-->

Negara Lemah, Rakyat Jadi Korban: Bencana Ekologis dan Kapitalisme Destruktif

Oleh : Ummu Almyra

Setiap tahun, musim hujan selalu membawa cerita duka dari berbagai daerah di Indonesia. Pada Januari 2025 saja, banjir bandang telah melanda Morowali Utara, Banyumas, Bondowoso, hingga Lombok Barat. Tidak hanya menimbulkan kerugian material, beberapa peristiwa itu juga merenggut nyawa dan memaksa ratusan warga meninggalkan rumah mereka. Namun, yang menggelitik hati adalah pola yang terus berulang: bencana terjadi, masyarakat menjadi korban, dan pemerintah sibuk memberi imbauan seadanya tanpa solusi sistemik yang nyata.  

Kejadian di Morowali Utara, misalnya, memperlihatkan bencana tidak sekadar disebabkan oleh hujan deras. Perluasan tambang nikel diduga menjadi pemicu utama banjir yang menghancurkan selter pekerja tambang. Begitu pula banjir di Bondowoso yang disebabkan oleh kerusakan hutan di lereng Gunung Argopuro. Hutan yang seharusnya menjadi pelindung ekosistem kini berubah menjadi perkebunan yang tidak memiliki daya serap air.  

Ironisnya, peristiwa semacam ini terus berulang. Berbagai laporan menyebutkan bahwa banyak bencana ekologis di Indonesia terjadi karena pengelolaan lingkungan yang buruk, minimnya pengawasan, dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan dampak jangka panjang.  

Lemahnya Negara dalam Mitigasi Bencana

Sebagai negara yang rentan bencana, mitigasi harus menjadi prioritas utama. Namun, langkah-langkah preventif pemerintah seringkali terkesan setengah hati. Imbauan kepada masyarakat untuk membersihkan saluran air atau menyiapkan evakuasi mandiri hanyalah solusi permukaan yang tidak menyentuh akar masalah. Padahal, statistik dari BNPB menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana paling sering terjadi di Indonesia, dengan ribuan kasus tercatat selama satu dekade terakhir.  

Pemerintah terlihat lebih sibuk membangun infrastruktur demi menarik investor daripada fokus memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan. Hal ini memperlihatkan bagaimana negara memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan keselamatan rakyat. Dalam jangka panjang, pola ini hanya akan memperbesar kerugian, baik dari segi materi maupun kesejahteraan masyarakat.  

Kapitalisme dan Kerusakan Ekologis

Krisis lingkungan yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari akar masalah utama: penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan alam sebagai komoditas yang dieksploitasi demi keuntungan segelintir pihak, tanpa memikirkan dampaknya terhadap ekosistem dan masyarakat. Contoh paling mencolok adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, tambang, atau proyek infrastruktur yang sering kali melanggar kaidah lingkungan.  

Data dari berbagai riset menunjukkan bahwa pengalihan fungsi lahan di Indonesia memperburuk siklus air, meningkatkan risiko banjir, dan merusak keseimbangan alam. Hal ini selaras dengan laporan World Risk Report 2023 yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia.  

Namun, yang lebih menyedihkan adalah bagaimana negara justru memfasilitasi kerusakan ini. Kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada korporasi besar untuk mengeksploitasi sumber daya alam adalah bukti nyata bahwa negara tidak menjalankan perannya sebagai pelayan masyarakat.  

Pandangan Islam: Solusi Fundamental untuk Lingkungan

Dalam Islam, menjaga keseimbangan alam bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban. Allah telah memperingatkan manusia agar tidak merusak bumi, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 205. Prinsip ini juga diwujudkan dalam kebijakan politik ekonomi Islam yang membatasi kepemilikan individu atas sumber daya alam demi kemaslahatan bersama.  

Sebagai contoh, Islam mengatur bahwa hutan, air, dan energi adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial. Selain itu, Islam juga mendorong langkah preventif seperti reboisasi, pengelolaan tata ruang berbasis amdal, dan pembentukan kawasan lindung.  

Ketika bencana terjadi, Islam menekankan pentingnya tindakan cepat dan terorganisir. Evakuasi korban, penyediaan kebutuhan dasar, hingga pemulihan pasca bencana menjadi tanggung jawab negara sebagai pelayan rakyat. Dalam hal ini, sistem pemerintahan Islam atau khilafah memberikan teladan yang nyata dalam mengelola bencana dengan pendekatan yang holistik.  

Menuju Perubahan yang Berkelanjutan
Kerusakan lingkungan bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam, dan solusinya pun membutuhkan waktu serta komitmen yang kuat. Namun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma. Sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek harus diganti dengan sistem yang menempatkan keberlanjutan dan kemaslahatan sebagai prioritas.  

Islam memberikan solusi yang komprehensif dalam mengelola lingkungan dan mengatasi bencana. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, kerusakan ekologis yang terjadi saat ini dapat diminimalkan, dan masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang dapat diwujudkan.  

Pada akhirnya, menjaga alam bukan hanya soal kepentingan manusia, tetapi juga bentuk ketaatan kepada Allah sebagai pemilik semesta. Jika negara benar-benar menjalankan tugasnya dengan amanah, maka bencana yang terjadi tidak lagi menjadi rintihan rakyat, melainkan pelajaran untuk memperbaiki diri.  

Wallahu a'lam bishawab