-->

Koruptor Diampuni, Penegakan Hukum Diamputasi


Oleh : Ummu Ayya

"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Kata-kata di atas sepertinya sudah tidak berlaku lagi bagi “tikus-tikus kantor” alias para koruptor. 
Keberadaanya yang suka mencuri uang rakyat dan membuat negara tekor seakan diberikan pembelaan. Parahnya, mereka justru diberikan fasilitas “karpet merah” untuk terus-menerus menumpuk kekayaan. Salah satu karpet merah tersebut adalah sebuah rencana yang cukup membuat publik tercengang. 

Rencana yang dimaksud adalah kebijakan “memaafkan” para koruptor. Hal itu menjadi salah satu terobosan baru di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Rencana tersebut juga menjadi sebuah pertimbangan bagi para “pencuri uang negara” jika mereka mau mengembalikan uang hasil korupsinya.

Hal itulah yang disampaikan oleh Presiden Prabowo saat berpidato di depan para mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir pada Rabu (18/12).
Intinya, Prabowo berharap, dengan ide tersebut, para pelaku bisa bertaubat dari perbuatan yang merugikan negara dan rakyat.

Ide di atas tentunya akan menjadi angin segar yang melenakan hingga membuat mereka nyaman dengan posisinya yang sekarang. 
Sebaliknya, gebrakan yang akan dibuat justru bisa menjadi “badai tornado” yang akan meluluhlantakkan penegakan hukum dan nilai-nilai kebenaran. Tak ayal, adanya “program memaafkan” yang digagas oleh orang nomer satu di Indonesia tersebut menuai protes keras dari berbagai kalangan.
 
Kritikan Para Pegiat Antikorupsi

Rencana yang menimbulkan kegaduhan tersebut membuat beberapa pihak angkat bicara untuk memberikan peringatan. Hal itu mereka lakukan karena adanya bahaya level tinggi yang menanti jika kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan.

Ungkapan keberatan terhadap rencana Presiden Prabowo datang dari Lakso Anindito, Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Institute. Lakso menilai bahwa pemerintah berusaha memberikan pembenaran dalam meringankan bahkan menghilangkan sanksi kepada para koruptor. Parahnya, hanya dengan mengembalikan duit yang dikorupsi, pemerintah akan “ memaafkan” dan proses hukum pun bisa dihentikan. 

Sementara itu, Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) yang diwakili oleh Zaenur Rohman, menyampaikan kritikannya bahwa ide untuk menghilangkan proses hukum bagi orang-orang yang serakah tersebut menjadi sesuatu yang berbahaya sekali. Zaenur yang merupakan peneliti di Pukat UGM juga menambahkan bahwa pelaku korupsi harus tetap menjalani proses hukum meskipun sudah mengembalikan uang hasil korupsinya. Hal itu disampaikan oleh Zaenur kepada wartawan pada, Kamis (19/12)

Hal senada juga disampaikan oleh Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman (Unmul). Pernyataan tersebut disampaikan oleh Herdiansyah selaku peneliti dari SAKSI. Hamzah menilai, adanya wacana pemberian maaf merupakan upaya terselubung untuk mengampuni para pelaku korupsi.

Lebih jauh, apa yang direncanakan oleh Presiden Prabowo juga makin membuka jalan untuk melanggengkan kasus-kasus korupsi di kemudian hari. 
(CNN Indonesia, 20-12-2024)

PR Besar

Rencana yang yang digagas oleh Presiden Prabowo menjadi sesuatu yang mengundang tanda tanya besar. Mengapa beliau terkesan mengistimewakan para koruptor yang seharusnya diberi sanksi? Betulkah rencana tersebut bisa menjadi sebuah solusi atas kasus korupsi yang sudah menggurita di negeri ini?

Banyaknya kasus korupsi yang menimpa negeri ini tentu bukan hal mengejutkan. Kondisi tersebut merupakan PR besar di setiap era kepemimpinan baru yang merupakan warisan masa lalu dari pemimpin sebelumnya. Maka dari itu, menjadi sesuatu yang wajar ketika kasus-kasus korupsi makin tak terkendali karena jumlahnya yang makin tinggi.

