-->

BRAIN DRAIN, #KABURAJADULU DAN UPAYA PERUBAHAN


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Hasil survei kepuasan untuk bapak Prabowo dan bapak Gibran mencapai 80%. Tinggi sekali. Saat era pemerintah presiden Jokowi pun hasil surveinya juga tinggi, 86%. Logikanya, harusnya masyarakat tidak harus kabur keluar negeri. Tapi faktanya banyak generasi muda yang berbondong-bondong ke luar negeri untuk bekerja atau belajar. Ini menunjukkan mereka tidak bahagia dengan kondisi di Indonesia. 

Ada yang mempertimbangkan buat kabur, tapi bukan gara-gara di dalam negara tidak ada peluang. Tapi hanya karena terlalu vokal sehingga sering diancam. Ada keterbatasan dalam mengekspresikan pendapat dalam rangka mengkritik, demi memberi masukan pada penguasa. Agar tidak dibatasi ruang geraknya, akhirnya kabur dulu ke luar negeri sambil tetap kritis pada penguasa.

Ada yang sudah biasa kabur karena terkena sindrom orang sering pergi ke luar negeri, sehingga dia kembali dia akan mudah mengumpat dan mengkritik di sana sini. Ada kejomplangan kondisi fasilitas publik yang ada. Contohnya Seperti di Turki yang terkategori belum termasuk negara seperti Amerika atau misalnya Eropa. Sehari-hari di jalan-jalan di Istanbul termasuk termacet di dunia tapi jalannya enak dan nyaman. Truk semua ada di sebelah kiri dan tidak macet di jalan, penataan pedestrian rapi. Begitu juga di Jepang , Eropa. Semua sangat rapi, tidak seperti di Indonesia.

Satu lagi yang lebih penting, yaitu keadilan. Orang tidak akan kabur jika dia puas di bidang penegakan keadilan. Contohnya 261 triliun merugikan negara dihukum awalnya divonis 6 tahun, walau sudah diralat 20 tahun. Tapi di sisi lain, ada seorang nenek yang mencuri sebatang kayu dihukumnya 5/6 tahun. Maka keadilan itu membuat orang kemudian merasa tidak percaya lagi dengan penegakan hukum di negeri ini. 

Surat tanah juga akan didigitalisasi, akan besar kemungkinan menambah carut-marut pengurusan tanah. Belum digitalisasi saja, sertifikat sebidang tanah bisa terbit lebih dari dua sertifikat, apalagi jika sudah digital akan lebih mudah lagi rekayasa sertifikat tanah. Beberapa waktu lalu sebuah bank yang down servernya, sehingga data-datanya hilang semua. Ini menunjukkan betapa lemahnya keadilan. Keadilan itu yang membuat orang merasa “saya tidak bisa hidup di sini lagi”. 

Keadilan atau quality of life (kualitas kehidupan) yang lebih utama? Keadilan lebih penting. Jika kualitas kehidupan, orang masih bisa tahan hidup di sini. Tapi jika sudah menyangkut keadilan, itu orang tidak akan tahan. Karena narasi kabur dulu aja itu berkorelasi dengan kualitas kehidupan.

Kita kini di era bonus demografi. Banyak generasi muda, banyak yang baru lulus sekolah atau kuliah, sedang di usia produktif; tapi ironisnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Mencari kerja dibuat susah oleh kondisi. Lapangan pekerjaan tidak bisa menyerap. Sebenarnya salah satu penyebabnya adalah kualitas hidup yang susah untuk diraih di negeri ini. 

Saat seseorang cari peruntungan di luar negeri karena merasa kondisi carut-marut di Indonesia, kemudian ada satu orang menyatakan bahwa itu tidak nasionalis. Yang lebih menyedihkan sekali, yang menyatakan itu adalah salah satunya adalah seorang Menteri. Jadi ingat kata-kata ini : jangan lihat apa yang negara berikan kepada kamu, tapi lihatlah apa yang kamu berikan kepada negara. Seharusnya pernyataan ini dikembalikan ke mereka, para pejabat-pejabat yang berbicara seperti ini. 

Memangnya apa yang sudah para pejabat lakukan untuk negara? Apa mereka sudah mampu menyejahterakan rakyat? Apa mereka kemudian sudah mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan Indonesia? Tidak kan? Maka jangan berbicara seperti itu. Jika para pejabat melakukan itu karena memang itu sudah tugasnya, mereka dibayar untuk itu. Jika ada yang bilang, apa yang sudah rakyat lakukan untuk negara; bukankah semua sudah rakyat lakukan untuk negara? karena warga bayar pajak. Semua dikenakan pajak. Bukankah itu bukti rakyat sudah berbuat banyak untuk negara? 

