-->

Sistem Kapitalis Melahirkan Pemimpin Populis


Oleh : Fadhilah Nur Syamsi (Aktivis Muslimah)

Tahun 2024 merupakan tahun politik dunia. International IDEA mencatat terdapat setidaknya 64 negara yang menyelenggarakan pemilu pada tahun ini, termasuk Indonesia. Dalam perjalanannya, pemilu tahun ini dihadapkan pada problem berat yaitu lesunya ekonomi global. Kondisi ini memicu Rasa frustasi terhadap situasi yang tidak menentu. Hal ini ditunjukkan pula dengan rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Berdasarkan Data dari IDEA, tingkat partisipasi keseluruhan di dunia angkanya berkisar 61 persen saja. Sementara di Indonesia pemilu presiden berkisar 81 persen, Pilkada berkisar 69%. Krisis global, apatisme rakyat karena stagnasi demokrasi, membangkitkan gerakan politik "populisme otoriter". Saat ini Dunia, termasuk indonesia sedang dilanda gelombang populisme otoriter (rumahpemilu.org).
Populisme otoriter adalah gerakan politik dengan strategi melakukan apapun untuk berkuasa dengan memunculkan sosok atau person pemimpin yang populis-tampak sederhana, merakyat, rajin ibadah, rajin baca buku, tampak intelek, berakhlak baik, namun tidak memiliki kapasitas kepemimpinan dalam pemerintahan, politik ekonomi (negarawan). Max Weber tentang populisme otoriter menghubungkan daya tarik pemimpin otoriter dengan kemampuan mereka untuk menjalin ikatan pribadi dengan para pengikutnya. Mereka menentang elit yang korup dengan retorika anti-kemapanan seperti itu menarik bagi orang-orang yang kecewa dengan politik. 
Kepemimpinan populisme otoriter menjadikan rakyat semakin pragmatis. Jauh dari sikap kritis karena sudah cukup puas dengan kebijakan "lips services", apolitis bahkan apatis untuk melakukan perubahan dengan melihat rendahnya kualitas pemimpin negara, stagnasi dan kegagalan demokrasi sebagai solusi problematika umat. Semua ini menjadi hambatan dan tantangan dakwah di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia.

Populisme otoriter lahir dari sistem demokrasi sekuler

Berdasarkan “basic principle” yang dimiliki, demokrasi sangat meluhurkan kebebasan, berdiri di atas asas sekularisme yang samasekali tidak mengenal prinsip halal-haram. Tidak ada tempat bagi agama dalam hal pengaturan kehidupan sebab demokrasi memang sangat mengagungkan prinsip pluralisme dan relativisme kebenaran. Prinsip-prinsip inilah yang membuka ruang besar terjadinya "benturan pertarungan“ kepentingan modal, pada saat yang sama berkelindan dengan kepentingan para pemburu kekuasaan. Akhirnya drama politik pun dimainkan, semata-mata untuk memenangkan kesombongan diri demi menjadi pemimpin dan mempertahankan dinasti kekuasaan.
Dengan demikian jelas sudah bahwa populisme dan otoritarianisme sesungguhnya niscaya muncul, justru karena penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Sistem inilah yang telah melahirkan manusia-manusia rakus dan nir adab hingga rela menghalalkan segala cara hanya demi meraih kesenangan duniawi atas nama kepentingan rakyat banyak dan demi menjaga keutuhan bangsa. Bahkan, di negeri-negeri muslim, atas nama demokrasi pula agama kerap digunakan untuk membangun citra diri atau menyerang rivalnya sehingga dampaknya politik identitas pun menjadi bermakna negatif lantaran memposisikan agama di bawah kepentingan politik sesaat.