Kondisi yang demikian harusnya menjadi pertimbangan untuk memberikan sanksi tegas kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Namun apa daya, Prabowo justru berusaha memaafkan mereka sebagai sebuah solusi. 

Upaya Pemberantasan Korupsi

Adanya upaya pemberantasan korupsi sebenarnya sudah dilakukan cukup lama. Hal itu bisa dilihat dari pembentukan sebuah lembaga yang menangani bidang pemberantasan korupsi dalam rangka menyelamatkan uang negara.

Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada tahun 2002. Di sini, KPK melakukan pemberantasan korupsi secara terus-menerus dan profesional.
Tak cukup sampai di situ, dengan adanya KPK, peran lembaga-lembaga yang ada sebelumnya juga menjadi lebih tepat sasaran dan maksimal.
( detikNews, 2-6-2021)

Dengan demikian, ketika muncul rencana untuk memaafkan para koruptor, hal itu justru akan mencederai fungsi KPK. Bukankan KPK dibentuk untuk memberantas korupsi?  

Melukai Hati Rakyat

Ide mengampuni para pelaku korupsi juga akan melukai hati rakyat. Pasalnya, uang yang dikorupsi merupakan hak rakyat. Di sana, banyak sekali kepentingan rakyat yang dirampas demi kepuasan materi yang hanya sesaat. Parahnya, tanpa merasa bersalah, mereka mengulangi lagi perbuatan tersebut bila ada kesempatan.

Luka di hati rakyat tentu akan makin dalam dengan adanya ide memaafkan yang ditujukan bagi pelaku korupsi. Hal itu merupakan hal yang wajar karena masyarakat sudah menanggung beban yang banyak sekali. Hal itu bisa dari mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang makin tinggi.

Ditambah lagi dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang makin tak terkendali. Penderitaan rakyat pun makin lengkap dengan lapangan pekerjaan yang makin sulit dicari. Sudahlah jatuh tertimpa tangga, derita rakyat seakan tiada habisnya.

Perlakuan Berbeda

Perlakuan istimewa yang akan diberikan kepada para pelaku korupsi juga makin menegaskan betapa perlakuan dan penegakkan hukum di negeri ini sangat bertolak belakang antara si kaya dan si miskin. Maka tidak heran bila ada yang mengatakan bahwa hukum yang berlaku adalah tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Intinya, jika yang melakukan rakyat biasa, proses hukum langsung dilaksanakan. Sebaliknya, bila yang salah merupakan orang yang kaya atau berpengaruh, maka kasusnya akan dipetieskan. 

Kondisi di atas membuat rakyat seperti dianaktirikan. Sedangkan untuk para koruptor justru menjadi “anak emas” yang harus diistimewakan. Padahal, jelas-jelas melakukan sebuah kesalahan dan pelanggaran. Lantas, kenapa mereka tak diberi hukuman? Mengapa mereka justru akan dimaafkan bila harta korupsinya dikembalikan? Apakah dengan mengembalikan uang yang dicurinya, si koruptor secara automatis dianggap tak melakukan sebuah kejahatan?

Buah Sistem Rusak

Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang membuat rakyat pusing sendiri. Alhasil, semua itu menjadi benang kusut yang makin membelenggu hingga membuat masyarakat tak mampu berpikir lagi. 

Adanya rencana pengampunan bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari rusaknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem tersebut menjadi tempat yang nyaman bagi para pencari kekayaan yang mengabaikan aturan dari Zat Yang Maha Tinggi. Alhasil, dengan leluasa dan tanpa rasa malu, mereka pun terus memperkaya diri tanpa peduli dengan kondisi rakyat yang mereka zalimi.

Sistem yang berlaku merupakan hukum rimba yaitu hukum buatan manusia. Hukum tersebut meniscayakan bahwa yang kuatlah yang menang. Sedangkan bagi yang miskin akan kalah oleh kekuasaan. Begitulah karakter penegakan hukum di tengah-tengah kehidupan yang tidak menerapkan hukum Islam.