Sedangkan fenomena “Brain Drain” yang disebut sebagai biang kerok fenomena kaburajadulu, ini bicara kekecewaan yang dirasakan orang-orang terbaik dari Indonesia yang tidak diberikan ruang aktualisasi di negara kita sehingga berbondong-bondong ke luar negeri. Seharusnya mereka secara potensial itu bisa berkontribusi dan membuat Indonesia lebih baik, tapi karena situasinya seperti ini, memang seharusnya lebih baik arahkan mereka untuk keluar aja dulu semuanya. Agar mereka bisa menghidupi diri sendiri dulu, bisa menaikkan taraf pendidikan mereka dulu. Sehingga jika mereka suatu ketika kembali, mereka bisa memberikan kontribusi terbaik untuk negara. Bisa ikut membangun negara secara langsung. 

Sebetulnya sebelum membahas Brain Drain, ini bukan tentang bagaimana caranya agar orang-orang terbaik ini memberikan yang terbaik untuk negara , tapi pertanyaan : ini bisa atau tidak bisa itu terwujud. Ini dulu yang harus kita jawab. Jika pemerintah bisa menjawab ini, baru kita bisa bahas tentang Brain Drain itu salah atau tidak salah. Tapi jika negara tidak mampu memberikan sebuah solusi untuk ini, berkaitan dengan bisa tidaknya; maka ini bukan masalah pilihan lagi. Karena jika bukan pilihan lagi, maka tidak ada pertanggungjawaban. Tidak perlu mereka, para orang terbaik ini, harus memberikan yang terbaik untuk negara; mereka tak perlu bertanggung jawab tentang itu. 

Jika orang-orang terbaik ini sudah disediakan oleh pemerintah tempatnya untuk beraktivitas, lalu mereka memilih beraktivitas di luar negeri, barulah bisa dibilang : kalian tidak nasionalis. Tapi misalnya pemerintah, seperti saat ini, tidak memberikan pilihan ini, maka : What choice do they have? Apa pilihan yang mereka miliki? Saat susah-susah kuliah di luar negeri, biayanya mahal, di bidang yang sangat strategis untuk kemajuan bangsa dan jurusan langka (teknologi nuklir misalnya); tapi lowongan kerja di Indonesia tidak ada. Kalaupun ada, digaji rendah. Padahal mereka butuh memenuhi kebutuhan anak-istri, belum lagi tuntutan untuk meningkatkan kualitas diri dengan riset dan penelitian, yang tentu biayanya selangit; sedangkan negara hanya menyediakan sedikit anggaran untuk riset yang menetes hanya sedikit karena habis dikorupsi tikus-tikus.

What choice do they have? Benar. They don't have alternative, mereka tidak punya alternatif pilihan. Maka dalam situasi ini, tidak ada pertanggungjawaban. Karena tidak ada alternatif. Contohnya : kita tidak pernah bisa memilih kita berasal dari orang tua yang seperti apa. Maka benar kita tidak punya pertanggungjawaban mengapa punya orang tua seperti ini. Karena kita tidak punya kuasa untuk memilih dari mana orang tua kita berasal. Maka kasus Brain Drain ini, orang-orang pintar itu tidak punya pilihan. Jadi wajar mereka mencari penghidupan lebih baik di luar negeri. 

Tapi ada orang-orang idealis yang menjadi bagian dari orang yang terbaik ini, tetap memilih di sini dan tidak kabur ke luar negeri. Alasan mereka sederhana. Karena Allah memilih tempat untuk mereka di sini. Disinilah tempat mereka melakukan perubahan. Karena mereka sudah dikasih Allah keistimewaan, berupa kepandaian, title mentereng, kesuksesan duniawi; sehingga mereka bisa jadi katalis untuk membuat perubahan. Tapi mereka tidak punya power untuk membuat perubahan. 

Ada orang di Indonesia yang mempunyai link jaringan alias banyak kenalan serta koneksi, sangat kaya, sangat kenal semua orang-orang kuat dan lain-lain; aset-asetnya triliunan; tapi dia memilih untuk ke Singapura. Dia termasuk kabur aja dulu. Alasannya jika dia tidak keluar, otaknya akan minus. Ini bukti Indonesia tidak menyediakan platform untuk level up ruang. Ruang bagi orng-orang pintar ini untuk berkembang dan naik tingkat, ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga bisa disimpulkan, jangan gabungkan orang-orang medioker (rata-rata kebanyakan orang) dengan orang-orang outliers (orang yang di luar kebiasaan). Jika outliers digabung medioker, jadinya medioker. Tapi kalau outliers digabungkan dengan outliers, jadinya kuadratik benar; menjadi Kumpulan orang kuat.

