-->

Bisakah Kestabilan Harga Terjaga Saat Ramadan?


Oleh : Ummu Aisyah

Ramadan tinggal menghitung hari. Tidak terasa, bulan Syaban sudah akan berganti Ramadan. Tentu akan ada persiapan menjelang merayakan sahur pertama. Selain persiapan bumbu dapur dikala sahur kepepet, harga persiapan untuk hal itu tentunya ada perubahan. Harga sembako yang meroket, menjadi tradisi setiap awal Ramadan dan menjelang lebaran. Ditambah isu awal pajak naik, gas langka dan tetek bengek yang lain yang juga ikut-ikutan naik (baca: bahan pangan). Alhasil, kaum muslimah yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga menjadi pusing dibuatnya. Berusaha agar hemat, faktanya malah kekurangan gizi. Astagfirullah. 

Dilansir dari laman Bisnis.com, (13/02/2025) Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto memerintahkan agar harga pangan stabil saat memasuki bulan Ramadan, termasuk beras. Hal ini disampaikan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi saat ditemui seusai Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Graha Mandiri, Jakarta, Kamis (13/2/2025). “Pokoknya, Pak Presiden perintahnya harga [pangan] baik, harga stabil. Hari ini kita bisa lihat, harga sangat baik, stabil,” kata Arief.

Lantas bagaimana agar keuangan keluarga tetap hemat, tapi dengan tetap menjaga kualitas sandang, pangan dan papan keluarga? Kemudian juga, tanpa mengurangi semangat bersedekah, berinfak dan amalan-amalan lainnya di bulan Ramadan. Dan tentu, ini menjadi PR besar yang harus dipikirkan dengan matang oleh para muslimah cerdas yang telah berumah tangga. 
Sayangnya permasalahan ini, sering mengambil solusi instan, solusi yang hanya bisa diambil oleh masing-masing individu saja. Padahal akan lebih efektif jika negaralah yang memberikan solusi atas membengkak dan menstabilkan harga pangan dan sembako. Yaitu bisa dalam pengaturan maupun kebijakannya. 

Sayangnya sistem yang ada di tengah-tengah kehidupan kita saat ini adalah sistem kapitalis, yang orientasinya adalah mengejar keuntungan. Maka akan sangat sulit berharap dari kebijakan yang ada saat ini. Nah, terkait solusi ekonomis menjelang Ramadan dan lebaran ini, memang ada yang sifatnya jangka panjang dan ada yang jangka pendek, tentu membutuhkan solusi yang berbeda juga. 

Di mana dalam tataran praktis, berarti secara individu, kita harus merencanakan dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan kemaksimalan kemampuan kita secara personal. Sekalipun tidak dapat dipungkiri, ini tidak akan maksimal. Mengingat memang dalam hal ekonomi, akan selalu dipengaruhi oleh regulasi ataupun kebijakan yang ada. Nah, di sinilah kita secara personal mesti berpikir cerdas, melakukan antisipasi di awal tanpa mengabaikan pada masalah mendasar yang ada. Yaitu, bagaimana sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem kapitalisme-neoliberalisme yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti pemilik modal.

Dan dalam sistem ekonomi kapitalisme, realitas kenaikan harga barang seperti di bulan Ramadan serta menjelang lebaran ini dalam hukum ekonomi (pasar), disebabkan oleh dua hal. Pertama, persediaan barang sedikit. Kedua, permintaan (kebutuhan) akan barang itu banyak. Maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik.

Apabila dikupas satu persatu,
Pertama, terkait persediaan, sebagaimana faktanya, pemerintah bahkan melakukan impor bahan pokok, baik beras dll untuk mencukupi kebutuhan pokok rakyatnya, di luar dari harga bahan pokok itu sendiri. Mengingat itu akan dipengaruhi lagi oleh nilai mata uang, dan lainnya. Artinya, di sini sebenarnya ada peran negara yang harusnya memperhatikan bagaimana terkait produksi dan distribusi dari kebutuhan pokok tersebut sampai ke individu-individu rakyatnya. Sehingga akan minim dengan yg namanya spekulasi barang maupun harga.
Kedua, terkait permintaan, berarti itu kembali pada kebutuhan tiap rakyatnya. Artinya ada batas maksimal dalam pemenuhannya. Berbeda halnya dengan keinginan yang memang tidak ada batasnya.

Maka dari itu, saat dikembalikan konsep ekonominya pada konsep ekonomi Islam, jelaslah akan teratasi semua permasalahan yang ada di atas. Karena di dalam sistem ekonomi Islam itu sendiri jelas akan peran masing-masingnya. Terutama peran negara sebagai ri'ayah su'unil ummah (pengurus urusan umat).
Sebagaimana hadis Rasulullah, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

Kemudian juga terkait peran individu, dan masyarakat. Maka harus ada upaya mengingatkan, saat kebijakan-kebijakan yang ada mulai menyengsarakan rakyat. Dan dakwah kepada Islam kaffah, agar keberkahan dirasakan oleh penduduk negeri ini. Ingatlah, bahwa masing-masing kita akan dimintai pertanggung jawaban kelak di hadapan Allah.
“Setiap Kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya”.
(HR. Bukhari Muslim)
Wallahu a'lam bissawab.