Tahun Baru Pajak Baru
Oleh : Yuniasri Lyanafitri
Menjelang akhir tahun 2024 kabar kenaikan pajak menghebohkan seluruh kalangan masyarakat. Bahkan aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM seluruh Indonesia turun ke jalan melakukan demo sebagai penolakan kenaikan pajak tersebut. Selain itu, petisi penolakan kenaikan pajak oleh masyarakat juga semakin menguat. Pasalnya, sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi itu. Petisi ini dilakukan sebagai bentuk protes masyarakat terhadap kenaikan pajak 12%. Menurut inisiator petisi, kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat karena kebijakan yang diterapkan tidak melihat kondisi masyarakat yang tengah mengalami keterpurukan ekonomi. (cnnindonesia.com 28/12/2024)
Di pihak lain, para pengusaha juga ikut menyayangkan kenaikan pajak ini. Walaupun, para pengusaha memang tidak secara langsung terkena dampaknya. Karena modal produksi akan diganti dengan harga jual produk yang dibebankan kepada konsumen. Namun, pengusaha skala besar ini pasti memiliki pinjaman bank dengan bunga bank yang tinggi. Lain halnya dengan para buruh yang mengancam menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12%. Karena dengan naiknya pajak akan berdampak pada naiknya biaya produksi termasuk upah buruh. Sehingga untuk menguranginya, perusahaan melakukan PHK. (cnbcindonesia.com 25/11/2024)
Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi. Hal ini karena konsumsi rumah tangga menurun yang berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi. Anggota DPR RI pun ikut menyoroti masalah ini. Pernyataannya menilai Kemenkeu perlu melakukan terobosan lain dalam meningkatkan pemasukan negara selain melalui pajak.
Kenaikan PPN ini juga pernah mendapat tanggapan dari Ekonom Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr. Kumara Adji Kusuma SFII CIFP pada triwulan awal tahun 2024. Pasalnya kenaikan PPN ini telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini sesuai dengan komentar Sri Mulyani saat mengumumkan kenaikan PPN menjadi 12%. Namun, tetap saja kenaikan PPN memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Walaupun memang menambah pendapatan negara untuk mendukung program fiskal seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. (umsida.ac.id 22/03/2024)
Namun, dibandingkan hal itu, dampak negatif kenaikan pajak dirasa lebih besar. Karena rentetan dampaknya akan terus menekan kehidupan masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah. Mulai dari kenaikan biaya hidup, inflasi, daya beli turun, UMKM akan sulit menaikkan harga jual, menurunkan inovasi teknologi, dan lain sebagainya. Apalagi ternyata UMP tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Oleh karena itu, alumnus ITS, DR. Ir. Arman Hakim Nasution, M.Eng, menyoroti pentingnya kajian akademik sebelum menentukan kebijakan. Karena dengan kajian ahli dapat digunakan sebagai pembanding pada setiap alternatif kebijakan lainnya. Sehingga efektivitas dampak positif dan negatif dari setiap kebijakan dapat diukur dari jangka pendek sampai jangka panjang. Simulasi dinamik dan analisis mendalam akan memberikan ukuran dampak dari kebijakan secara kuantitaif. Karena hal ini menyangkut masa depan Indonesia yang katanya menginginkan menjadi Indonesia emas. (its.ac.id 28/12/2024)
Hal ini semakin jelas terbukti bahwa pemerintah tidak memperhatikan kajian dengan para ahli sebelum menetapkan kebijakan. Walaupun Kemenkeu berdalih telah melakukan pembahasan mendalam dengan melibatkan parlemen, praktisi, dan akademisi, tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena telah disebutkan sebelumnya seluruh kalangan masyarakat menolak kebijakan kenaikan pajak ini. Bahkan sempat ramai warganet mengunggah lambang garuda latar biru sebagai aksi penolakan kenaikan PPN 12%. (kumparanbisnis.com 21/11/2024)
Dalih pemerintah tersebut sebenarnya hal yang biasa dilakukan selama ini. Seolah telah melakukan berbagai hal tetapi faktanya tidak. Mirisnya masyarakat juga tampak tidak peduli atau enggan peduli. Hal ini karena hubungan penguasa dengan rakyat tidak lain hanyalah hubungan penjual dan pembeli. Rakyat hanya diperas sumber dayanya untuk keuntungan penguasa dan pengusaha sebagai rekan bisnis monopoli kekuasaan. Rakyat akhirnya berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Karena percuma menyampaikan keresahannya. Antara tidak didengar atau mendapat kecaman, kriminalisasi, bahkan dipenjara atas tuduhan mencemarkan nama baik penguasa.
