa tarif PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang mewah pun tidak tepat. ”Untuk beberapa barang dengan nilai lain, tetap saja acuan pembayaran PPN-nya adalah 12 
Pemerintah melalui Menkeu Sri Mulyani saat membuka Perdagangan Bursa Efek Indonesia Tahun 2025, di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (2/1/2025) menyampaikan adanya paket kebijakan insentif dan stimulus yang diberikan pemerintah, antara lain pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah, insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik. Kemudian pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh. Selain itu, Sri Mulyani juga menyebut insentif lainnya yakni diskon listrik 50 persen untuk pelanggan dibawah 2.200 VA.
“Itu semuanya tujuannya agar masyarakat, para pekerja, kelompok miskin yang diberikan bantuan beras 10 kg per bulan 16 juta kelompok keluarga itu mendapatkan stimulus tadi. Sementara untuk properti dan juga sektor otomotif dan UMKM juga diberikan dukungan, dengan melakukan revitalisasi modal diberi pinjaman subsidi bunga lima persen.

Perspektif Kapitalis Tentang Pajak 

“Tidak ada yang pasti di dunia ini, selain kematian dan pajak,” demikian ungkapan Benjamin Franklin, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat. (National Constitution Centre, 2022). Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak merupakan komponen penting dari sistem ekonomi kapitalisme. Pajak memainkan peran penting dalam mengatur dan memengaruhi sistem ekonomi kapitalisme, salah satunya sebagai sarana untuk mendapatkan penerimaan negara. Pajak dibebankan untuk menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi publik (pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur), maupun untuk tujuan regulasi yang lain(Crowe dalam McGee, 2003). Seberapa besar tarif pajak yang adil, menjadi sangat relatif. Pajak pertambahan nilai (PPN) yang diterapkan pada hampir semua barang dan jasa yang diperdagangkan, telah memperlakukan orang kaya dan miskin setara. Akibatnya, mereka tidak mudah memenuhi kewajiban pajak mereka dan dalam membayarnya secara tepat waktu. Keinginan masyarakat untuk membayar pajak juga menurun seiring tingkat korupsi di kalangan pejabat tinggi di pemerintahan. (Picur & Belkaoui, 2006).
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu cara pemerintah untuk mengatur distribusi kekayaan, selain sebagai sumber penerimaan negara,juga sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengontrol inflasi.

Pajak, Sumber Dana Terbesar APBN

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenkeu RI, pada 2024, penerimaan negara dari berbagai sumber diproyeksikan mencapai Rp2.802 triliun, dengan target perolehan Rp2.309,9 triliun, naik Rp191 triliun dari tahun sebelumnya atau 82,4% dari total pendapatan negara. Sementara itu, penerimaan bukan pajak menyumbang Rp492 triliun kepada negara. BUMN—mewakili 3,1% penerimaan dan 7,4% dari penerimaan SDA. Sebanyak 3% berasal dari pendapatan badan layanan umum (BLU) dan 4,1% dari penerimaan bukan pajak lainnya. Hibah sebesar Rp430 miliar juga akan menambah pendapatan.
Bisa dikatakan bahwa setiap tahunnya APBN mengalami defisit anggaran yang berarti pengeluaran selalu lebih banyak daripada yang diterima. Anggaran negara juga selalu berkurang dengan utang—yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain utang luar negeri, alat pembiayaan APBN juga berasal dari utang domestik, seperti surat utang negara (SUN).

Menurut laman resmi Kemenkeu RI, tujuan utama negara berutang adalah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Kedua utang tersebut dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Per Oktober 2024, Kemenkeu RI mencatat APBN mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau setara 1,37%.

Khilafah Membiayai Negara Bukan dengan Pajak dan Utang

Negara Islam, juga dikenal sebagai Khilafah, adalah negara yang meletakkan Islam sebagai dasar hidupnya. Wahyu Allah Swt. yang dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunah merupakan sumber agama Islam. Oleh karenanya, semua pos yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara di dalam Khilafah, memiliki basis kuat dari Al-Qur’an, Sunah, ijmak sahabat, dan kias syar’i. Menurut Zallum (2003), pos pendapatan APBN Khilafah terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).

Gagasan Islam tentang pembentukan APBN sangat berbeda dengan APBN dalam sistem kapitalisme. Sumber daya utama pendapatannya dan cara pembelanjaannya berbeda. Sumber APBN Khilafah atau kas baitulmal sama sekali tidak bergantung pada sektor pajak. Syariat Islam mengatur sumber-sumber utama penerimaan negara untuk kas baitulmal sebagai berikut.

Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, dan hibah, adalah tiga sumber utama. Untuk zakat, tidak boleh dicampur dengan harta lain. 
Kedua, bidang kepemilikan umum, seperti gas, minyak bumi, batu bara, pertambangan, dan kehutanan. 
Ketiga, bidang yang dimiliki negara, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur, dan sebagainya.

