Efisiensi Anggaran Berimbas Gejolak di Masyarakat, Begini Cara Pemerintah Mengelola Negara?
Oleh : Dewi Purnasari, Aktivis Dakwah Politik
Pemerintah melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 melakukan reviu kepada para pihak terkait. Pihak-pihak tersebut seperti para Menteri Kabinet Merah Putih, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan beberapa institusi lain. Reviu tersebut dalam rangka melakukan efisiensi atas anggaran belanja negara Tahun Anggaran 2025, Salinan Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia (22/01/2025).
Instruksi Presiden tertanggal 22 Januari 2025 tersebut bertujuan untuk menerapkan efisiensi atas anggaran belanja negara Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 306.695.177.420.000 dimulai sejak tanggal dikeluarkannya instruksi tersebut. Jadi anggaran belanja Kementerian atau Lembaga dan transfer ke daerah harus dikurangi. Sementara Menteri atau Pimpinan Lembaga harus melakukan identifikasi rencana efisiensi belanja Kementerian atau Lembaga sesuai besaran yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ini artinya belanja operasional perkantoran, belanja atas pemeliharaan, bantuan pemerintah, pembangunan pengadaan peralatan dan mesin akan dipangkas.
Akan dilakukan pula pemangkasan anggaran untuk belanja kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar atau focus group discussion dan belanja perjalanan dinas sebesar 50% serta pembatasan belanja honorarium. Menteri Keuangan juga diharuskan menetapkan masing-masing besaran efisiensi anggaran Kementerian atau Lembaga belanja. Ini berarti anggaran untuk Kementrian atau Lembaga akan dikurangi. Gubernur dan Bupati atau Wali Kota juga harus memantau efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2025 ini agar dalam pengelolaannya mencukupi.
Namun, kebijakan yang pada awalnya terkesan spektakuler dan seolah pro rakyat ini ternyata merimbas pada banyak sektor kehidupan, seperti pada program-program yang sedang berjalan dan pengurangan jumlah pekerja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama menimpa karyawan yang berstatus tenaga lepas. Akhirnya mereka terpaksa digaji sesuai durasi waktu kerja atau proyek yang mereka ikuti. Tak sedikit pula yang terancan PHK.
Beberapa Kementerian dan Lembaga bahkan kesulitan membayarkan gaji karyawan dan tunjangan. Belum lagi dilakukannya pengurangan anggaran peralatan dan fasilitas kantor seperti alat elektronik dan penghematan AC di ruangan kantor. Kondisi ini tentu akan berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan dan menurunkan semangat kerja karyawan, tirto.id (17/02/2025). Alhasil, meskipun pemerintah katanya akan menjamin efisiensi anggaran dengan tidak akan mengurangi hak-hak masyarakat, pelayanan publik dan bantuan sosial. Namun, faktanya terbukti sebaliknya.
Banyak kalangan menilai bahwa efisiensi anggaran sebenarnya bisa dimulai dari perampingan struktur pemerintahan. Hal ini mengingat Kabinet Merah Putih (KMP) saat ini memiliki lebih dari 30 orang menteri, belum termasuk wakil-wakil menteri, staf-staf khusus dan berbagai lembaga non-kementerian lainnya. KMP ini dikenal sebagai salah satu kabinet terbesar di dunia. Perampingan kabinet tentu lebih bisa meng-efisien-kan anggaran daripada sekadar memotong belanja barang atau subsidi.
Struktur pemerintah yang gemuk justru berdampak langsung pada besaran anggaran yang dibutuhkan, seperti gaji, tunjangan, fasilitas, hingga biaya operasional lainnya. Jika jumlah menteri lebih sedikit, koordinasi antar lembaga menjadi lebih mudah dan cepat. Persoalannya terletak pada bagaimana kepiyawaian pemerintah dan jajarannya mengelola sumber daya manusia dan menjalankan birokrasi yang efektif.
Pemangkasan anggaran melanda beberapa kementerian dan lembaga seperti Kemendikti Saintek, Kemenpora, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kementerian Kesehatan. BMKG juga terdampak pemangkasan anggaran sehingga mengalami penurunan kemampuan pemeliharaan SiMace (Sistem Monitoring Aloptama Cermat) hingga 71 persen. Ini berakibat akurasi informasi cuaca, iklim, gempa, dan tsunami menurun dari 90% menjadi 60%. Ini akan memperlambat peringatan dini tsunami dan mengurangi jangkauan informasi gempa dan tsunami, dan ini sangat berbahaya.
RRI dan TVRI beberapa waktu yang lalu juga merasakan imbas efisiensi anggaran sehingga nyaris merumahkan sebagian besar karyawannya di seluruh Indonesia. Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah beberapa lembaga yang juga terdampak pemangkasan anggaran. Padahal semua lembaga tersebut adalah institusi penting bagi pelayanan publik yang seharusnya dijamin ketersediaannya oleh pemerintah.
Gagasan penghematan anggaran sebenarnya bisa menjadi cara dan langkah yang populis mengingat kondisi ekonomi negeri ini yang sedang morat-marit. Namun, tentu harus dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh akar permasalahannya. Sehingga jangan sampai upaya efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah berimbas menimbulkan gejolak di masyarakat. Bayangkan, di tengah terus merosotnya nilai tukar rupiah akibat ketidakpercayaan dunia internasional pada kinerja pemerintahan Indonesia, masyarakat kecil harus merasakan kesulitan hidup yang semakin mengimpit akibat melambungnya harga-harga yang diberengi dengan tingginya angka pengangguran dan meningkatnya PHK.
Penderitaan masyarakat kelas bawah ini diperparah dengan tingginya utang negara dan cekikan pajak pada hampir semua lini kehidupan. Utang negara yang berbasis riba harus dibayar jika jatuh tempo, sementara negara sangat berat membayarnya. Jadilah pajak digenjot sehingga makin mencekik rakyat. Namun, meski pajak begitu keras memalak rakyat penerimaan pajak tidak mencapai target. Ini akibat bermasalahnya Cortex System, sistem perpajakan berbasis digital yang terbaru. Akibatnya hingga Januari 2025 Direktorat Jenderal Pajak hanya bisa mengumpulkan Rp 50 triliun, jauh di bawah capaian tahun lalu sebesar Rp 172 triliun. Defisit ini mengguncang keuangan negara.
Seharusnya tidak demikian caranya mengelola negara. Utang dalam negeri ataupun utang luar negeri tidak boleh ada. Negara jangan berutang, apalagi utang berbasis riba. Rakyat dilarang dipajaki, justru pemimpin negara seharusnya menjamin kebutuhan rakyat terpenuhi. Bukan malah memalaki. Sumber keuangan negara sangat banyak, diantaranya adalah dari fai, kharaj dan usyr yang didapat dari negara kafir yang ditaklukan lewat peperangan atau dengan cara damai.
Kebutuhan akan hajat hidup sehari-hari bagi rakyat bisa didapat dari pengelolaan sumber daya alam oleh negara. Hasil pengelolaannya didistribusikan secara cuma-cuma kepada seluruh warga negara baik miskin maupun kaya sebagai bagian dari pelayanan bagi rakyat. Ya, pemimpin menurut Islam adalah pelayan rakyat dan ia akan diminta tanggung jawab kepemimpinannya di dunia dan di akhirat kelak. Alhasil, tidak akan ada efisiensi anggaran yang berimbas menyengsarakan rakyat. Namun, kondisi ini hanya bisa terwujud jika dan hanya jika negara diatur dengan sistem Islam, bukan dengan sistem lain. []
Posting Komentar