-->

MENGKRITISI DEFORESTASI JUTAAN HEKTAR HUTAN DEMI SEGELINTIR ORANG

Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan telah mengidentifikasi 20 juta hektar hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, sumber energi dan air. Luas hutan yang akan dibuka tersebut hampir dua kali luas pulau Jawa yang memiliki luas 128.297 km² atau 12,28 juta hektar (www.betahita.id, Jumat 3 Januari 2025) (1).

Presiden Prabowo Subianto juga menyatakan Indonesia perlu menambah penanaman Kelapa Sawit tanpa takut dinilai menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan), karena menurutnya kelapa sawit juga menyerap karbon dioksida (www.bbc.com, Kamis 2 Januari 2025) (2).

Ini berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Karena sejak zaman Presiden Soeharto hingga Jokowi, banyak proyek food state gagal. Hal tersebut juga sudah masuk laporan beberapa pihak seperti Greenpace Indonesia, Walhi, dan anggota Komisi 4 DPR. Banyak tanaman yang tidak optimal pertumbuhannya, hutan yang sudah digunduli terbengkalai, bahkan ada yang berubah menjadi kebun sawit. 

Walhi menilai pernyataan presiden Prabowo anti science dan rentan melegitimasi pendekatan keamanan di bisnis sawit. Bahkan telah banyak laporan akademis yang menyatakan dampak buruk konversi hutan menjadi lahan sawit. Seperti hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan pada ekosistem hutan, terjadi erosi tanah dan banjir, kelangkaan air dan dampak ekologis lainnya. Juga tidak jarang konversi hutan menjadi lahan merampas ruang hidup m;asyarakat. 

Sungguh menyesakkan dengan berbagai kebijakan penguasa hari ini. Kebijakan tersebut tampak tidak mementingkan urusan rakyat. Program yang sudah terbukti gagal dan merusak hutan terus dilakukan pemerintah, seolah-olah untuk rakyat. Inilah kebijakan yang dihasilkan dari sosok pemimpin dalam sistem kapitalisme sistem kapitalisme melahirkan penguasa korporatokrasi kekuasaan digunakan untuk mempermudah urusan bisnis penguasa bersikap populis otoritarian agar tetap terlihat berpihak pada rakyat padahal yang menikmati keuntungan dari program tersebut tidak lain adalah para swasta sebagai bukti swasta menjadi pihak terbesar yang mengelola lahan sawit berdasarkan data Kementerian Pertanian Republik Indonesia 2020 total lahan sawit perusahaan swasta mencapai 54,4%. Proyek-proyek food state juga tidak jarang menggandeng investor. Maka selama negara kita berkiblat pada sistem kapitalisme, maka selama itu pula pemimpin akan mencurangi rakyat. 

Sangat berbeda dengan profil pemimpin di dalam sistem Islam. Mereka adalah sosok-sosok yang sangat memahami perannya sebagai seorang pemimpin dalam Islam. Pemimpin harus menjadi raain atau pengurus dan junah atau pelindung bagi rakyatnya. Sehingga segala kebijakan akan disandarkan pada kemaslahatan rakyat. Peran pemimpin seperti ini harus diemban oleh individu yang level kesalihannya tidak sebatas salih secara individu, tapi sebagai seorang pemimpin seorang Mujadid, sekaligus mujtahid mutlak. 

Syekh Taqyuddin An-Nabhany dalam kitabnya Syahsiah Al-Islamiyah jilid 2 pada bab Tanggung Jawab Umum menjelaskan As-Syari atau Allah dan Rasulnya telah membatasi tanggung jawab. Tanggung jawab umum yang wajib dipenuhi oleh penguasa terhadap rakyatnya bentuk tanggung jawab umum itu adalah seorang pemimpin wajib memerintah rakyat dengan syariat Islam saja, tanpa hukum yang lain. Dia juga tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum dan dia senantiasa memperhatikan rakyatnya dengan memberikan nasihat. Bahkan jika pemimpin tidak menghiraukan perintah syariat ini; malah sebaliknya dia malah menipu rakyat, Allah dan Rasul-Nya telah memberi kecaman yang keras. Diriwayatkan dari Maqil bin Yasar, dia berkata : aku mendengar Nabi saw bersabda : 
“Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali dia tidak akan mendapatkan bau surga” (hadis riwayat Al-Bukhari). 

Tanggung jawab-tanggung jawab umum ini akan membuat sosok pemimpin benar-benar menjadi raain dan junnah untuk rakyat. Dia tidak akan bermesraan dan bermanis muka di depan para oligarki. Dia tidak memberi nasehat dengan statement manis agar masyarakat menormalisasi deforestasi hutan menjadi perkebunan sawit. Justru yang dia lakukan adalah berpikir dengan pertimbangan terkait alih fungsi hutan. Pasalnya Allah SWT telah menetapkan syariat pengelolaan hutan. Secara fakta, hutan adalah salah satu Sumber Daya Alam dalam Islam. Sumber Daya Alam atau SDA dikategorikan sebagai harta milik umum atau milkiyah ammah. Rasulullah saw bersabda :
“Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni : air, padang gembalaan dan api” (hadis riwayat Ahmad).
Dari hadis tersebut, Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal Ad-Daulah Al-Khilafah menjelaskan, jika hutan dikonotasikan dengan padang gembalaan. Karena termasuk harta milik umum. Maka pengelolaan hutan harus mengikuti kaidah pengelolaan harta milik umum. 

Syekh Taqyuddin An-Nabhany dalam Kitab Nidzamul Iqtishady fil Islam atau Sistem Ekonomi Islam menjelaskan bahwa harta milik umum hanya boleh kelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat selaku pemiliknya. Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta. Jadi seandainya hutan perlu dikonversi untuk keperluan pangan atau energi, negara akan mengkalkulasi kebutuhan tersebut dengan melibatkan banyak pakar. Negara juga akan mempertimbangkan aspek ekologis agar konversi lahan tersebut tidak menimbulkan dhoror atau bahaya bagi rakyat; seperti kekeringan air, banjir, peningkatan karbon, dan sejenisnya. 

Sebelum konversi lahan dilakukan, pemimpin Islam akan mengoptimalkan lahan pertanian untuk ketahanan pangan. pemimpin Islam juga akan mengelola sumber daya alam tambang untuk pemenuhan kebutuhan energi rakyat jadi seperti inilah profil pemimpin dalam sistem Islam yakni Khilafah. Bukankah pemimpin seperti ini yang dibutuhkan oleh masyarakat?

Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki 
(1) https://betahita.id/news/detail/10825/walhi-raja-juli-lebih-cocok-jadi-menteri-deforestasi.html?v=17358646
(3) https://www.bbc.com/indonesia/articles/c878ng8gdgpo