Macet Sudah Biasa, Haruskah Dimaklumi?
Oleh : Lia Anggraini
Jalan raya merupakan sarana penghubung untuk mobilisasi orang atau barang dari satu tempat menuju tempat yang lain. Artinya, jalan merupakan infrastruktur yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, sarana penting ini seringkali luput dari perhatian pemerintah.
Belum lama ini Jalan Raya Jalintim dari arah Palembang-Betung mengalami kemacetan parah sampai “stuck”, kendaraan sama sekali tidak bergerak selama sekitar 10 jam. Diduga kemacetan ini terjadi karena adanya peningkatan volume kendaraan saat weekend dan libur Nataru 2025. Kemacetan ini terjadi di Jalintim, kecamatan Banyuasin III sampai Kec. Betung (Sripoku.com, 5/1/2025).
Sebenarnya kemacetan parah di Jalintim bukan kali ini saja terjadi. Hampir setiap momen liburan baik libur lebaran maupun keseharian, kemacetan terus terjadi di Jalintim. Meskipun pihak kepolisian kerap kali diterjunkan langsung untuk menguraikan arus lalu lintas, tetapi hal tersebut belum menjawab permasalahan kemacetan ini.
Selain menurunkan jumpal personel yang cukup banyak, personel polisi juga mengantisipasi kendaraan yang mengambil lajur berlawanan penyebab kemacetan. Selain itu, truk-truk bertonase besar yang sering melintas di Jalintim yang mengalami kecelakaan juga menjadi salah satu penyebab macet di jalan tersebut. Truk tonase besar yang celaka menjadi penghalang kendaraan lain untuk lewat, sehingga memperparah kemacetan.
Kemacetan parah yang sering terjadi di Jalintim seharusnya menjadikan pemerintah lebih sigap dan berbenah mengingat dalam kondisi normal atau harian saja, jalan itu kerap macet. Kemacetan ini pada dasarnya adalah bukti kurangnya infrastruktur jalan raya dan jalur khusus untuk kendaraan bertonase besar.
Namun, sepertinya hal ini akan sulit terwujud di dalam sistem kapitalisme saat ini. Karena, sistem kapitalisme tidak mengenal sistem pembagian kepemilikan seperti sistem Islam. Di dalam sistem Islam ada kepemilikan negara, umum, dan pribadi. Dalam sistem kapitalisme, negara melayani masyarakat dengan paradigma korporasi. Pembangunan infrastruktur didasarkan pada kebutuhan korporasi, bukan kebutuhan masyarakat.
Prinsip pemerintahan juga bukan pelayanan pada kepentingan rakyat. Di tambah mental korup menghambat pembangunan, terlihat dari jumlah kerugian negara yang fastastis karena korupsi. Selain itu, bisnis kendaraan yang jor-joran turut meningkatkan volume kendaraan. Jumlah kendaraan roda 4 sangat banyak, tetapi kapasitas jalan tidak memadai.
Demikian juga truk-truk dengan angkutan yang besar melintas setiap hari di jalan itu. Padahal, mobil-mobil besar milik perusahaan ini yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan volume kendaraan dan kerusakan jalan. Seharusnya ada jalur khusus bagi mobil bertonase besar, sehingga kenyamanan dan keamanan pengguna jalan yang lain bisa dirasakan semua masyarakat.
Di dalam sistem Islam, penguasa adalah yang bertanggung jawab dalam pengurusan umat, termasuk dalam pengelolaan mencegah kemacetan. Penguasa dalam Islam melakukan penataan, perencanaan dan pengaturan pada sarana prasarana dan infrastruktur untuk kepentingan publik. Agar aktivitas publik bisa berjalan lancar.
Penguasa dalam Islam tidak akan membiarkan jatuhnya korban jiwa dan berbagai kerugian dialami oleh masyarakat. Jangankan pada manusia, pada penguasa Islam sangat ketakutan jika ada seekor keledai yang terjerembab ke dalam lubang. Seperti sabda Rasulullah Saw, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim)
Posting Komentar