Tahun Baru, Harapan Baru?
Oleh : Ida Nurchayati
Tahun 2024 telah berlalu, tahun baru, harapan baru. Tidak terlalu berlebihan ketika rakyat menginginkan kehidupan yang lebih maju. Akankah harapan tinggal harapan, mengingat tahun sebelumnya masih meninggalkan setumpuk persoalan yang senantiasa berulang. Kemiskinan, kesenjangan, korupsi, ketidakadilan terus berjalan. Solusi senantiasa diupayakan, namun belum mampu menuntaskan persoalan, justru semakin terperosok dalam kubangan yang kian dalam. Mengapa?
Sistem Kapitalisme Menyengsarakan
Tak bisa dipungkiri, negeri ini menerapkan sistem sekuler kapitalis, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan serta menjunjung tinggi kebebasan. Individu diberi kebebasan seluas-luasnya, baik dalam berakidah, kepemilikan, berpendapat dan bertingkah laku. Keberadaan negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator untuk menjamin kebebasan individu. Ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar bebas tanpa batasan. Bisa dipastikan, pertarungan akan dimenangkan pemegang modal.
Sistem kapitalisme akan berkelindan dengan sistem politik demokrasi. Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat, melalui wakil-wakilnya yang duduk di parlemen akan menyusun UU. Namun faktanya kedaulatan ada ditangan segelintir oligarki. Fakta banyak regulasi yang justru berpihak pada oligarki dan mendzalimi rakyatnya sendiri. Misalnya, UU Omnibuslaw, UU Minerba, UU Migas.
Demokrasi merupakan sistem politik berbiaya tinggi. Untuk meraih kekuasaan, dibutuhkan modal besar, maka butuh cukong untuk mengantarkan seseorang hingga tampuk kekuasaan. No free lunch. Politik balas budi penguasa terhadap pengusaha merupakan suatu keniscayaan. Maka kebijakan penguasa bisa dipastikan melayani pengusaha, bukan rakyat. Muncullah penguasa yang populis otoriter. Penguasa yang memalak rakyat dengan aneka pajak. Untuk menutupi kezalimannya, penguasa akan membuat kebijakan yang seolah pro rakyat. Misalnya, PPN naik hingga 12 persen. Kebijakan yang mendzalimi rakyat ini ditutupi dengan insentif diskon pembelian listrik hingga 50 persen bagi pengguna daya 2200 VA kebawah selama bulan Januari-Pebruari 2025, kebijakan bantuan beras 10 kg bagi penerima bansos.
Setali tiga uang, penegakan hukum juga jauh dari rasa keadilan. Hukum ditegakkan secara tebang pilih. Negara hukum berubah menjadi industri hukum. Hukum bisa diperjualbelikan, tergantung siapa yang mau membayar. Pemilik uang lah yang menjadi penentu keputusan. Rakyat jangan berharap mendapatkan keadilan.
Inilah potret negara sekuler kapitalis, aturan bisa diubah-ubah sesuai kehendak pemangku jabatan. Sementara kekayaan alam yang melimpah dinikmati segelintir pemilik modal, melalui dukungan regulasi penguasa terpilih. Rakyat hanya berfungsi pendorong mobil mogok, suaranya dipakai untuk mendapatkan kursi kekuasaan saja. Nasibnya hanya menjadi obyek penderita selamanya. Tahun baru ala rezim baru yang dilantik bulan Oktober lalu, akankah mewujudkan harapan baru?
Wacana Prabowo akan memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan korupsinya. Kenaikan PPN menjadi 12 persen ditengah kondisi ekonomi yang stagnan. Kasus Proyek Strategis Nasional PIK2 yang mencederai keadilan masyarakat, namun penguasa seolah membiarkan, indikasi bahwa rezim baru meneruskan kebijakan rezim lama. Lantas, masihkan kita berharap pada sistem sekuler demokrasi akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan pada 2025? Atau justru menjadi mesin massal memproduksi kesengsaraan dan penderitaan.
Harapan Baru Ada pada Islam
Islam agama lengkap dan sempurna diturunkan sebagai solusi problematika manusia. Islam mampu mewujukan keadilan dan kesejahteraan.Penerapan Islam kaffah tegak diatas pilar-pilar, keimanan dan ketakwaan individu yang kokoh, kontrol masyarakat dan adanya negara sebagai penerap syariat Islam.
Ketakwaan dan keimanan individu dibentuk melalui tarbiyah dikeluarga serta sistem pendidikan yang berorientasi mewujudkan kepribadian Islam. Ketakwaan individu akan menjadi benteng yang kokoh dari segala bentuk kemaksiatan, seperti korupsi, mencuri dan sebagainya.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu, juga perasaan dan aturan yang sama. Penerapan Islam secara kaffah akan membentuk perasaan masyarakat sesuai syariat. Rasa benci dan cinta, baik tidak baik distandarkan pada ketetapan Allah. Perasaan ini yang mendorong masyarakat melakukan aktifitas amar ma'ruf nahi munkar bila ada individu yang melakukan kemaksiatan. Masyarakat menjaga individu dalam suasana keimanan dan ketaatan. Individu yang taat, aturan dan perasaan Islam membentuk masyarakat yang khas, istimewa.
Penjagaan disempurnakan dengan keberadaan negara sebagai penerap syariat. Sistem shahih berasal dari Sang Pencipta yang Maha Tahu segala kekurangan manusia. Aturan shahih akan mewujudkan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan.
Fungsi penguasa dalam Islam sebagai periayah, yakni pengurus dan pelayan rakyat. Rasulullah SAW bersabda,
“Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Tanggungjawab periayahan karena dorongan ketakwaan bahwa setiap amanah akan diminta pertanggungjawaban. Selain dorongan ketakwaan ada mekanisme kontrol (muhasabah bagi penguasa) yang dilakukan oleh individu, kelompok partai, majelis umat dan mahkamah madzalim. Sistem ini akan menjaga kekuasaan berjalan sesuai tuntunan syariat.
Penerapan sistem ekonomi Islam membuat ekonomi terdistribusi merata ditengah rakyat. Islam juga mampu mewujudkan keadilan masyarakat sebagai wujud ketaatan pada perintah Allah.
Sejarah mencatat, sistem Islam mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dalam waktu kurang lebih dua tahun mampu mewujudkan keamanan, keadilan dan kesejahteraan.
Kondisi yang tidak mungkin diwujudkan sistem kapitalisme, apalagi sosialisme. Lantas, masihkan kita mau mempertahankan sistem kapitalisme yang menyengsarakan?
Wallahu a'lam
Posting Komentar