Terkait aturan pembelanjaan, APBN Khilafah dapat dibuat oleh khalifah tanpa meminta persetujuan Majelis Umat. Dalam menetapkan anggaran pengeluaran, khalifah hanya tunduk pada aturan atau prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh syarak. Dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat, khalifah memiliki otoritas penuh untuk menetapkan berapa banyak dana yang harus dialokasikan untuk seluruh keperluan masyarakat. Ini wajib didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan oleh syarak, salah satunya untuk mencegah kekayaan tertumpu pada orang-orang kaya saja (lihat QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dalam menyusun anggaran untuk pos-posnya, khalifah paling tidak harus mengikuti enam prinsip utama. 
Pertama, harta zakat di kas baitulmal, hanya disalurkan kepada delapan ashnaf yang berhak. 
Kedua, pos pembelanjaan bersifat tetap dan wajib untuk keperluan jihad dan memenuhi kebutuhan orang miskin dan fakir. 
Ketiga, baitulmal harus membelanjakan uang secara tetap untuk membayar pegawai negeri, hakim, tentara, dan lainnya yang bekerja untuk kepentingan negara.
Keempat, pos wajib yang bersifat tetap untuk membangun sarana kemaslahatan rakyat yang wajib yang jika tidak ada, rakyat akan menderita. Contohnya, pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, dan sistem air bersih.
Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat sementara, misalnya untuk membantu korban bencana alam atau musibah, seperti gempa bumi, paceklik, banjir, angin topan, tanah longsor, dsb. 
Keenam, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kemaslahatan rakyat tidak wajib, yang berarti bahwa fasilitas tersebut hanya akan menjadi penambahan dari fasilitas yang sudah ada. 

Untuk pos pengeluaran pertama, khalifah hanya boleh membelanjakan sesuai jumlah harta zakat yang masuk ke kas baitulmal. Untuk pos pengeluaran butir kedua sampai kelima, khalifah harus mengeluarkan uang dari baitulmal sebagai kewajiban negara untuk segera membayar hak-hak rakyatnya sesuai kondisi masing-masing. Untuk butir keenam, jumlah yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan jumlah yang tersedia di baitulmal.

Meneropong Pajak (Dharîbah) dengan Pandangan Ekonomi Islam

Hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram. Akan tetapi, hukum Islam telah menetapkan kondisi tertentu yang memungkinkan pemerintah mengenakan pajak kepada warganya. Pajak—atau disebut dengan dharîbah—yang ditetapkan oleh Khilafah jelas berbeda dengan pajak yang ditetapkan negara kapitalis, baik latar belakang, maksud, dan tujuan mereka. Berikut beberapa perbedaan pajak antara Khilafah dan negara kapitalis.

Pertama, dharîbah hanya akan ditarik dalam keadaan darurat oleh negara. Keadaan ini dapat terjadi ketika harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat, atau karena negara tidak memiliki cukup dana untuk mengatur urusan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kezaliman.

Kedua, dharîbah ditarik secara selektif, dharîbah hanya akan dikenakan pada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan (kaya).

Ketiga, dharîbah dianggap sebagai kontribusi tambahan dalam APBN Khilafah, bukan sebagai kontribusi utama. Negara hanya akan memungut dharîbah jika terjadi keadaan darurat.
Sebaliknya, negara kapitalis menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. 

Pos Pembiayaan Pajak

Baitulmal sebagai lembaga negara yang mengelola harta umat, menjadikan fai, kharaj, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik umum sebagai pendapatan rutin dan digunakan untuk mencukupi seluruh pembiayaan bagi rakyat. Dalam keadaan baitulmal dapat memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, negara tidak boleh menarik pungutan dari warganya.
Beberapa pengeluaran yang dapat didanai dengan dharîbah :

Pertama, pembiayaan jihad dan semua hal terkait jihad. 

Kedua, pembiayaan industri militer dan pabrik penunjangnya yang memungkinkan negara memiliki industri persenjataan. Jihad sangat terkait dengan industri militer.

Ketiga, pembiayaan untuk fakir miskin.

Keempat, pembiayaan untuk membayar pegawai, tentara, hakim, guru, dan orang yang bekerja untuk umat.

Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Misalnya, pembiayaan jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, dan saluran air minum. Tidak peduli baitulmal memiliki harta atau tidak, pembiayaan untuk urusan tersebut bersifat tetap.

Keenam, dana untuk bencana alam dan keadaan darurat, seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan; atau dana untuk mengusir musuh. Pembiayaan untuk urusan-urusan ini tetap dilakukan meskipun tidak ada peristiwanya. Pembiayaan yang bersifat tetap juga harus dilakukan, terlepas dari keadaan harta di baitulmal. Dengan demikian, berdasarkan syariat Islam, anggaran belanja negara tidak boleh menjadikan pungutan pajak sebagai sumber pendapatan utamanya. Wallahualam.