Kepemimpinan islam dan Tanggung Jawab Umum dalam Islam

Syari' telah menerangkan tanggung jawab umum yang wajib atas pemimpin dengan keterangan yang jelas, yang tidak menyisakan tempat bagi kesamaran atau ketidakjelasan. Dia telah menjelaskan tanggung jawab pemimpin yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dia penuhi dalam dirinya sendiri sebagai pemimpin, serta menjelaskan tanggung jawabnya yang berkaitan dengan hubungannya dengan rakyat.

1. Tanggung jawab pemimpin yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dia penuhi dalam dirinya sendiri sebagai pemimpin tampak jelas dalam hadits-hadits yang di dalamnya Rasul saw. menjelaskanı sebagian sifat-sifat penguasa. Di antaranya yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, sikap lemah lembut terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. 
- Makna Kuat: Kuat kepribadianya sebagai pemimpin negara (negarawan muslim sejati), memiliki Aqliyah hukmin nafsiyah haakim. Artinya memiliki kemampuan secara pemahaman terkait pemerintahan, politik dalam dan luar negeri, Pendidikan hankam, dan lainnya yang berkaitan berbagai pengaturan negara dan pelayanan rakyat.
- Makna Takwa, Takut kepada Allah Swt: Menjalankan syariat Allah dalam kepemimpinannya dalam negara. Yang demikian mencegah kedzaliman, sifat tirani dan otoriter.
- Makna lemah lembut: Selalu menyayangi rakyat, tidak antipati dan memudahkan kepentingan rakyat dan membawa kabar gembira tidak menakut-nakuti/mengancam rakyat.

2. Hubungan/relasi pemimpin/penguasa pada rakyat

Islam telah menentukan kewajiban penguasa kepada rakyatnya. Asy-Syari' telah memerintahkannya agar memperhatikan rakyatnya memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikitpun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2, hal 161)

- Melingkupi Kehidupan Politik dengan Nasihat Taqwa

Nasehat tersebut meliputi Mengajarkan Islam: Hak-hak rakyat yang menjadi kewajiban pemimpin (mafhum ra'awiyah). Hal ini akan memunculkan komitme di diri penguasa, kepercayaan pada rakyat, dan meghidupkan amar'ma'ruf nahi mungkar (jika ada kesalahan dalam kepemimpinan)
penyampaian nasehat taqwa: Khalifah mengamanatkan takwa kepada setiap pejabat yang diangkat, Khalifah/Wali menyampaikan toujih dan nasihat kepada umat melalui forum umum (khutbah Jumat, Hari Raya, dll).

- Tidak menyentuh harta milik umum

Pemasukan dan pengeluaran negara ditetapkan syara', tidak berbasis pajak dan utang kapitalisasi layanan public (Kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab Al-Amwal fi Daulah khilafah). Ketentuan atas harta yang haram dimiliki penyelenggara negara, hal ini jelas diatur syariat mencegah korupsi, kecurangan (froud), dan abuse of power. Negara wajib mengelola harta milik umum, tidak diserahkan pada swasta semua itu menjadikan negara ampu jihad fi sabilillah dan mensejahterakan rakyat.

3. Kebijakan bersumber dari aturan Allah

Sesungguhnya Allah SWT adalah pihak yang paling paham apa yang dibutuhkan manusia, syariat Allah adil untuk seluruh umat manusia, Tidak berpihak pada golongan tertentu dan merugikan golongan lain, tidak bisa dimanipulasi untuk kepentingan penguasa, Ada mekanisme ijtihad syar'ı yang dilakukan khalifah berbeda dengan 'kreatifitas, kecerdikan penguasa.

Sementara itu, Umat mendampingi dengan muhasabah, Aspirasi, kritik, dan koreksi atas kebijakan dengan basis sama .yakni halal haram dengan Dorongan takwa bukan oposisi yang melahirkan instabilitas. Aspirasi dihitung sama nilainya, baik oleh majelis Umat, partai politik/jamaah dakwah, atau individu karena dinilai berdasar syariat bukan suara terbanyak.
Wallahu a'lam bi ash shawab.