-->

Memalak Rakyat dengan Pajak? Umat Semakin Butuh Kepemimpinan Islam


Oleh : Erna Susanti

Seperti biasa dan senantiasa berulang, rakyat di negeri ini akan kembali menerima “kado pahit” dari pemerintahnya di setiap awal tahun (2025) yaitu dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Tak ayal lagi, pengumuman ini memicu berbagai reaksi, baik dari kalangan pedagang, konsumen, hingga para ahli ekonomi. Persoalannya, kenaikan PPN menjadi beban baru yang dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat dan memperparah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Harga barang dan jasa menjadi lebih mahal dan akan mengurangi daya beli konsumen. Di sisi lain, para pelaku usaha ritel besar pun khawatir terhadap penurunan penjualan yang bisa saja terjadi.

Pajak tersebut akan dikenakan atas barang dan jasa yang beredar di dalam negeri, dari produsen hingga konsumen. PPN akan dikenakan pada Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Beberapa contoh barang atau jasa yang dikenakan pajak seperti pakaian, sepatu, elektronik,, kosmetik, otomotif, pulsa, sabun, perabotan rumah, layanan Netflix, dan Spotify. Masih banyak lagi barang yang serupa lainnya. Sedangkan barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, susu, sayur-sayuran, dan telur, tetap tidak dikenakan PPN. 

Melihat kebijakan yang lahir tersebut sudah pasti bisa dikatakan rasa empati pemimpin negeri ini sudah hilang sama sekali. Himpitan hidup rakyat belumlah tuntas, lalu semakin sempit lewat kenaikan pajak, yang membuat rakyat akan semakin susah bernapas. Ibarat kata pepatah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’. Hati nurani penguasa sudah tidak tersisa lagi. Bagaimana akan dicintai oleh rakyatnya? Untuk mengeyangkan rakyatnya saja sudah tidak terpikirkan oleh para pemimpin negeri ini. Para koruptor bebas berkelana buah ketidakadilan sistem rusak dan korup dengan tetap bergelimang harta. Sedangkan masih ada rakyat nun jauh di ujung pelosok bahkan di tengah hiruk pikuk kota metropolis masih menikmati kesulitan dan kesengsaran hidup. Jangankan berpikir membayar pajak, untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaganya penuh perjuangan yang seakan derita tiada tepi. 

Pajak Dzolim, Buah Sistem Kapitalis Liberalis

Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Untuk itu, warga negara akan mendapatkan kompensasi secara tidak langsung dalam bentuk hasil-hasil pembangunan dan pembiayaan untuk kepentingan umum yang menjadi prioritas negara.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak merupakan sumber penerimaan utama. kontribusi pajak dalam pendapatan Indonesia mencapai 80,32% (BPS, 2023), sebuah angka yang sangat besar dan lebih besar dibanding Singapura yang relatif tidak memiliki SDA sebanyak Indonesia. Sementara PPN sendiri merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar dalam APBN Indonesia. Bahkan PPN berkontribusi cukup besar terhadap total penerimaan pajak di Indonesia dan menjadi salah satu penyumbang utama APBN.

Dalam sistem kapitalisme yang menerapkan kebijakan ekonomi liberal, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Oleh karena itu, cara mudah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran adalah dengan memainkan pajak. Wajar jika negara mempropagandakan dengan gigih kewajiban membayar pajak karena perekonomiannya memang bertumpu pada pajak.

Adapun alasan kenaikan pajak ini untuk memperkuat penerimaan negara sangat sulit diterima, mengingat kondisi saat ini persentase penerimaan pajak sudah sangat besar. Lalu ke mana SDA yang melimpah, seperti kekayaan barang tambang, hutan, hasil laut yang jumlahnya menduduki peringkat dunia? Siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Jika kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak menjadi pos terbesar penerimaan negara, wajar jika rakyat akan terus-menerus ditekan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (TQS. Asy-syura: 42).
“Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Pengaturan Pajak dalam Perpektif Islam
Pajak memang ada dalam pengaturan sistem ekonomi Islam.Akan tetapi, fakta pajak menurut Islam sangat berbeda dengan fakta pajak saat ini. Dalam Islam, pajak hanya diterapkan secara insidental, yaitu hanya ketika kas negara membutuhkan backup keuangan. Alhasil, pajak bukan pungutan yang bersifat abadi. Namun di saat kas negara dalam kondisi normal, pajak harus dihentikan dan tidak melebihi ambang kebutuhan yang dibutuhkan saat itu. Selain itu, pajak hanya diwajibkan kepada muslim, laki-laki, dan yang kaya. Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang (kaya dan miskin) wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup.

