-->

PPN Naik, Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Rakyat


Oleh : Mutia Syarif
Blitar, Jawa Timur

Per 1 Januari 2025, pemerintah akan menaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Keputusan ini berdasarkan amanat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan 2021 lalu. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku ke semua barang, tidak hanya barang mewah.

Kebijakan pemerintah soal menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen memicu berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia. Menanggapi hal tersebut, dosen Departemen Manajemen Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr. Ir. Arman Hakim Nasution M.Eng memberikan pandangan dari sisi akademisi.

Menurut Arman, dampak dari kenaikan PPN ini secara langsung mempengaruhi roda perekonomian Indonesia. Tentunya dampak tersebut menyebabkan masyarakat harus membeli barang pokok maupun strategis lainnya dengan harga yang relatif lebih tinggi. “Dengan kenaikkan PPN ini, dapat diprediksikan nantinya daya beli masyarakat Indonesia akan menurun drastis,” tuturnya.(its ac.id 28/12/24)

Rakyat kini semakin jauh dari sejahtera. Harapan hidup layak, hanya angan belaka. Seluruh lapisan masyarakat sengsara. Hal ini wajar terjadi dalam negara yang mengemban kapitalisme. Alih-alih kesejahteraan, jurang kesenjangan akan semakin menganga. Menaikan pajak di masa sulit ini merupakan hal yang sangat tidak bijak. Karena seluruh lapisan masyarakat wajib membayarnya (pajak), baik secara sadar ataupun tidak.

Dalam negara kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Maka tidak heran jika pemerintah terus menggenjot pendapatan negara melalui sektor ini. Sudahlah subsidi dikurangi, rakyat malah dipalaki, sungguh miris nasib rakyat saat ini.

Ketika pajak menjadi salah satu sumber pendapatan negara, itu artinya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara

Pungutan pajak, apapun jenisnya jelas menyengsarakan, karena pungutan tersebut tidak memandang kondisi rakyat. Lebih miris lagi banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.

Karena itulah berbagai lapisan masyarakat, mulai dari buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.

Lebih mirisnya lagi, pendapatan dari sektor pajak sangat rawan dikorupsi. Sehingga pendapatan negara tetap tidak tercapai. Pada akhirnya, menaikan pajak ‘lagi’ menjadi pilihan para penguasa. Padahal menjadikan pajak sebagai salah satu pendapatan negara jelas merupakan hal yang keliru dan dzolim. 

Sejatinya negara memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan. Diantaranya adalah hasil dari pengolahan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri oleh negara. Namun faktanya meskipun negara ini merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi negara tidak memiliki kuasa penuh dalam pengelolaannya. Sebabnya adalah privatisasi dan penyerahan hak kelola dari negara kepada pihak swasta dan asing. Hal ini menjadikan hasil dari pengolahan sumber daya alam tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Bahkan rakyat dapat dikatakan tidak mendapat apa-apa. Buktinya, rakyat masih harus membayar kebutuhan dasar mereka seperti kesehatan dan pendidikan secara mandiri.

Dalam Islam, pengolahan sumber daya alam wajib dilakukan oleh negara. Sehingga negara akan memiliki kuasa penuh untuk menyalurkan hasil pengelolaannya kepada rakyat sepenuhnya. Hasilnya dapat berupa subsidi, bahkan pelayanan gratis bagi kebutuhan mendasar masyarakat yakni pendidikan dan kesehatan. Sumber daya alam hanyalah salah satu dari berbagai pendapatan negara dalam aturan islam. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Sumber pendapatan tersebut antara lain, seperti ghanimah, kharaj, jizyah, fa'i, dll.

Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itupun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Negara islam mungkin saja terpaksa menarik pajak (dharibah), hal itu terjadi jika kas negara (baitul mal) dalam keadaan kosong. Maka kebijakan penarikan pajak akan diberlakukan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, penarikan pajak tersebut bersifat sementara dan hanya ditarik dari orang-orang kaya saja.

Islam menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.

Wallahu'alam