Secara gampangnya, orang yang menuduh tidak nasionalis pada orang yang kaburajadulu, itu seperti : ada orang tua yang bilang pada anaknya : nak belajar, ini bukunya, ini sekolahnya. Tapi anaknya malah main game. Maka wajar kalau orang tuanya bilang ke anaknya : kamu malas. Ini tidak ada bukunya, untuk sekolah tidak dikasih uang, akibatnya tidak ada ruang pekerjaan. Malah anggarannya dipotong. Terus tiba-tiba dibilang : kamu malas. Jelas anaknya bingung. Ada perbedaan antara orang mau tapi tidak bisa, serta ada orang bisa tapi tidak mau. Indonesia bagian mana? 

Orang-orang pintar merasa mentok di sini, akhirnya mereka pakai kabur aja dulu sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi. Apakah itu akan tersampaikan atau tidak, kita tidak tahu. Ini bisa sebagai katalis untuk membuat perubahan yang konkret. Satu orang yang voiceless (seakan tak punya suara) itu berat, tapi jika ditambah orang menjadi dua yang voiceless, dan tiga orang yang voiceless menjadi voice. Akhirnya mampu bersuara. Karena di Indonesia, jika tidak viral tidak jalan, no viral no Justice alias jika tidak viral tidak aka nada keadilan. ini betul. 

Seperti dulu masalah kasus Garuda Biru yang viral sebagai pertanda bahwa rakyat harus bergerak mencegah upaya DPR untuk mengubah UU berkaitan dengan batas usia calon calon kepala daerah agar putra presiden bisa ikut mencalonkan. Akhirnya karena banyak yang bersuara tentang garuda biru ini, lalu ini dikoordinir dan disampaikan, akhirnya berhasil mewujudkan perubahan. 

Ada dua pendekatan ulama ketika lagi ada masalah. Dulu pernah ada bahwa Al-Quran itu dikatakan sebagai makhluk. Ada dua tipe ulama dalam menghadapi hal ini. Yang satu kabur aja dulu, namanya Imam Syafi'i yang sekarang dipakai di Indonesia mazhabnya. Dia kabur dari Baghdad pergi ke Kairo. Alasannya adalah dia perlu untuk membangun dengan sesuatu yang lebih baik untuk memperbaiki masa depan. Syaratnya dia punya kemampuan, dia punya konsep yang sudah jelas dan dia bisa eksekusi. Imam syafi’I tipikal Brain Drain. Yang tipe dua, ada ulama yang tetap di sini walau harus mati. Namanya Imam Ahmad bin Hambal nih karena dia bilang : tidak apa-apa Ahmad tidak selamat, selama orang tidak tersesat. Jika orang masih ada yang tersesat, setidaknya dia sudah mencoba melakukan tugas beban peradaban.

Kita semua terlahir punya beban peradaban. Solusinya dengan pengorbanan melakukan upaya perubahan, baik kabur dulu atau tidak. Tapi ada opsi ketiga. Belajar dari pengalaman dari upaya melakukan perubahan, melakukan sejumlah persiapan karena andai ada sesuatu yang menimpanya, Bersiap menjadi martir yang akan berkorban. Tapi harus memastikan jika akhirnya harus jadi martir yang berefek entah kematian atau dipenjara; tetap ada yang bisa melanjutkan perjuangan perubahan ini; yang efeknya akan lebih dahsyat dibanding dibandingkan dia ada dulu. 

Sebenarnya kita selalu pasti ada pengorbanan. Termasuk dalam memperjuangkan kebenaran. Saat waktunya memang yang harus menjadi korban adalah kita, harus dipastikan yang melihat jauh lebih sakit. Itu ada di dalam Al-Qur'an, yang ada tiga jenis kemenangan. Satu, kemenangan pribadi atas pribadi yang lain. Contohnya ketika kita debat sama orang, kita menang, itu kemenangan pribadi; tidak begitu bagus. Kedua, kemenangan atas opini, yang harus memastikan ada sesuatu yang besar yang terjadi Ketika kita menjadi korban. Ketiga, kemenangan penerapan aturan secara utuh pada Islam.

