PENGATURAN PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Nurjannah
Sudah jatuh ketimpa tangga, sepertinya inilah ungkapan yang menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia khususnya saat ini. Betapa tidak, dengan kondisi jumlah Rakyat miskin yang semakin bertambah banyak, ditandai dengan lemahnya tingkat daya beli masyarakat. Ditambah dengan kado Tahun Baru yang akan di suguhkan yaitu kenaikan PPN menjadi 12%. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi Rakyat nanti kedepannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa tarif pajak penambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi peraturan perpajakan (UUHPP) naik menjadi 12 % pada januari 2025 akan tetap dilaksanan. Penegasan ini beliau sampaikan pada rapat kerja dengan para anggota DPR tentang kepastian tarif PPN menjadi 12% pada 2025. Beliau menyampaikan bahwa sudah ada di UU nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan. tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus tetap dijaga kesehatannya, tegas Sri Mulyani dalam rapat dengan komisi XI.(cnbcindonesia.com 25/11/2024).
Para mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia Kerakyatan menggelar aksi penolakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku 1 Januari 2025. Aksi ini di laksanakan di sekitar kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Kamis (26/12/2024). Salah satu poster yang di tulis " PPN naik, Beban rakyat ikut naik". Dalam aksi ini mahasiswa menyatakan bahwa Pemerintah semakin tidak berpihak kepada rakyat.(compas.id 26/12/2024)
Menanggapi kekhawatiran berbagai pihak, Pemerintah mengungkapkan bahwa kenaikan tariff PPN ini akan diterapkan secara selektif pada barang dan jasa yang tergolong mewah atau premium. Untuk barang premium yakni ; beras, daging, buah, salmon dan tuna. Terkait jasa akan dikenakan pada pendidikan bertaraf internasional dan pelayanan kesehatan dikenakan pada rumah sakit dengan layanan VIP atau paskes premium lainnya. Konsumsi listrik 3.500-6.600 VA.
Lalu apakah dengan kebijakan seperti ini rakyat kecil tidak terkena imbasnya?
Fakta membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme kenaikan pajak tidak hanya mempengaruhi pada pihak yang dikenai pajak, akan tetapi akan menimbulkan efek domino pada semua kalangan termasuk rakyat kecil. Sekalipun kenaikan PPN ini hanya diberlakukan secara selektif bagi barang dan jasa premium, tetapi sesungguhnya imbasnya kesemua kalangan, ini karena para pengusaha yang terkena pajak itu akan menaikkan harga jual barang yang diproduksinya. Sehingga harganya menjadi naik.
Lalu mengapa pemerintah tetap mempertahankan pajak, padahal menyengsarakan rakyatnya?
PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar dalam APBN Indonesia. menurut data hingga 2023, PPN berkontribusi cukup besar terhadap total penerimaan pajak di Indonesia dan menjadi salah satu penyumbang utama APBN. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan laporan Kementerian Keuangan PPN menyumbang sekitar 30-35 % total penerimaan pajak Indonesia, wajar jika Negara mempropagandakan dengan gigih kewajiban membayar pajak karena perekonomiannya memang bertumpu pada pajak.
Dalam sistem Kapitalisme, yang dianut oleh negeri yang kita cintai ini pajak memang menjadi andalan terutama pemasukan Negara. Padahal negeri ini kaya akan SDA yang apabila dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Masalahnya negeri ini telah salah dalam mengelola SDA, malah diserahkan kepada asing. Walhasil, boro-boro memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah sengsara justru dipaksa untuk membayar pajak. Allah swt berfirman ; “ Sesungguhnya dosa itu atas orang –orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas dimuka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab pedih.” (QS.Asy-syura : 42).
Pajak dalam Islam sangat berbeda dengan sistem didalam kapitalisme. Tidak dipungkiri bahwa dalam Islam pun dikenal pajak, yakni dengan istilah dharibah. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda, dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zalum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum muslimin untuk membiayai pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta didalam baitul mall kaum muslimin untuk membiayainya. “Pajak adalah harta yang Allah wajibkan atas kaum muslimin untuk membiaya hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam baitulmall (kas Negara). Al amwal fi daulati al-khilafah hal.129.
Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat incidental, ia hanya dipungut ketika kas Negara kosong. Manakala problem kekosongan kas Negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan. Ketika kas Negara kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi Negara dan umat, pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia seorang warga Negara muslim. Artinya tidak diwajibkan bagi warga Negara nonmuslim. Ia juga harus dari kalangan orang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan kepada seluruh warga Negara sebagaimana yang terjadi saat ini didalam sistem Kapitalisme Demokrasi.
Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman. Bahkan pajak akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga Negara yang berlebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan.
Telah sangat nyata ketika kita membandingkan konsep pajak sistem kapitalisme demokrasi dengan sistem Islam. Sangat berbeda, salah satu diantaranya dalam sistem kapitalisme pajak dibebankan kepada seluruh rakyat sehingga berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam, meski beban pajak menjadi kewajiban kaum muslimin, tetapi tidak semua kaum muslimin menjadi wajib pajak, apalagi nonmuslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu dan kaya. Itupun dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang makruf. Jika ada kaum muslimin yang mempunyai kelebihan setelah dikurangi kebutuhannya, ia wajib pajak, tetapi jika tidak, pajak tidak akan diambil darinya.
Sudah seharusnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah saw, tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak diakhirat yang abadi. Rasul saw bersabda “ Ya Allah , siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya. (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahu a'lam bishowab
Posting Komentar