Hakikat Pemimpin dalam Islam
Oleh : Asti Marlanti
Sungguh miris. Negeri yang kaya raya ini bernasib tragis karena dipimpin oleh pemimpin yang bengis, rakyat pun meringis dengan berbagai kebijakan strategis. Alih-alih pulih secara ekonomi, politik dan sebagainya, justru rakyat makin menderita dengan kebijakan yang ada. Lalu bagaimanakah hakikatnya seorang pemimpin atau penguasa di dalam Islam?
Islam memandang bahwa pemimpin itu hakikatnya pengurus dan pelayan rakyat. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:
فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Pengurusan rakyat (ri’âyah) itu dilakukan dengan siyâsah (politik) yang benar. Yakni, seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim bahwa ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariat serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang amanah.
Pemimpin yang amanah akan menunaikan tugas ri’âyah, yakni memelihara semua urusan rakyatnya seperti: menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman, termasuk dari oligarki. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).
Rasul saw. banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin yang tidak amanah/khianat dan zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR at-Tirmidzi). Mereka adalah pemimpin yang dibenci oleh Allah Swt., dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim). Mereka adalah pemimpin bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul saw. dan tidak mengikuti Sunnah beliau (HR Ahmad). Mereka adalah penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim). Mereka adalah penguasa yang menipu (ghâsyin) rakyat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, sistem pemerintahan demokrasi-kapitalis-sekuler yang diterapkan negeri ini, justru banyak melahirkan para pemimpin yang banyak dicela oleh Rasulullah saw. sebagaimana dalam hadis-hadis di atas. Sebabnya, mereka yang akan memegang tampuk kekuasaan acapkali berada di bawah kendali para cukong yang selama ini men-support mereka dengan banyak gelontoran dana pada musim Pemilu. Mereka tentu akan lebih loyal kepada para pemodal mereka daripada kepada rakyat mereka.
Dengan demikian, jangan heran jika banyak pejabat yang kehilangan rasa empati sekalipun rakyatnya menderita. Mereka lebih memilih memperkaya diri dan koleganya (oligarki) daripada peduli kepada rakyat mereka sendiri. Begitulah realitanya.
Selain itu, para pemimpin yang terpilih, mereka akan melakukan balas budi, dengan memberikan kue-kue kekuasaan untuk dinikmati para oligarki dan penguasa. Mereka berpesta pora sedangkan rakyat jungkir balik mati-matian mempertahankan hidupnya hanya untuk bisa sekadar bertahan dengan kebijakan yang menyengsarakan.
Lalu, bagaimanakah seharusnya seorang pemimpin dalam Islam?
Sesungguhnya, tanggung jawab pemimpin berkaitan dengan sifat yang wajib ada pada dirinya, sebagaimana disebutkan dalam banyak Hadis Rasul saw. Di antara yang paling menonjol adalah sifat kuat, takwa, lembut terhadap rakyat dan tidak membuat rakyat menjauh.
Seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat, bukan orang yang lemah. Abu Dzar al-Ghifari menuturkan, ia pernah berkata kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat aku menjadi amil?” Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda, “Ya Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.” (HR Muslim).
Kuat di sini bukanlah kuat secara fisik meski kekuatan fisik juga sangat membantu seorang pemimpin untuk menunaikan tugas kepemimpinannya. Kuat di sini bermakna kuat syakhshiyah (kepribadian)-nya, yakni kuat ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Pola pikirnya haruslah pola pikir islami. Ia memahami berbagai perkara berdasarkan akidah dan syariat Islam. Pola sikapnya juga haruslah pola sikap islami. Ia menjalankan kepemimpinan dan mengelola perilakunya layaknya pemimpin sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Kekuatan kepribadian ini harus diiringi dengan sifat takwa dan kontrol diri yang juga kuat supaya tidak kebablasan. Karena itu pemimpin harus memiliki sifat takwa baik berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dalam ri’ayah (pemeliharaan)-nya terhadap urusan rakyatnya. Seorang pemimpin yang bertakwa kepada Allah, senantiasa bertaqarrub kepada-Nya dan sadar senantiasa diawasi oleh Allah tentu tak akan berani menindas rakyat.
Namun demikian, ketakwaan seorang pemimpin tidak seharusnya menghalangi dirinya untuk bersikap tegas dalam menegakkan kebenaran. Ini karena pemimpin harus terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Dengan demikian kuat di sini juga mencakup sikap tegas terhadap setiap bentuk kemaksiatan dengan tetap bersikap seimbang dan adil menurut tuntunan syariah terhadap pelakunya tanpa pandang bulu.
Meski pemimpin itu harus bersikap tegas, ia juga harus memiliki sikap lembut kepada rakyatnya dan tidak memberatkan mereka. Karena itu Rasul saw. pernah berdoa tentang hal ini:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia; dan siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia berlaku lembut kepada mereka, maka perlakukanlah dia dengan lembut (HR Muslim dan Ahmad).
Pemimpin juga harus menggembirakan rakyatnya, bukan membawa kesedihan bagi mereka. Pemimpin pun harus memudahkan urusan rakyatnya, bukan malah mempersulit mereka. Demikian sebagaimana sabda Rasul saw.:
بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا
Gembirakanlah mereka, jangan membuat mereka lari. Permudahlah urusan mereka, jangan mempersulit mereka (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Itulah gambaran sebagian tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya yang telah ditentukan oleh Islam. Semua itu hanya akan bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Sebabnya, sosok pemimpin yang baik saja tidak cukup. Pemimpin yang baik harus ada dalam sistem pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan yang baik tentu harus bersumber dari Zat Yang Mahabaik, Allah SWT. Itulah sistem yang telah diamanahkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum Muslim sepeninggal beliau, yakni Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb
Posting Komentar