Dalam Al-Qur'an, ada seorang pemuda yang dia itu beriman di tengah-tengah kondisi banyak orang tidak beriman. Akhirnya dia dimarahi banyak orang, padahal dia keluarga bangsawan. Dia mau dibunuh. Saat dia akan dibunuh, dia berkata : Aku tidak percaya ada satupun kekuatan selain Allah yang bisa membunuhku. Ternyata benar, dia dicoba untuk dibunuh seperti apa pun tidak bisa mati. Setelah itu dia bilang : Raja mau bunuh aku? Raja bilang iya, karena kamu mengganggu ketertiban. Lalu dia bilang begini : boleh, tapi saat kamu mau bunuh saya, saya sarankan di sebuah perayaan hari raya, agar orang-orang pada ngumpul semua. Lalu dia diposisikan di sebuah pohon ditengah orang-orang yang menonton. Raja memanah dia berkali-kali agar dia mati, tidak berhasil juga. Lalu dia bilang begini pada raja : jika kamu mau bunuh aku, bilang begini : Bismillah dengan nama Tuhan yang mempunyai nyawa anak ini, aku mau bunuh dia. Setelah raja mengatakan hal, lalu dilepaskan panahnya, akhirnya anak itu mati. Dampaknya, rakyat yang menonton percaya bahwa dia beriman, dan akhirnya rakyat pun ikut beriman. 

Bagi orang yang ingin melakukan perubahan, akan takut mati sia-sia. Khawatir karena dampak kekritisannya, lalu mati, tapi matinya tidak berdampak pada masyarakat. Tapi jika direnungkan, para “agen perubahan” ini, apabila dilahirkan di kondisi yang serba nyaman, akankah mereka juga akan melakukan upaya perubahan? Belum tentu. Artinya, mereka memang dibentuk di sini. Itulah namanya beban peradaban. Artinya, ada problem yang kompleks seperti saat ini, akhirnya membuat mereka berpikir mau kabur atau tidak menyelesaikan fakta menyedihkan ini. Justru itu menandakan kualitas mereka yang sebenarnya. Beban peradaban, berarti berbicara ada “moral obligation” alias tanggung jawab moral. Tapi harus ada yang mengkoordinir. Tapi jika tidak, paling tidak untuk meminta komitmen orang dengan menyediakan ruang untuk itu. Setidaknya itu yang mereka buat di dalam dakwah 

Jika masalah terkoordinir, orang jahat jauh lebih terkoordinir, orang baik terlalu terpecah-pecah. Di Indonesia itu banyak orang netral, ini masih mending daripada orang apatis yang paling susah sebenarnya dikumpulkan. Orang netral terkoordinir, bagaimana caranya? Orang netral ini dikatakan “swing voters”. Faktanya, yang berkomitmen terhadap agama cuma sekitar 15%, yang tidak komitmen terhadap agama/memusuhi agama sekitar 15%, sisanya “swing voters” yaitu sekitar 70%. Jumlahnya cukup banyak. Mereka menjadi swing voters bukan karena mereka malas, atau apatis; tapi mereka tidak teredukasi. Sehingga sejauh mana kita bisa melakukan penetrasi edukasi pada mereka. Problemnya adalah, orang-orang yang sudah terorganisasi secara keburukan ini mereka menghalangi agar edukasi ini tidak terjadi. Sehingga jangan salah pilih senjata dalam edukasi/dakwah. Kuncinya ada pada teknologi. Karena orang-orang jahat sekarang metodenya sebenarnya itu-itu saja. 

Sehingga jika ingin kabur saja dulu, tidak masalah. Salah seperti Imam Syafii, bahwa kabur dalam rangka mempersiapkan diri dengan baik, untuk bisa Kembali dalam rangka melakukan perbaikan di dalam negeri. Jadilah agen perubahan, untuk melakukan dakwah ke jalan Islam. Percayalah, walau kondisi negeri ini saat ini sangat memprihatinkan akibat ulah oknum para pejabat dan system sekuler kapitalisme yang merusak; masih banyak “swing voter” yang butuh uluran tangan para agen perubahan untuk diedukasi. Sehingga perlahan bisa membawa mereka ke arah perubahan hakiki dengan Islam.

Sumber : podcast Raymond Chin dan ustad Felix Siauw 
“Kabur Aja Dulu, Indonesia Gelap?”
https://youtu.be/MIo4tGN11j0?si=w7GgNke_C_6zYNPe