-->

Duduk di Lantai: Potret Buram Empati di Dunia Pendidikan

 

Oleh: Ummu ilzam (Pemerhati remaja)

Pendidikan sejatinya adalah ruang yang membentuk karakter, menyemai mimpi, dan merawat kemanusiaan. Di dalamnya, nilai-nilai keadilan dan empati seharusnya tumbuh subur, menghidupkan semangat belajar bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Namun, apa jadinya jika empati ruh dari pendidikan itu sendiri perlahan memudar? Di balik slogan indah tentang kesetaraan, ada wajah-wajah muram yang duduk di lantai, menjalani hari-hari belajar dengan keterbatasan. Mereka hadir, namun seperti tak terlihat, berjuang, namun seolah tak diperjuangkan. Di tengah gedung-gedung megah yang disebut sekolah, ada tanya besar yang menggema: benarkah pendidikan telah menjadi rumah yang adil dan ramah bagi semua? Atau justru, di sudut-sudut tertentu, ada jiwa-jiwa kecil yang terabaikan?

Di beberapa wilayah, masih ditemukan sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas memadai, seperti meja dan kursi yang layak. Murid-murid terpaksa duduk di lantai saat belajar, mencerminkan adanya kesenjangan yang nyata dalam sistem pendidikan.

Sedangkan Pemerintah sering kali menggaungkan pendidikan inklusif dan berkeadilan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya murid-murid yang tertinggal, baik dari segi fasilitas maupun perhatian. Ketidakadilan ini tidak hanya berdampak pada proses belajar, tetapi juga memengaruhi psikologis siswa. Anak-anak yang duduk di lantai atau belajar dalam kondisi terbatas merasa minder dan kurang percaya diri dibandingkan dengan mereka yang bersekolah di lingkungan yang lebih baik.

Dan dampak dari itu semua Penurunan Motivasi Belajar akibat ketimpangan fasilitas yang membuat siswa kehilangan semangat belajar, merasa terabaikan, dan memandang pendidikan sebagai sesuatu yang tidak membawa harapan.

Kehilangan Potensi Bangsa. Anak-anak yang terabaikan di dunia pendidikan mungkin  memiliki potensi besar yang tidak dapat berkembang akibat lingkungan yang tidak mendukung.

Dalam kapitalisme, solusi sering diarahkan kepada sektor swasta untuk mengambil peran dalam membangun fasilitas pendidikan. Sekolah-sekolah swasta dengan fasilitas lengkap dianggap dapat mengisi kekurangan yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah. Namun, ini menciptakan tantangan lain berupa mahalnya biaya pendidikan sehingga hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu.

Sistem kapitalisme cenderung memprioritaskan keuntungan. Pendidikan sering kali dipandang sebagai "produk" yang dijual kepada masyarakat. Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah miskin, yang tidak dianggap menguntungkan, sering kali diabaikan.

Dalam kapitalisme, pendidikan sering kali menjadi komoditas yang hanya dapat diakses sepenuhnya oleh mereka yang mampu. Solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah, yakni pemerataan fasilitas dan perhatian kepada siswa yang paling membutuhkan. Karena itu, pendekatan kapitalisme kerap menghasilkan ketimpangan yang lebih besar daripada mengatasinya.

Solusi dalam Pandangan Islam

Menanamkan Nilai Empati sebagai Ruh Pendidikan

Pendidikan harus kembali pada tujuan utamanya,membentuk manusia yang adil dan berakhlak mulia. Islam mengajarkan pentingnya empati, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, yang selalu peduli terhadap kebutuhan umatnya, termasuk dalam hal pendidikan.

Pemerintah sebagai Pemimpin Amanah

Dalam Islam, pemimpin memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pendidikan. Rasulullah SAW bersabda: "Seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya." (HR Bukhari).

Dalam Islam, pendidikan sejati adalah yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan. Jangan biarkan ada lagi anak yang duduk di lantai tanpa pilihan, karena setiap jiwa kecil berhak atas mimpi besar. Islam telah menggariskan keadilan sebagai pilar peradaban, dan pendidikan adalah jembatannya.