Hal ini wajar karena negara menerapkan sistem kapitalis sekuler yang asasnya menjauhkan aturan agama dengan kehidupan. Sehingga semua aturan hidup dibuat oleh akal manusia yang terbatas. Otomatis aturan yang dibuat akan sesuai dengan kepentingan orang-orang yang membuatnya, termasuk penerapan pajak. Karena dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Maka niscaya negara kapitalis akan memungut beragam jenis pajak dan menaikkan besarannya.
Jika masyarakat mulai menelaah dan sadar untuk peduli dengan kebijakan negara, maka akan didapati bahwa pajak benar-benar menyengsarakan kehidupannya. Pasalnya, membayar pajak berarti membiayai seluruh kebutuhan hidup rakyat itu sendiri. Negara sama sekali tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Negara hanya menampung pungutan pajak tersebut. Parahnya negara menggunakan pajak tersebut bukan untuk rakyat tetapi untuk melayani kepentingan para pemilik modal. Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Penguasa pun akan dengan mudah menetapkan kebijakan tanpa mempedulikan rakyat.
Rakyatlah yang diwajibkan membayar pajak karena posisinya sebagai rakyat. Maka wajar banyak yang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi penguasa. Karena penguasa dalam sistem kapitalis akan selamanya menikmati berbagai fasilitas kesenangan hidup asalkan terus melayani para pemilik modal. Salah satunya memberi keluwesan aturan untuk membuka investasi. Dalihnya kepada rakyat untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Dan lagi-lagi rakyat pun meyakininya. Padahal jelas bukan seperti itu.
Maka kebijakan kenaikan pajak ini, seharusnya menjadikan rakyat secara umum benar-benar sadar dan melek akan buruknya pengurusan negara yang menerapkan sistem kapitalis. Dan langsung bertindak untuk mencampakkan sistem rusak dan merusak ini. Karena sebagai seorang muslim dalam memutuskan perkara apapun, seharusnya menggunakan hukum Allah swt, termasuk dalam pengurusan rakyat oleh negara, terutama pungutan pajak.
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pemasukan kas negara. Pajak hanya sebagai alternatif terakhir pendapatan negara dengan kondisi tertentu, negara benar-benar tidak memiliki pilihan lain dan hanya dipungut kepada kalangan tertentu yang tidak akan memberatkannya. Negara yang menerapkan Islam, khilafah memiliki tiga sumber pendapatan negara yang didistribusikan sesuai dengan syariat Islam. Karena khilafah semua sistem kehidupannya berdasarkan akidah Islam sehingga mewujudkan individu dan masyarakat yang takut kepada Allah swt.
Dengan itu, khilafah akan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, individu per individu dalam memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan dasarnya. Penguasanya tidak akan mempermainkan ataupun mengeksploitasi rakyat untuk kepentingannya. Karena khalifah berperan sebagai pengurus dan penjaga rakyat yang senantiasa memperhatikan rakyatnya. Hal ini karena Islam mewajibkan pemimpin untuk bertanggungjawab dan taat kepada penciptanya. Rasulullah saw bersabda, "Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga." (HR. Bukhari, Muslim)
Wallahu’alam bishshowwab
Posting Komentar