KENAIKAN PAJAK MAKIN MENYIKSA RAKYAT
Oleh : Isnawati
Bertempat di Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta Pusat, pada Selasa (31/12/2024), Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan tersebut merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. (https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/6122/presiden-prabowo-subianto-tegaskan-pemberlakuan-ppn-12-hanya-dikenakan-terhadap-barang-dan-jasa-mewah)
Menurut Pakar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Imamuddin Yuliadi, S.E., M.Si.. Ia meminta agar kenaikan PPN 12% ini sebaiknya ditunda dan dilakukan pengkajian ulang. Menurutnya, menaikkan PPN menjadi 12% di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih memiliki PR akan berpotensi memperburuk sektor riil. Dampak dari kebijakan ini dinilai akan menggerogoti roda ekonomi, seperti menggerus daya beli masyarakat, konsumsi mengalami penurunan, serta dunia bisnis (terutama UMKM) akan menghadapi kenaikan biaya produksi dan beresiko kehilangan pasar.
Dengan demikian, kebijakan anggaran pemerintah Indonesia makin tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri. Kebijakan anggaran defisit, alias besar pasak daripada tiang, telah membawa negara ini ledakan kubangan utang yang makin dalam.
Di sisi lain, belanja pemerintah justru lebih banyak digunakan untuk belanja-belanja yang kurang produktif bagi peningkatan kesejahteraan publik. Selain itu ambisi politik untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur telah menyedot anggaran Rp 72 triliun hingga 2024. Anggaran yang akan disedot berpotensi lebih banyak lagi. Pasalnya, investor swasta tak kunjung berminat untuk berinvestasi di lahan yang tidak menjanjikan secara ekonomi tersebut. Ditambah lagi, korupsi anggaran negara yang makin masif. Sehingga perekonomian Indonesia makin morat-marit.
Pendapatan Bertumpu Pajak
Dari sisi pendapatan negara, perlambatan ekonomi global dan domestik menyebabkan penerimaan pajak juga merosot. Pendapatan negara dari SDA terus menurun akibat harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, minyak sawit dan nikel turun cukup tajam. Pendapatan royalti dan pajak dari perusahaan - perusahaan pertambangan dan perkebunan ikut merosot.
Di tengah kondisi tersebut, alih - alih memperbaiki kualitas belanjanya, pemerintah justru menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan cara meningkatkan berbagai jenis pajak dan pungutan kepada rakyat. Beberapa jenis pungutan tersebut antara lain : kenaikan PPN menjadi 12 persen, asuransi kendaraan, cukai minuman berpemanis dalam kemasan, kenaikan iuran BPJS, iuran tapera, pengurangan konsumsi BBM bersubsidi.
Mendzalimi Rakyat
Kenaikan berbagai tarif pajak, cukai dan iuran tersebut makin memberatkan beban hidup rakyat. Padahal jumlah penduduk yang masih berada dalam kondisi pra sejahtera masih sangat banyak.
Menurut laporan Bank Dunia yang diterbitkan tahun 2023, penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin struktural (structurally poor) mencapai 15,71 persen, tidak aman secara ekonomi (insecure) sebesar 43,33 persen, dan yang aman secara ekonomi (secure) sebesar 40,96 persen. Dengan kata lain, hampir 60 persen penduduk Indonesia belum sejahtera secara ekonomi.
Oleh karena itu, kebijakan - kebijakan di atas berpotensi makin memperburuk kondisi penduduk yang sudah tidak sejahtera. Sementara itu, perekonomian Indonesia pasca pandemi masih relatif lemah, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi global yang juga suram.
Islam Menghilangkan Kesengsaraan Akibat Pajak
Islam diturunkan oleh Allah Swt. untuk menunjukkan jalan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan menerapkan seluruh syariat-Nya. Untuk mencapai tujuan itu, pelaksanaan hukum-hukum syara' dibebankan kepada negara Islam, yakni negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara. Alhasil, undang-undang dasar serta perundang-undangan lainnya haruslah digali dari Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, Allah Swt. telah menetapkan sumber pemasukan tetap negara yang terbagi dalam tiga pos pemasukan utama, yakni (1) pos kepemilikan umum (fasilitas/sarana-sarana umum, barang tambang yang tidak terbatas, benda yang keadaan asalnya secara fitrah untuk umum); (2) pos kepemilikan negara (fai, ganimah, khumus, kharaj, jizyah, tanah-tanah dan bangunan milik negara), ‘usyur (bea cukai), harta ghulul (haram) dan denda, khumus rikaz / barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, pajak (dharibah); dan (3) pos zakat (zakat hewan [unta, sapi, kambing], zakat tanaman dan buah-buahan [gandum, jewawut, kurma, dan kismis], zakat perdagangan, zakat nuqud [emas, perak, dan uang]).
Hanya saja, jika harta-harta ini dan sumbangan kaum muslim tidak cukup dalam menutupi pos-pos pengeluaran yang menjadi tanggung jawab negara, pada saat itulah kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran beralih kepada kaum muslim. Ini karena Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membiayai kebutuhan maupun pos tersebut.
Sesungguhnya, Allah Swt. mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa kaum muslim jika tidak ada harta sama sekali dan kaum muslim tidak ada yang mendermakan hartanya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.”
Dari sinilah Allah memberikan hak kepada negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan tersebut dari kaum muslim dengan mewajibkan pajak sesuai ketentuan syariat Islam.
Selain itu, pajak hanya diambil dari kaum muslim yang memiliki kelebihan harta, yakni dari golongan kaya saja dan tidak dipungut dari nonmuslim. Sebabnya, pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim yang tidak menjadi kewajiban nonmuslim. Pengambilan pajak tidak boleh dipaksakan melebihi kesanggupan atau melebihi kadar harta wajib pajak.
Selain itu, pajak tidak boleh diwajibkan/diambil, kecuali sekadar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos tersebut. Mengambil yang lebih dari itu berarti zalim. Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk pungutan biaya di muka dalam administrasi negara. Juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan barang dagangan, atau lainnya yang bukan dari bentuk-bentuk pengeluaran yang Allah Swt. membolehkan memungut pajak atasnya.
Apabila negara tetap mewajibkan rakyat, berarti telah berlaku zalim dan hal ini dilarang, bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai sebagaimana diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.”
Demikianlah pengaturan Islam terkait pungutan pajak. Apabila diterapkan, tentu akan menghilangkan kesengsaraan rakyat atas kewajiban pajak sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalisme saat ini.
Dengan demikian, pengenaan berbagai pajak, cukai dan pungutan yang membebani publik merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai dasar kebijakan negara. Berbagai aturan tersebut bertentangan dengan islam yang telah di turunkan secara sempurna. Oleh karena itu, kaum Muslim wajib mendorong agar negara ini, termasuk pengelolaan ekonominya, diatur sesuai dengan syariah Islam dalam naungan Khilafah.
Wallaahu a'lam bisshowab.
Posting Komentar