-->

Pajak Menjerat Rakyat


Oleh : Zunairoh

Kebijakan PPN 12% semakin menyusahkan rakyat. Selain akan menambah beban ekonomi rumah tangga dengan melemahnya daya beli, kebijakan ini juga dipastikan mengakibatkan banyak pekerja yang di-PHK. Sepanjang tahun 2024 saja, berbagai sektor industri di Indonesia mengalami gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini memberikan dampak signifikan bagi para pekerja dan perekonomian nasional

Meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, fakta di lapangan harga-harga barang lain tetap naik. Ini terkait ketidakjelasan di awal akan barang yang akan terkena PPN 12% sehingga penjual memasukan PPN 12% pada semua jenis barang. Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja

Negara menyebutkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat seiring penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tahun 2025. Seperti bantuan beras 10 kg per bulan Januari-Februari 2025 bagi 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) dan bantuan insentif lainnya. Negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang  populis otoriter. Sri Mulyani mengatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya sepanjang tahun 2024 lalu hingga 20%-nya dipakai untuk sector Pendidikan dalam negeri. (CNBC, 04/01/2025). Sedangkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat justru kian menjadi-jadi. Mega korupsi yang merugikan uang rakyat dan negara ratusan triliun divonis ringan. 

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang diterapkan di negeri ini berpijak pada kebebasan kepemilikan (freedom of ownership). Akibatnya, Negara tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya alam (SDA). SDA malah diserahkan kepada pihak swasta (asing dan aseng) yang menjelma menjadi oligarki. Sebaliknya, negara hanya menjadi regulator pasar, bukan pelaku utama perekonomian. Akibatnya, untuk membiayai pembangunan yang berbasis utang, negara menarik pajak dari rakyat secara zalim karena membebani rakyat. Kesalahan penerapan sistem ekonomi inilah yang menghasilkan kekuasaan jibâyah, yakni kekuasaan yang memalak dan menyusahkan rakyat. Padahal kekuasaan itu seharusnya mensejahterakan rakyatnya secara adil.

Sumber pemasukan APBN dalam Islam sangatlah banyak dan berlimpah antara lain ada ghanîmah, fa’i, khumus, kharâj dan jizyah. Selain itu, di antara sumber terbesar APBN dalam pemerintahan Islam adalah dari harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Sebagai contoh negara Indonesia, potensi pendapatan dari sumber daya alam sangat besar. Di antara potensi pendapatan besar negeri ini misalnya dari minyak mentah, gas alam, batu bara, emas, tembaga, dan nikel. Nilainya bisa lebih dari dua kali lipat kebutuhan APBN setiap tahunnya. Jika saja sistem Islam diterapkan, sumber daya alam ini mutlak wajib dikelola oleh negara secara langsung dan haram hukumnya dikelola oleh swasta atau diprivatisasi.

Pajak hanya diberlakukan ketika kondisi kas negara kosong. Haramnya memungut pajak menegaskan bahwa pemerintahan Islam tidak memberlakukan pajak bagi rakyatnya. Sistem ekonomi yang diterapkan dalam pemerintahan Islam menjadikan APBN tidak berbasis pajak. Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan pemalak rakyat. Model pajak sebagaimana dalam sistem Kapitalisme adalah haram hukumnya.

Dalam Islam, negara mewajibkan penguasa sebagai raa'in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan tidak menimbulkan antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita. Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja. Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.