Pajak dalam Kapitalisme Bikin Sesak, Bagaimana Dalam Sistem Islam?
Oleh : Ilma Susi
Meki menuai banyak protes hal kenaikan pajak, pemerintah tetap geming. Tarif PPN 12% akan tetap diberlakukan pada awal tahun baru 2025. Pemerintah mengemukakan alasan kenaikan tarif PPN, di antaranya adalah untuk memperkuat penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan untuk infrastruktur, sektor pendidikan, kesehatan, dan program sosial, juga untuk menekan defisit anggaran pasca Pandemi.
Untuk menghibur masyarakat, pemerintah berjanji akan memberikan beberapa kompensasi. Di antaranya adalah pemberian bansos berupa diskon listrik 50% dan bantuan beras 10 kg selama 2 bulan. Juga bakal ada insentif pajak, berupa perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% untuk UMKM
Janji-janji Baru Berupa Klaim
Semua ekonom sepakat bahwa kenaikan pajak pasti berimpas menanjaknya harga barang. Hal itu karena PPN dikenakan atas barang pada konsumen akhir sehingga kenaikan harga yang secara otomatis akan menurunkan daya beli.
Tidak terkecuali para pelaku usaha. Beban mereka pun akan bertambah berat hingga berpengaruh pada status kelompok nonsejahtera. Terjadi penurunan kelas menengah ke kelas menengah rentan, bahkan akan banyak yang jatuh dalam kelompok miskin.
Turunnya daya beli di saat pendapatan tidak meningkat, dan banyaknya orang kehilangan pekerjaan akan berdampak pada masalah kriminalitas. Sebabnya, kondisi yang sulit akan memicu orang termasuk aksi-aksi kriminalitas untuk melakukan apa saja demi dapat bertahan hidup.
Tentang klaim bahwa kenaikan PPN 12% akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak juga masih tanda tanya. Yang pasti bila konsumsi masyarakat melemah, omset pelaku usaha menurun pasti akan mempengaruhi penerimaan pajak lainnya,
Pajak Sumber pendapatan Negara, SDA Kemana?
Definisi pajak adalah kontribusi wajib setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Dari membayar pajak, rakyat negara akan mendapatkan kompensasi secara tidak langsung dalam bentuk hasil-hasil pembangunan dan pembiayaan untuk kepentingan umum yang menjadi prioritas negara.
Di negeri yang sistem ekonomi kapitalisme ini, pajak merupakan sumber penerimaan utama. Merujuk pada data BPS (2023),
kontribusi pajak dalam pendapatan negara mencapai 80,32%. Ini merupakan angka yang sangat besar. Lebih besar dibanding pajak di Singapura dengab kepemilikan sumberdaya alam yang sedikit ketimbamg Indonesia. Indonesia dengan kekayaan alam melimpah justru penerimaan dari sektor nonpajaknya hanya 20%.
Alasan kenaikan pajak ini untuk memperkuat penerimaan negara sangat tak logis, mengingat saat ini persentase pendapatan dari pajak sudah sangat besar. Lalu ke mana SDA yang melimpah ,seperti kekayaan barang tambang, hutan, hasil laut yang jumlahnya menduduki peringkat dunia? Siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Jika kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak menjadi pos terbesar penerimaan negara, wajar jika rakyat akan terus-menerus ditekan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Pajak dalam Sistem Islam
Syariat Islam menetapkan bahwa setiap pungutan apa pun dari rakyat harus legal. Artinya, pungutan ini harus benar-benar diizinkan oleh syariat sebagai pemilik legalitas. Ukuran kekuatan legalitas ini berdasarkan kepada dalil.
Dalam Islam, rakyat adalah pemilik kekuasaan, sementara pemilik kadaulatan adalah Allah. Negara yang menjadi wakil rakyat dalam pelaksanaan syariat Islam mendapatkan amanah untuk mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki kaum muslimin.
Negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat sesuai rambu-rambu syariat. Artinya, mulai dari sumber-sumber pendapatan, termasuk jenis pengeluarannya harus bersandar kepada dalil syarak, tidak diambil dari pendapat akal. Penguasa yang telah diserahi wewenang mengatir oleh rakyat dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan ayuran pembuat syariat.
Islam telah menetapkan pos- pos penerimaan negara secara terperinci, sementara negara tinggal menerapkannya. Dalam kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa di antara pos penerimaan negara adalah pos anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj, jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara; harta usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus, harta orang yang tidak memiliki harta waris, harta orang murtad, pajak, dan zakat. Terdapat dua belas pos penerimaan negara, sementara pajak tidak menjadi komponen utama apalagi andalan.
Dengan pengelolaan APBN berbasis baitulmal, negara memiliki pos penerimaan dengan akumulasi jumlah yang sangat banyak. Pemanfaatan pos harta kepemilikan umum misalnya, jika kekayaan alam dikelola sendiri oleh negara, tanpa tergantung pihak swasta, tentu hasilnya dapat digunakan secara optimal, bahkan berlebih. Apalagi nusantara ini memiliki kekayaan alam yang jumlahnya terbesar di dunia, seperti hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan tambang berharga lainnya.
Data menunjukkan bahwa 60% lahan sawit yang menjadikan Indonesia sebagai pengekspor terbesar di dunia dikuasakan kepada swasta melalui Hak Guna Usaha (HGU). Sementara negara cukup puas mendapat 7,5% saja dari harga CPO yang diekspor.
Padahal nilai ekspor CPO Indonesia 2023 sebesar US$23,97 miliar atau setara Rp389.632 triliun (kurs Rp16.260). Dari nilai tersebut, negara hanya memperoleh Rp27,3 triliun dan bagian besarnya untuk swasta. Bayangkan betapa banyak harta rakyat tang digondol swasta akibat ijin investasi oleh negara. Andai potensi ini dikelola negara, betapa banyaknya pemasukan negara.
Belum lagi pemasukan negara dari sektor tambang, Indonesia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia dengan nilai ekspor sebesar US$34.592.077.000, sebuah angka yang sangat besar.
Sayangnya, sistem kapitalisme yang ada membiarkan kekayaan alam yang seharusnya menjadi kepemilikan umum diserahkan pada swasta. Jelas manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, melainkan hanya sebatar individu-individu tertentu. Padahal, jika diterapkan pengaturan ekonomi Islam, kepemilikan itu tidak hanya kepemilikan individu dan negara, tetapi ada juga kepemilikan umum.
Pajak memang ada dalam pengaturan sistem ekonomi Islam, tetapi realitas pajak itu sangat berbedai. Dalam Islam, pajak hanya diterapkan pada londisi tertentu, yaitu ketika kas negara dalam kondisi tidak aman dan membutuhkan backup keuangan. Ketika kas negara dalam kondisi normal, pajak harus dihentikan. Pajak juga hanya diwajibkan untuk muslim, laki-laki, dan yang kaya. Sangat berbeda dengan fakta hari ini, semua orang kaya maupun miskin wajib membayar pajak. Payahnya lagai pajak yang memeras ini berlaku seumur hidup.
Pengelolaan keuangan negara dalam islam dengan tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan harus sesuai dengan syariat. Allah Swt. telah memberikan pengaturan yang terbaik dan memastikan bahwa semua kekayaan alam pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia, selama manusia patuh pada aturan-Nya. Berlepas diri dari pengaturannya justru akan membuat kehidupan susah dan sempit, bahkan mengundang azab-Nya. Allah telah memberi peringatan yang tegas dalam firman- Nya yang mulia, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).
Posting Komentar