Tegasnya Hukuman dalam Islam

Kondisi akan berbeda 360° ketika Islam diterapkan. Penegakan hukum di dalam Islam tidak mengenal tebang pilih ataupun status sosial. Semuanya sama di hadapan Sang Pencipta. Saat ada yang melakukan kesalahan, tidak ada keringanan atau pengurangan hukuman.
Hal itu berlaku bagi setiap individu baik rakyat maupun pejabat negara. Tak si kaya atau si miskin, semuanya akan diproses sesuai dengan hukum Islam yang diberlakukan di tengah-tengah mereka.

Ketegasan hukuman di dalam Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hal itu berdasarkan sebuah riwayat tentang seorang wanita yang ketahuan mencuri. Wanita tersebut berasal dari keluarga Bani Makhzum yang terpandang.
Berdasarkan aturan Islam, wanita tadi harus dihukum dengan dipotong tangannya. Akan tetapi keluarga tersebut keberatan. Alhasil, mereka melakukan
berbagai upaya agar wanita tersebut dimaafkan.

Untuk itu mereka memohon bantuan Usamah bin Zain, seorang sahabat yang dicintai dan sangat dekat dengan Rasulullah saw. Mereka meminta Usamah membujuk Rasulullah saw. agar tidak menghukum wanita tersebut.

Maka datanglah Usamah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan maksudnya. Mendengar hal tersebut, Rasulullah saw. terlihat begitu marah lalu berkata, "Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?"

Kemudian Rasulullah saw. berdiri dan berkhutbah di hadapan umat muslim dan bersabda: "Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika ada orang biasa mencuri, mereka tegakkan hukuman kepadanya.
Demi Allah, bahkan jika Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya."
(HR. Ibnu Majah)

Hadis di atas menjadi sebuah ketegasan hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan tanpa pandang bulu. Itulah hukuman yang seharusnya diberlakukan di tengah-tengah masyarakat agar tindak pencurian tidak merajalela. Di samping itu, hukuman yang diberikan akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi sebuah pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Islam Memberantas Korupsi

Begitu pula dengan tindak pidana korupsi, tentunya juga akan diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam hal ini, tentu butuh kerjasama yang solid antara individu, masyarakat, dan hadirnya negara.

Hanya saja, tiga komponen di atas harus benar-benar mengedepankan aturan Islam agar tercipta suasana keimanan. Dengan demikian akan terbentuk individu yang bertakwa, kontrol masyarakat yang senantiasa saling mengingatkan kepada kebaikan, dan negara yang menerapkan aturan Islam.

Di sini, peran negara menjadi komponen yang sangat penting karena hanya negara yang berhak memberlakukan hukum sanksi kepada para pelaku korupsi.

Di dalam Islam, hukuman bagi koruptor masuk dalam takzir, yaitu hukuman yang kadar dan jenisnya ditentukan oleh penguasa atau hakim. Hukuman yang diberikan dari yang paling ringan berupa, teguran dari hakim, hukuman penjara, dan dikenai denda.
Ada juga hukuman yang diumumkan di hadapan masyarakat yaitu hukuman cambuk. Berikutnya, hukuman yang paling tegas yaitu hukuman mati. Beratnya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al- Maliki, Nizham Al- 'Uqubat, hlm 78--89)

Demikianlah penegakan hukum terhadap para koruptor di dalam sistem Islam. Hukum tersebut berfungsi sebagaimana mestinya tanpa bisa dikurangi sedikit pun. Dengan begitu semua pelaku korupsi bisa diproses secepatnya dan dihukum dengan aturan Islam yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.  

Hanya saja, proses hukum di atas hanya akan terlaksana secara sempurna dengan diterapkannya sistem Islam oleh sebuah institusi bernama Daulah Islam. Dengan begitu, tidak akan ada lagi ketimpangan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat karena semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum syariat.

Wallahu a'lam bish-shawwab