-->

Pengaturan Pajak dalam Islam

Oleh : Tri S, S.Si

Wacana pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025, sebagai hasil pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perjakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahan sebelumnya, menuai banyak polemik. Sebab, kebijakan tersebut dinilai tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang tengah mengalami keterpurukan ekonomi. Hal ini yang melopori 197.753 orang meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12%. Masyarakat melakukan penolakan atas kenaikan PPN sebesar 12%. Sejumlah 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Inisiator petisi mengungkapkan kenaikan PPN menambah beban hidup masyarakat. Karena, kebijakan tersebut diberlakukan di saat kondisi ekonomi masyarakat yang tengah terpuruk.

Menurut data Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang. Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memastikan tarif PPN naik jadi 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN 12 persen dilakukan sebagai buah dari pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo, ayah Gibran
(cnbcindonesia.com, 28/12/2024).

Menengok kebijakan sebelumnya, yang mana pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang jelas menimbulkan kesenjangan sosial. Negara lebih mementingkan kepentingannya dari pada kepentingan rakyatnya. Karena, ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka pada hakikatnya rakyat membiayai segala kebutuhannya secara mandiri. Di sinilah, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyatnya namun hanya sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan pemilik modal sedangkan rakyat diabaikan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan aturan yang memerinci terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Adapun terdapat 9 insentif PPh yang ditawarkan pemerintah untuk investor atau pelaku usaha yang menanamkan modalnya atau mendirikan usahanya di IKN (Nasional Kontan, 19/05/2024).

Lahirnya kebijakan yang bertolak belakang membuktikan bahwa negara hanya mengedepankan untung dan rugi dalam melayani rakyat. Rakyat menengah kebawah diwajibkan pajak baik kendaraan, listrik, bangunan, dll. Sedangkan para investor dan pemilik modal diberi layanan istimewa sebagaimana di IKN yang tidak lain supaya ibu kota negara yang baru segera terwujud. Apalagi penerimaan pajak pada Maret 2024 lalu tengah mengalami penurunan.

Penerimaan pajak anjlok pada Maret 2024. Sejumlah setoran pajak beberapa sektor industri turun drastis seperti industri manufaktur hingga industri pertambangan. Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 atau selama kuartal I-2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 431,9 triliun (CNBC Indonesia, 26/04/2024).

Dari keterangan di atas, pungutan pajak yang bersumber dari sektor industri yang berkurang merupakan salah satu sebab negara mengeluarkan berbagai kebijakan. Hal ini menandakan bahwa pajak salah satu ujung tombak pendapatan negara. Kebijakan negara tersebut tentu saja menimbulkan kesenjangan bagi rakyat biasa. Bagaimana tidak? Rakyat taat membayar pajak sedangkan para pengusaha diberi kemudahan bahkan pembebasan dari pajak, mendapatkan keistimewaan tax amnesty atupun keistimewaan lainnya.

Inilah sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang berlandaskan pada asas manfaat untung dan rugi. Negara mengandalkan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Padahal jika dilihat dari kekayaan sumber daya alam di negeri seharusnya negara tidak perlu melakukan pungutan pajak. Karena dengan adanya pungutan pajak seperti ini akan menjadi beban bagi rakyat. Apalagi jika tidak tepat waktu membayar pajak maka negara memperlakukan denda sebagai sanksi.

Dalam sistem Islam, pajak bukanlah pendapat pertama negara. Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syariah pada negara yang disimpan di Baitul Mal yaitu meliputi: fa’i, ghonimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya : pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang yang dikelola oleh negara, serta zakat yang mana zakat ini hanya diperuntukkan untuk delapan kelompok (ashnaf) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Apabila harta-harta tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukup dengan harta tersebut. Namun jika tidak cukup negara mewajibkan dharibah (pajak) yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang diwajibkan Syariah. Dalam menentukan ukurannya sangat diperhatikan keadilannya di antara kaum muslim, karena pajak tidak diperkenankan selain atas orang kaya. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).

Demikianlah sistem Islam mengatur pemasukan negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Dengan diterapkannya sistem Islam dalam kehidupan maka segala kebutuhan rakyat akan tercukupi. Baik dalam kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, transportasi berikut fasilitas umum lainnya. Negara tidak perlu memungut pajak tanpa adanya faktor yang mendesak.

Oleh karena itu, sudah saatnya negara menjadikan Islam sebagai role model untuk mengatur tatanan kehidupan. Sebagaimana Rasulullah Saw telah menerapkan Islam secara menyeluruh dalam menjalankan tugasnya sebagai Rasul dan pemimpin negara pada masa di Madinah. Wallahualam.