-->

PPN Naik 12%, SIM dan Paspor Disandera: Pajak atau Pemerasan?

Oleh : Novi Ummu Mafa

Tahun 2025 menjadi salah satu tahun penuh drama dalam isu perpajakan di Indonesia. Pemerintah secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang langsung memicu gelombang protes dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dianggap membebani rakyat kecil, terutama dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Di sisi lain, kebijakan ini semakin menambah beban hidup rakyat, sementara mereka tidak merasakan peningkatan signifikan dalam pelayanan publik.

Tidak hanya itu, sejumlah drama yang berkaitan dengan pengelolaan pajak telah membakar emosi publik, mulai dari kasus korupsi timah 300T dengan hukuman ringan, penggelapan pajak oleh pejabat hingga gaya hidup mewah para petugas pajak yang mencolok mata. Rakyat yang setia membayar pajak justru disuguhi ironi berupa ketidakadilan struktural dan korupsi yang merajalela.

Dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler, pajak selalu diklaim sebagai kewajiban suci rakyat demi pembiayaan negara. Pemerintah, dengan retorika populisnya, menjustifikasi pungutan ini sebagai “kontribusi” rakyat untuk pembangunan. Namun, realitas sosial politik justru menunjukkan ironi yang menyayat hati. Kebijakan pajak tak jarang menjadi alat eksploitasi sistemik, di mana rakyat dipaksa membayar tanpa mendapatkan hak yang setara. Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang mempersulit rakyat kecil dengan alasan “disiplin pajak.” Salah satu kebijakan terbaru yang menuai polemik adalah tentang warga yang akan dipersulit dalam pengurusan SIM dan paspor jika tidak taat pajak. (Sindonews.com, 10-01-2024). Hal Ini bukan hanya menciptakan diskriminasi, tetapi juga mempertegas wajah negara yang lebih berfungsi sebagai pemungut pajak daripada pelayan rakyat inilah manifestasi dari kezaliman sistem demokrasi kapitalisme sekuler. 

Pajak untuk Rakyat? Klaim yang Jauh dari Realitas

Sejak era reformasi, narasi bahwa pajak adalah untuk rakyat terus didengungkan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa lebih dari 70% APBN bersumber dari pajak. Namun, sejauh mana rakyat benar-benar merasakan manfaatnya? Alih-alih mendapatkan fasilitas publik yang layak, rakyat justru bergelut dengan infrastruktur buruk, layanan kesehatan yang minim, dan pendidikan mahal. Di sisi lain, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun-tahun sebelumnya mengungkap bagaimana kebocoran anggaran terus terjadi, dengan angka mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.

Ironi ini diperparah dengan kebijakan yang mengaitkan pajak dengan layanan publik seperti SIM dan paspor. Bukankah pengurusan dokumen resmi adalah hak dasar setiap warga negara? Ketika hak ini dijadikan alat paksaan agar rakyat tunduk pada kewajiban membayar pajak, maka jelas ada kontradiksi mendasar dalam fungsi pemerintah sebagai pelayan rakyat. Pemerintah, yang seharusnya menjadi ra’iyyah penanggung jawab urusan rakyat, malah menjadi predator yang terus memeras sumber daya rakyat kecil.

Demokrasi Kapitalisme: Sistem yang Memiskinkan Rakyat

Sumber masalah ini terletak pada sistem demokrasi kapitalisme yang diadopsi negara. Dalam sistem ini, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi kepentingan korporasi dan elite politik, bukan pelindung rakyat. Pajak, sebagai instrumen utama pembiayaan negara, lebih sering digunakan untuk menutup defisit anggaran yang muncul akibat korupsi, inefisiensi birokrasi, dan utang luar negeri yang membengkak.

Sekulerisme yang menjadi dasar sistem ini telah memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dari urusan ekonomi dan politik. Akibatnya, pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat malah diserahkan kepada swasta melalui privatisasi. Dalam laporan Global Witness, Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga miliaran dolar setiap tahun akibat eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan multinasional. Ironisnya, beban ini kemudian dialihkan kepada rakyat melalui pajak.

Solusi Islam: Pajak sebagai Instrumen Darurat dalam Negara Khilafah

Dalam Islam, pajak (dharibah) bukanlah sumber pendapatan utama negara, tetapi instrumen darurat yang hanya dipungut dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika negara menghadapi kebutuhan mendesak seperti perang, bencana besar, atau krisis yang membutuhkan pembiayaan segera, sedangkan kas negara (baitul mal) tidak mencukupi. Bahkan, dalam kondisi seperti ini, pajak hanya dikenakan kepada individu yang mampu, yakni mereka yang memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Prinsip ini didasarkan pada kaidah syariah bahwa beban kewajiban disesuaikan dengan kemampuan. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada kewajiban zakat kecuali bagi orang yang kaya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih jauh, dalam sistem Islam, kebutuhan negara sebagian besar dipenuhi dari pengelolaan kekayaan milik umum seperti tambang, hutan, dan energi. Negara bertanggung jawab langsung untuk mengelola sumber daya ini demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya kepada swasta atau asing. Dengan demikian, negara memiliki sumber pendapatan stabil yang memadai tanpa harus membebani rakyat kecil dengan pajak.

Pelayanan Publik: Hak Rakyat Tanpa Syarat

Dalam daulah khilafah, pengurusan dokumen seperti SIM dan paspor adalah hak dasar setiap warga negara yang diberikan tanpa diskriminasi dan tanpa syarat-syarat yang membebani. Pemerintah dalam Islam dipandang sebagai ra’in (pelayan rakyat), bukan institusi yang menghisap darah rakyat melalui pajak.

Negara Islam juga memastikan bahwa pelayanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur disediakan secara gratis atau dengan biaya yang sangat terjangkau. Semua ini adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, bukan alat untuk memaksa mereka tunduk pada kewajiban yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Menuju Perubahan Sistemik

Kebijakan yang mempersulit rakyat dengan dalih kewajiban pajak adalah bentuk kezaliman struktural. Selama sistem demokrasi kapitalisme masih diterapkan, eksploitasi semacam ini akan terus berlangsung. Pesimisme terhadap perbaikan sistem ini adalah hal yang realistis, mengingat akar masalahnya terletak pada fondasi ideologis yang salah. Hanya dengan menerapkan syariah secara menyeluruh melalui daulah khilafah, keadilan sejati bagi rakyat dapat tercapai. Perubahan sistemik adalah keharusan, dan perjuangan menuju tegaknya khilafah adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia. Wallahualam.