-->

PPN 12 % ; Hampir Semua Harga Barang Naik, Rakyat Makin Tercekik


Oleh : Leni, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Menerjang pro dan kontra melewati gelombang aksi penolakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku pada 1 Januari 2025. Meski dalam keterangan persnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan hanya barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) saja yang terkena kenaikan pajak menjadi 12 persen. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hampir semua harga barang mengalami kenaikan, tak terkecuali harga minyak kita program minyak subsidi. 

Meski bantuan sosial berupa beras 10 kg hingga diskon tarif listrik 50 persen diberikan oleh pemerintah sebagai kompensasi atas kenaikan PPN. Nyatanya, itu hanya sebagai gula-gula atau penghibur saja. Sebab, bantuan tersebut hanya berlaku selama dua bulan. Selanjutnya masyarakat harus berlapang dada untuk menanggung pajak 12 persen selamanya. Sungguh tak sebanding!

Harga kebutuhan makin mahal, otomatis pengeluaran meningkat. Sementara tidak disertai dengan kenaikan gaji. Ditambah tagihan pajak dengan nilai yang tinggi, PHK massal yang terus dilakukan oleh perusahaan besar, sementara lapangan kerja makin sempit dan sulit. Tentu keadaan ini membuat masyarakat semakin tercekik.  

Hari ini, masyarakat hidup dalam bayang-bayang kebingungan untuk memenuhi segala kebutuhan, dan hal ini sangat memungkinkan mendorong masyarakat terpaksa berutang pinjol atau mencari peruntungan melalui judol sebagai solusi instan karena merasa sudah tidak ada lagi pilihan. Tentunya, efek domino imbas kenaikan PPN ini akan menjadi masalah baru di Tengah-tengah masalah yang ada. Sebab, keberadaan pinjol dan judol yang seharusnya dibasmi menjadi semakin tak terkendali. Belum lagi dampak negatif lainya seperti meningkatnya tindak kriminal hingga bunuh diri akibat kesulitan ekonomi.

Sungguh miris, hidup di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis yang menjadikan pajak dan utang sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Maka wajar, untuk membayar bunga utang luar negeri yang tinggi dan untuk menjalankan berbagai program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga makan bergizi gratis dan pembangunan IKN. Lagi dan lagi, negara menjadikan rakyat miskin sebagai korban pemerasan dan pemalakan melalui beragam pajak yang dibebankan. 

Sementra itu, berbeda pula perlakuan yang ditunjukan pemerintah kepada para pengusaha, meski ada kenaikan pajak pada barang mewah negara masih saja terus memberikan keringanan pajak pada mereka. Artinya, kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme hanya mengabaikan rakyat biasa, rakyat hanya dipandang sebagai sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Pungutan pajak jelas menyengsarakan rakyat karena pungutan itu tidak melihat kondisi rakyat.

Ditambah sistem ekonomi kapitalisme yang berlandaskan pasar bebas, memberikan kebebasan penuh kepada swasta atau para pemilik modal baik dalam negeri maupun asing untuk mengelola bisnisnya termasuk kebebasan memiliki dan mengelola sumber daya alam negara. Tentu semua itu akan berakibat pada bertambahnya angka kemiskinan juga ketimpangan sosial yang semakin tajam, sebab sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. 

Sebaliknya, hasil sumber daya alam yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Semua ini terjadi karena fungsi negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan kepentingan para kapital bukan sebagai pengurus rakyat.

Berbeda dengan tata kelola sumber pemasukan negara yang diatur dalam sistem ekonomi Islam yang berbasis baituI maal. Pemasukan baitul maal sendiri terdiri dari tiga pos. Pertama, pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fai’ dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khumus, kharaj, status tanah, dan jizyah. Jenis harta tersebut termasuk pemasukan tetap negara, adapun pemasukan tidak tetap dari pos kepemilikan negara berupa dharibah (pajak).

Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) seperti minyak, gas bumi, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.

Ketiga, pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum Muslimin seperti zakat uang, perdagangan, pertanian, dan buah-buahan. Serta zakat ternak, seperti zakat unta, sapi, dan kambing. Selain itu, pos ini juga menampung harta sedekah, infaq, wakaf dari kaum Muslimin. Semua pos-pos tersebut dibuat tempat khusus agar tidak saling bercampur dengan harta lainnya. 

Berbagai pos pemasukan baitul maal ini akan membuat negara kaya raya dan sanggup membiayai kebutuhan negara maupun rakyatnya. Adapun pajak (dharibah) dikategorikan sebagai pemasukan tidak tetap negara, sebab pajak dalam sistem Islam hanya dipungut dalam kondisi temporer yaitu ketika kas baitul maal menipis atau kosong. Sementara negara harus membiayai kebutuhan kaum Muslimin yang bersifat mendesak dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulkan bahaya (dharar) misalnya pembiayaan jihad, terjadi bencana alam, kebutuhan insfrastruktur di daerah pelosok.

Selain itu, pajak (dharibah) hanya akan dipungut kepada warga negara Muslim, sementara warga negara Kafir dzimmi tidak akan dipungut. Dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah SWT pada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi tidak ada harta di baitul maal, sehingga membayar dharibah adalah bagian dari ibadah yang bernilai pahala. Sekalipun dharibah dibebankan kepada kaum Muslimin, namun, tidak semua kaum Muslimin membayarnya. Dharibah hanya diambil dari kaum Muslimin yang memiliki kelebihan harta setelah mereka dan keluarganya tercukupi kebutuhannya. 

Hal ini menjelaskan bahwa kedudukan pajak (dharibah) dalam sistem ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Namun, konsep baitul maal hanya bisa terwujud dan memberikan keberkahan keuangan negara mana kala ada Daulah Khilafah, sebab hanya Daulah Khilafahlah satu-satunya negara yang menerapkan hukum Islam secara sempurna.[]