-->

Pajak Jadi Naik, Rakyat Makin Panik


Oleh : Ledy Ummu Zaid

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Ketika harga sembilan bahan pokok (sembako) semakin tinggi, pungutan pajak pun tak ingin kalah saing. Yang terbaru, pajak pertambahan nilai (PPN) juga turut naik. 

Tak Hanya Barang Mewah, Barang dan Jasa Tertentu Terdampak

Dilansir dari laman kompas.id (03-01-2025), kenaikan PPN yang hanya berlaku untuk barang mewah ternyata tetap berdampak pada sejumlah barang dan jasa yang telah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Adapun kenaikan PPN ini mempengaruhi biaya membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang skema PPN di tahun 2025. Secara khusus, peraturan tersebut meliputi tarif efektif 12% untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11% untuk barang-barang non-mewah.

Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati, seperti yang dilansir dari laman cnbcindonesia.com (04-01-2025), menjelaskan bahwa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di tahun 2024 lalu, sektor pendidikan dalam negeri telah menghabiskan dana 20%. Dalam hal ini, realisasi anggaran pendidikan Indonesia mencapai Rp 519,8 triliun per 24 Desember 2024. 

Dari laman yang berbeda, tirto.id (02-01-2025), Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tetap memberikan paket kebijakan insentif dan stimulus meskipun PPN naik menjadi 12% yang hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Adapun paket kebijakan insentif dan stimulus tersebut meliputi pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar yang akan ditanggung pemerintah seluruhnya serta pemberian insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik.

Kemudian, pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh), termasuk para pekerja untuk gaji Rp10 juta pertama yang pajaknya akan dibayar pemerintah dalam jangka tertentu. Selain itu, pemerintah juga memberi insentif lainnya berupa diskon listrik 50% untuk pelanggan di bawah 2.200 VA. 
Selanjutnya, adanya stimulus pada industri padat karya dengan melakukan revitalisasi modal berupa pinjaman subsidi bunga 5%. Inilah bentuk dukungan pemerintah dalam sektor properti, otomotif dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 
Dengan demikian, pemberian paket kebijakan insentif dan stimulus pada 16 juta masyarakat, para pekerja dan kelompok miskin, khususnya yang menerima bantuan beras 10 kilogram per bulan diharapkan benar-benar menjadi realisasi dukungan dari pemerintah untuk rakyat Indonesia. 
Pajak Menyengsarakan Rakyat dalam Ekonomi Kapitalisme
Meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, tetapi faktanya harga barang lain tetap naik. Sejak awal masyarakat tidak memperoleh informasi yang jelas terkait barang apa saja yang akan terkena tarif baru. Hal ini tentu menyebabkan para produsen kebingungan, sehingga mereka harus menyiapkan skema harga barang dengan PPN 12%. Di satu sisi, ketika harga terlanjur naik di pasaran, maka bukan hal yang mudah untuk mengoreksinya.

Sungguh ironi, persoalan kenaikan pajak ini semakin menunjukkan wajah penguasa hari ini. Negara tampak berusaha cuci tangan dari kewajiban mensejahterakan rakyat. Alih-alih mengklaim meringankan hidup rakyat dengan berbagai program bantuan, sejatinya negara masih abai terhadap kebutuhan hidup rakyatnya. Adanya dukungan media partisan semakin menampakkan bahwa negara sedang memaksakan kebijakan. Narasi pajak 12% hanya untuk barang mewah seolah berpihak kepada rakyat, padahal negara telah acuh terhadap penderitaan rakyat. 

Inilah bukti riil ketidakberpihakan negara kepada rakyatnya, khususnya kalangan menengah bawah. Tak heran, dalam ekonomi kapitalisme, pungutan pajak menjadi jalan pintas untuk menggemukkan kas negara. Adapun sumber daya alam (SDA) tidak dikelola dengan baik, malah diberikan tanggung jawabnya kepada swasta dan asing. Dengan demikian, hasilnya tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. 

