-->

Pajak menyejahterakan atau menyengsarakan?


Oleh : Sartinah Ramli. S (Mahasiswi) 

Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah makna dibalik kata demokrasi bahwa kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, dan rakyat mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan arah dan kebijakan pemerintah. Namun sayang seribu sayang semua itu hanyalah sebuah slogan yang tak pernah menjadi kenyataan.Sedangkan kenyataannya ialah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk pejabat. Seperti halnya baru-baru ini rakyat Indonesia di buat gelisah kehilangan arah terkait kebijakan pemerintah akan menaikkan PPN 12%.

Kebijakan yang tak pernah lahir dari persetujuan semua rakyat hanya ada pada segelintir pejabat, jika slogan itu nyata maka pemerintah tidak akan menerapkan sebuah kebijakan yang tidak di setujui oleh rakyat. Rasanya pemerintah hanya memikirkan nasib mereka sendiri tanpa memperhatikan nasib rakyatnya. Meskipun apa yang di sampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa PPN 12% ini hanya berlaku pada barang mewah dan kenaikan tarif tersebut tertuang dalam undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, (tempo.co 11-01-2024)

Jika kita cermati seksama bahwa kenaikan pajak yang berlaku hanya pada barang mewah saja tapi akan sangat mempengaruhi barang-barang yang lain. Lalu dimana hak dan kebebasan rakyat untuk menentukan kebijakan,sebenarnya bukan rakyat yang punya hak tapi pejabat elit itu. Kenyataan yang ada dilapangan pakar ekonomi dan rakyat kecil berteriak, berkomentar dan bersuara agar kiranya Pajak tidak dinaikkan karena melihat rakyat kecil masih tengah menghadapi PHK besar-besaran akibat covid-19. Secara tidak langsung pemerintah menambah penderitaan rakyatnya yang masih dalam kondisi memulihkan perekonomiannya kini akan berhadapan lagi dengan pajak yang naik, (bbc.com 11-01-24)

Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kenaikan pajak ini sama sekali tidak menyejahterakan tapi menyengsarakan rakyat. Namun yang menjadi pertanyaan kemana hasil SDA Negara ini, Indonesia terkenal dengan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tapi mengapa dengan kekayaan itu tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya hasil dari SDA yang menjadi pendapatan negara hanyalah 20% sedangkan yang menjadi pemasukan utama ialah pajak yang senilai 80% sehingga dengan besarnya nilai itu negara ini tidak bisa terbebas dari pajak. Pungutan pajak di sistem kapitalisme adalah sebuah keniscayaan.

Berbeda halnya dalam sistem Islam. Syariat Islam menetapkan bahwa setiap pungutan apa pun kepada rakyat harus legal, dalam artian pungutan ini harus benar-benar diizinkan oleh syariat dan berdasarkan kepada dalil. Negara yang menjadi wakil pelaksanaan syariat Islam secara ketat mendapatkan amanah untuk mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat sesuai rambu-rambu syariat. Artinya, mulai dari sumber-sumber pendapatan, termasuk jenis pengeluarannya harus bersandar kepada dalil syarak. Penguasa dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang tidak sesuai.

Pajak memang ada dalam pengaturan sistem ekonomi Islam, tetapi fakta pajak sangat berbeda dengan pungutan pajak saat ini. Dalam Islam, pajak hanya diterapkan secara insidental, yaitu hanya ketika kas negara membutuhkan backup keuangan. Alhasil, pajak bukan pungutan yang bersifat abadi. Ketika kas negara dalam kondisi normal, pajak harus dihentikan. Pajak juga hanya diwajibkan untuk muslim, laki-laki, dan yang kaya. Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang (kaya maupun miskin) wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup.

Penguatan keuangan negara tidak lain dengan tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan (penerimaan dan belanjanya) harus sesuai dengan syariat. Allah Swt. telah memberikan pengaturan yang terbaik dan memastikan bahwa semua kekayaan alam pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia, selama manusia patuh pada aturan-Nya. Berlepas diri dari pengaturannya justru akan membuat kehidupan susah dan sempit, bahkan mengundang azab-Nya.

Cukuplah firman Allah Swt. menjadi pengingat kita semua, 

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124). Wallahu a'lam bishshawab.