-->

Kontroversi Dana Zakat untuk Program MBG, Solusi atau Beban Baru bagi Rakyat?

Oleh : Novi Ummu Mafa

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, kembali menuai perdebatan. Kali ini, pernyataan Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mengenai pelibatan dana zakat dalam pembiayaan program ini menjadi sorotan. Dalam sebuah wawancara, Sultan menyatakan bahwa tradisi gotong royong dan kedermawanan masyarakat Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mendukung MBG, salah satunya melalui dana zakat. (Detik.com, 15-01-2025). Hal ini memicu gelombang kritik tajam di kalangan masyarakat, usulan ini juga menimbulkan kontroversi. Banyak pihak, termasuk netizen, mempertanyakan etika, efektivitas, dan legalitas gagasan tersebut.

Mengalihkannya dana zakat untuk pembiayaan program yang bersifat umum dianggap tidak sesuai, gagasan ini dinilai mencoba mengalihkan beban finansial program negara ke pundak masyarakat melalui mekanisme zakat. Wacana ini justru mempertegas lemahnya sistem sosial politik berbasis demokrasi dan kapitalisme sekuler yang gagal memenuhi kebutuhan mendasar rakyat tanpa mengeksploitasi sumber daya masyarakat. 

Demokrasi kapitalistik Sistem yang Rapuh

Demokrasi kapitalistik kerap melahirkan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Dalam sistem ini, negara lebih sering bertindak sebagai fasilitator kepentingan elit dan korporasi daripada pelayan masyarakat. Wacana pelibatan dana zakat untuk mendanai MBG adalah bukti nyata ketidakmampuan negara untuk mengelola anggaran secara efektif. Padahal, fungsi utama negara dalam sistem apapun adalah menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk gizi anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa.

Ironisnya, anggaran MBG yang seharusnya menjadi prioritas justru terkesan "diserahkan" kepada masyarakat. Gagasan ini menunjukkan adanya pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan program strategis. Sementara itu, pengelolaan anggaran negara terus menunjukkan ketidakadilan struktural, di mana prioritas lebih sering diberikan pada proyek infrastruktur atau belanja pertahanan daripada alokasi anggaran yang langsung menyentuh rakyat kecil.

Data empirik menunjukkan bahwa anggaran fungsi pendidikan dan kesehatan sering kali dipangkas. Dalam APBN 2025, anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp722,6 triliun, tetapi pelaksanaannya cenderung tidak efektif karena dialihkan ke program-program politis seperti MBG. Anggaran sebesar ini sebenarnya cukup jika dikelola dengan benar tanpa harus membebani masyarakat melalui mekanisme zakat.

Ketimpangan dalam Kapitalisme dan Demokrasi

Kapitalisme telah menciptakan ketimpangan yang akut, baik dalam distribusi kekayaan maupun akses terhadap kebutuhan dasar. Dalam demokrasi, kebijakan sering kali ditentukan oleh kepentingan elit politik dan ekonomi, bukan oleh kebutuhan rakyat. Hal ini terlihat dari bagaimana pemerintah lebih sering mengutamakan proyek infrastruktur besar yang mendatangkan keuntungan bagi investor daripada memperbaiki kualitas hidup masyarakat kecil.

Program MBG, meskipun terdengar mulia, tidak lebih dari sekadar kebijakan populis yang dirancang untuk meningkatkan citra politik penguasa. Anggaran yang tidak jelas, transparansi yang lemah, dan target yang tidak realistis menunjukkan bahwa program ini hanya menjadi alat politik. Jika benar zakat dilibatkan, maka hal ini hanya akan memperpanjang daftar kebijakan yang merugikan masyarakat bawah.

Zakat: Hak Mustahik, Bukan Solusi Tambal Sulam

Zakat adalah kewajiban agama yang dirancang untuk membantu golongan tertentu (mustahik), seperti fakir, miskin, dan mereka yang terlilit utang. Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
(QS. At-Taubah: 60).

Syariat Islam dengan tegas mengatur penggunaannya agar tepat sasaran. Dalam konteks MBG, pengalihan zakat untuk mendanai program ini adalah bentuk penyimpangan serius. Menggunakan zakat sebagai solusi tambal sulam anggaran negara sama saja dengan melanggar amanah syariat.

Lebih jauh, pelibatan zakat dalam program MBG berpotensi menciptakan distorsi sosial. Masyarakat akan semakin terbebani untuk menutup lubang anggaran yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Apakah ini cerminan negara yang berdaulat? Ataukah ini adalah bentuk lain dari eksploitasi rakyat demi menutupi kegagalan sistem kapitalisme?

Solusi Islam: Negara sebagai Pelayan dan Pelindung

Sistem Islam mampu menjawab persoalan ini secara fundamental. Dalam sistem Islam, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah tanggung jawab penuh negara. Negara Khilafah memiliki mekanisme yang jelas untuk memastikan kebutuhan seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan terpenuhi tanpa membebani masyarakat.

Dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, gas, dan hutan adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan umum. Hasil pengelolaan ini dapat digunakan untuk mendanai program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) tanpa perlu melibatkan zakat atau membebani masyarakat dengan pajak tambahan.

Selain itu, Islam menjamin pemerataan distribusi kekayaan melalui instrumen seperti zakat, kharaj, dan jizyah, sambil melarang praktik penimbunan harta oleh individu atau korporasi demi terciptanya keadilan ekonomi. Kepemimpinan dalam sistem Khilafah berorientasi pada pelayanan kepada rakyat (raa'in), bukan sebagai fasilitator bagi kepentingan korporasi.

Dengan demikian, anggaran negara dikelola dengan amanah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan untuk kepentingan politik jangka pendek. Lebih jauh, pembangunan dalam Islam berbasis pada kemandirian, menolak ketergantungan pada pinjaman luar negeri atau investasi asing yang sering kali disertai dengan syarat-syarat yang merugikan.

Khatimah

Dengan mengembalikan negara pada peran aslinya sebagai pelayan rakyat, kesejahteraan dan keadilan sosial dapat terwujud. Saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi sejati tidak terletak pada tambal sulam kebijakan, melainkan pada penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Wallahu a’lam bishshawab.