Kenaikan PPN 12%: Simbol Kegagalan Sistem Kapitalisme dalam Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Oleh : Neneng Amelia Ningsih
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), adalah potret nyata dari kegagalan kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Presiden Prabowo menyatakan bahwa kenaikan ini hanya berlaku untuk barang mewah, namun kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Harga bahan pokok ikut melonjak, merusak daya beli masyarakat dan menambah beban ekonomi rumah tangga.
Kebijakan ini tidak hanya memukul masyarakat kecil, tetapi juga merusak ekosistem bisnis, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pelaku usaha menghadapi kenaikan biaya produksi, sementara konsumsi masyarakat menurun drastis. Dengan dalih menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kebijakan ini adalah langkah yang diperlukan (cnnindonesia.com, 21/12/2024). Namun, langkah ini justru memperparah kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tercekik oleh inflasi dan ketidakpastian global.
Konsekuensi Sistem Kapitalisme dan Demokrasi
Kenaikan PPN ini bukan hanya sekadar persoalan teknis fiskal, melainkan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang mendominasi kebijakan publik. Kapitalisme menjadikan keuntungan korporasi sebagai prioritas utama, sementara rakyat hanya menjadi objek eksploitasi melalui pajak dan kebijakan ekonomi yang memberatkan. Dalam sistem ini, pemerintah menjadi alat legitimasi modal besar, mengorbankan kepentingan rakyat demi menjaga stabilitas ekonomi semu yang berpihak pada elite.
Demokrasi, sebagai kerangka politik yang menopang kapitalisme, juga menunjukkan kebangkrutannya. Dalam sistem ini, suara rakyat hanya menjadi instrumen formalitas, sementara kebijakan yang diambil selalu berpihak pada kepentingan segelintir elit politik dan ekonomi. Retorika keadilan sosial yang sering dilontarkan pemerintah hanyalah ilusi, sementara kenyataan di lapangan adalah kesenjangan yang semakin melebar.
Solusi Islam: Menyelamatkan Ekonomi Rakyat dari Kezaliman Pajak
Islam memberikan solusi yang adil dan manusiawi untuk mengatasi permasalahan ekonomi, termasuk praktik kezaliman pajak yang membebani rakyat. Dalam sistem Islam, penguasa atau khalifah dilarang keras mengambil harta rakyat secara zalim tanpa alasan yang sah menurut syariat. Pemungutan pajak tidak menjadi mekanisme utama untuk membiayai negara. Islam memandang pajak sebagai bentuk darurat yang hanya dapat diterapkan dalam kondisi tertentu, misalnya jika Baitul Mal mengalami defisit yang tidak dapat diatasi dengan sumber pendapatan lainnya.
Pemerintahan Islam akan memastikan pemasukan negara berasal dari sumber-sumber yang telah diatur oleh syariat, seperti zakat, kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak dari non-Muslim), fai' (harta rampasan tanpa perang), dan ghanimah (harta rampasan perang). Semua sumber ini ditentukan berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan, tanpa menzalimi rakyat. Jika Khalifah memungut harta dari rakyat, itu hanya dilakukan dalam bentuk kewajiban syar’i yang telah ditetapkan, dan rakyat tidak merasa dirugikan.
Selain itu, sistem Islam memiliki mekanisme ekonomi yang memastikan distribusi kekayaan berjalan merata. Khalifah bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar seluruh rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tanpa membebani mereka dengan pajak yang tidak perlu. Bahkan, dalam kondisi tertentu, jika harta umat berlebih, negara akan memberikan subsidi atau insentif ekonomi kepada rakyatnya.
Sistem ini berbeda total dengan kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Dalam kapitalisme, pajak dipaksakan kepada rakyat tanpa memandang kondisi ekonomi mereka. Akibatnya, rakyat yang sudah terbebani oleh harga kebutuhan pokok yang tinggi semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Sistem ini juga sering kali mengutamakan kepentingan korporasi besar dibanding kesejahteraan masyarakat umum.
Sebaliknya, dalam sistem Islam yang kaffah, APBN diatur dengan sangat cermat untuk memastikan bahwa semua pengeluaran negara hanya digunakan untuk kepentingan rakyat dan dakwah Islam. Pendekatan ini menutup celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, hanya dengan kembali kepada syariat Islam secara kaffah, kezaliman pajak dan ketimpangan ekonomi dapat dihentikan. Sistem ini tidak hanya menjamin keadilan ekonomi, tetapi juga mewujudkan keberkahan hidup melalui penerapan hukum Allah SWT secara menyeluruh. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim" (QS. Al-Maidah: 45).
Posting Komentar