Syariat Islam menetapkan bahwa setiap pungutan apa pun kepada rakyat harus legal, harus benar-benar diizinkan oleh syariat dan berdasarkan kepada dalil syariat Islam. Negara yang menjadi wakil pelaksanaan syariat Islam secara ketat mendapatkan amanah untuk mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat sesuai ketentuan syariat. Artinya, mulai dari sumber-sumber pendapatan, termasuk jenis pengeluarannya harus bersandar kepada dalil syara’. Penguasa dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang melanggar syariat.
Melalui pengelolaan keuangan APBN syariah, negara memiliki pos penerimaan yang sangat banyak. Sebagai contoh, pemanfaatan pos harta kepemilikan umum saja. Jika SDA dikelola sendiri oleh negara, tidak diserahkan pada asing dan swasta, tentu hasil yang kembali kepada negara dapat digunakan secara optimal, bahkan berlebih. Indonesia memiliki kekayaan alam yang jumlahnya terbesar di dunia, seperti hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan sebagainya. Belum lagi dengan hasil hutan dan perairan.

Sayangnya, potensi kekayaan alam yang seharusnya menjadi kepemilikan umum justru diserahkan pada swasta, maka manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, melainkan hanya pada individu-individu tertentu. Padahal, jika tunduk pada pengaturan ekonomi Islam, kepemilikan itu tidak hanya kepemilikan individu dan negara, tetapi ada juga kepemilikan umum. Dengan adanya pengaturan kepemilikan umum yang khas seperti itu akan dapat menjamin distribusi kekayaan dan dapat dinikmati oleh semua warga negara.

Pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan pula menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara. Pajak diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat. Dalam Khilafah, tidak ada penetapan pajak tidak langsung, PPN, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli, dan berbagai jenis pajak lainnya.

Dalam Khilafah, pajak bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara sedang genting. Adapun sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal di antaranya, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta orang murtad, zakat. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika ada harta, akan dibiayai oleh baitulmal. Jika tidak ada, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak dipenuhi, bisa menyebabkan dharar bagi seluruh kaum muslim. Untuk menghilangkan dharar pada saat baitulmal tidak ada dana, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah).
Setidaknya ada tiga ketetapan syariat terkait pajak.

Pertama, kondisi yang diperkenankan mengambil pajak

Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong. Manakala problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan.

Kedua, pihak yang termasuk wajib pajak

Ketika kas baitulmal kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi negara dan umat, pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia seorang warga negara muslim. Artinya, tidak diwajibkan bagi warga negara nonmuslim. Ia juga harus dari kalangan orang yang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang. Itu pun dari kelebihan harta yang mereka miliki, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu, beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat. 

Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari pajak

Dalam Islam harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak, yaitu untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada dua pihak sekaligus, yaitu negara dan umat, yakni jika di baitulmal kosong.
Contoh kewajiban yang dibebankan kepada negara dan umat adalah pembiayaan jihad, pembangunan industri senjata, nafkah fakir dan miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim, dan guru. Juga pembiayaan kondisi darurat, seperti gempa, banjir, topan, tsunami, invasi musuh, dan sebagainya.
Jika hal itu merupakan menjadi kewajiban negara yang bukan kewajiban umat, tidak boleh bagi negara untuk memungut pajak. Contohnya, pembangunan fasilitas umum yang ketiadaannya tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi kaum muslim, misal membuka atau membangun jalan kedua, padahal jalan utama masih memungkinkan. Selain itu, membangun sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi baru, padahal sudah ada yang lainnya. Dalam kondisi ini, negara tidak boleh memungut pajak dari rakyatnya.

Sudah seharusnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan dari Rasulullah saw. tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.

Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Cukuplah firman Allah Swt. menjadi pengingat kita semua, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha: 124).
Wallahu a’lam bishshowwab