Kebijakan pajak sendiri nyatanya tidak pernah memusingkan kalangan menengah atas. Negara seolah tidak berani memungutnya dari orang kaya. Padahal tidak semua orang kaya di negeri ini memperoleh kekayaannya dari jalan yang halal. Tak sedikit yang ternyata mengkhianati rakyat dengan melakukan korupsi dan suap. 
Tak pelak lagi, inilah ciri kehidupan sistem kapitalisme dengan asas sekular yang memisahkan agama dari kehidupan. Akhirnya, kehidupan yang serba bebas dan tanpa aturan ini mencetak penguasa yang tidak amanah. Di satu sisi, rakyat yang tidak mendapatkan kontrol penjagaan akidah dari negara mudah melakukan perbuatan yang haram, dan menjadikannya suatu kewajaran dalam hidup.

Kesejahteraan Rakyat Tanpa Pajak dalam Islam

Pemandangan yang berbeda akan kita temui dalam sistem Islam yang mana mewajibkan penguasa sebagai raa'in untuk mengurus rakyat sesuai dengan syariat Islam. Oleh karenanya, tidak akan ada perasaan antipati terhadap rakyat yang membuat kehidupan mereka menderita. Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah subhanahu wa ta’ala jelas mengancam penguasa yang melanggar aturan-Nya dengan azab yang pedih di akhirat.

Rasulullah sollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). 

Pada dasarnya, daulah (negara) tidak akan memungut pajak dari rakyatnya, kecuali kas negara sedang tidak stabil. Jika demikian, pajak pun harus diatur dengan benar, yaitu hanya memungut dari kalangan orang kaya saja. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah: 188).

Di satu sisi, daulah akan mengelola SDA yang ada dengan baik. Adapun hasilnya tentu akan dikembalikan kepada rakyat secara gratis dalam bentuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Kemudian, lapangan pekerjaan pun terbuka lebar dengan upah yang setimpal dan adil. Oleh sebab itu, laki-laki yang nantinya akan menjadi pemimpin keluarga tidak perlu pusing memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya.

Dalam hal ini, para pekerja juga tidak perlu khawatir dengan pungutan-pungutan pajak yang akan menggerus upah mereka. Karena sejatinya dalam daulah Islam, pajak tidak menjadi satu-satunya sumber pemasukan negara.

Khatimah

Sayangnya, saat ini kita masih hidup dalam sistem kufur kapitalisme sekular yang memisahkan kehidupan dari aturan agama. Penguasa bebas membuat kebijakan zalim yang menyengsarakan rakyat. Dengan berpihak kepada para pemilik modal, negara tampak acuh dengan hajat hidup rakyat. Seperti persoalan pajak yang naik ini, rakyat menjadi semakin panik untuk menjalani kehidupan kedepannya. Oleh karena itu, sebagai muslim sudah seharusnya kita hanya merindukan sistem kehidupan yang berlandaskan hukum Allah subhanahu wa ta’ala semata, yaitu khilafah islamiah ala minhajin nubuwwah. 

Wallahu a’lam bishshowab. []

Referensi:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20250104170130-4-600739/sri-mulyani-blak-blakan-kenapa-warga-ri-harus-bayar-pajak
https://www.kompas.id/artikel/bukan-hanya-barang-mewah-barang-dan-jasa-ini-juga-terdampak-ppn-12-persen?open_from=Ekonomi_Page
https://tirto.id/stimulus-tetap-berlaku-meski-ppn-12-hanya-untuk-barang-mewah-g66S
https://www.facebook.com/MuslimahNewsCom/posts/negara-berfungsi-sebagai-raain-pemeliharan-urusan-rakyat-dalam-hal-ini-sebagai-p/1159910170853463/
https://tafsirweb.com/699-surat-al-baqarah-ayat-188.html
https://github.com/Yoast/wordpress-seo/blob/trunk/packages/yoastseo/src/languageProcessing/languages/id/config/transitionWords.js
https://www.youtube.com/watch?v=VXEAh69Fgjo