Hancurnya Mental Generasi Milenial
Oleh : Dinda Kusuma WT
Generasi muda, merupakan pelaku utama panggung era milenial dan digital. Mereka seakan memiliki kekuatan dan keunggulan tersendiri, baik dibandingkan generasi yang lebih tua, maupun dibandingkan generasi muda era sebelumnya. Namun sayang, banyak fakta menunjukkan bahwa mental generasi saat ini sangat lemah dan rapuh.
Disuguhi berbagai kemudahan dengan fasilitas kehidupan yang semakin modern, ternyata tidak bisa memberi kenyamanan hakiki bagi manusia. Begitu rapuhnya mental remaja, hingga penyakit mental (mental illness) merasuki hampir seluruh remaja di penjuru Indonesia.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga /Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut remaja yang menderita kesehatan mental sangat tinggi, yaitu mencapai 15,5 juta orang atau setara 34,9 persen dari total remaja Indonesia. Wakil Menteri Kementerian Kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan, “Hal ini tentu saja menjadi keprihatinan kita bersama, mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan penduduk merupakan modal dasar dari pembangunan itu sendiri,” kata Isyana dalam acara Konsolidasi Nasional Pemimpin Muda Hindu di Pusat Pendidikan dan Letihan Kementerian Agama, kawasan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten seperti dikutip dari pernyataan resmi kementerian, Jumat, 14 Februari 2025 (Tempo.com, 15/02/2025).
Beberapa hal yang menjadi indikasi penyakit mental pada generasi muda adalah tampaknya tanda-tanda gangguan emosional. Gangguan emosional ini apabila dibiarkan berpotensi menyebabkan perilaku yang lebih mengkhawatirkan, seperti depresi, cenderung melakukan kekerasan, kriminalitas, hingga bunuh diri. Begitu banyak fakta yang kita lihat hampir setiap hari. Ada pemuda membunuh orang tuanya, bullying dimana-mana, kasus bunuh diri anakpun semakin banyak.
Kondisi miris ini harusnya membuka mata kita tentang kondisi generasi bangsa saat ini. Bobroknya mental anak muda tentu tidak lepas dari sistem kehidupan yang ada saat ini. Mengakarnya sekulerisme, yaitu pemisahan nilai agama dari kehidupan, nyatanya tidak memberi sumbangsih apapun terhadap kemajuan zaman. Malah menghantarkan manusia pada kehancuran dan kebinasaan.
Sistem Kapitalisme, dimana segala sesuatu diukur dari banyaknya materi, menambah beban mental milenial. Ditambah tren flexing hedonisme di media sosial yang membuat insecure atau minder bagi orang-orang yang merasa tidak mampu mengikuti persaingan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata bisa menjadi boomerang jika tidak disertai keimanan yang kuat. Dalam sistem kapitalisme, kesuksesan selalu diukur dari banyaknya harta yang dimiliki. Khusus mahasiswa yang bersiap menghadapi persaingan kerja, tentu patokan ini menjadi beban yang berat. Lebih-lebih melihat kenyataan buruknya perekonomian negara. Bukan sesuatu yang langka jika sarjana kesulitan mencari kerja.
Negarapun tak banyak andil dalam mengatasi masalah ini. Alih-alih mengatasi, menyadari bahwa fenomena mental illness ini adalah masalah serius saja belum tentu. Padahal hanya negaralah satu-satunya institusi yang memiliki sumber daya terbesar untuk mengatasi berbagai persoalan rakyat. Namun dalam sistem kapitalisme, negara hanya penonton dan regulator.
Masuknya budaya luar negeri secara membabi buta juga menjadi salah satu faktor pendukung rusaknya mental remaja. Salah satu contohnya adalah masuknya budaya K-Pop. Mulai dari musik K-Pop, cara berpakaian ala Korea, tren mukbang, drama Korea dan lain sebagainya. Dimana kita ketahui, Korea Selatan adalah salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Artinya, begitu banyak kerusakan mental dan pola pikir yang akhirnya menjadi teladan remaja Indonesia. Tak jarang dalam drama Korea ditampilkan adegan bunuh diri. Tontonan semacam ini, yang terutama disukai oleh wanita, khususnya mahasiswi, pasti mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka di dunia nyata.
Satu hal lain yang menjadi faktor penting dalam membentuk karakter dan mental adalah sistem pendidikan. Kondisi generasi muda saat ini membuktikan bahwa sistem pendidikan telah gagal mencetak manusia tangguh. Kendati kurikulum digonta-ganti berkali-kali, ternyata tidak mampu mensolusi persoalan generasi. Sistem sekularisme terbukti secara mutlak telah gagal memberi solusi, kedamaian, dan kenyamanan bagi seluruh umat manusia.
Islam telah memahami persoalan manusia secara komprehensif. Islam memandang bahwa tujuan hidup manusia semata-mata adalah meraih ridha Allah. Kehidupan dunia adalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang disana manusia diperintahkan mencari bekal kebaikan. Maka tidak sedetikpun waktu yang sia-sia bagi setiap manusia hidup di dunia ini. Tidak ada kata stress atau depresi.
Menerapkan sistem Islam adalah satu-satunya cara logis yang harus ditempuh agar Indonesia, dan seluruh dunia, bisa bangkit dari keterpurukan. Islam tidak hanya memiliki aturan tentang ibadah ritual saja, tapi juga aturan lengkap seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari aturan bagi individu, muamalah dalam kehidupan bermasyarakat, hingga urusan negara.
Masalah mental atau karakter manusia adalah hal pertama yang diperhatikan oleh Islam. Penanaman akidah Islam dimulai secara serius sejak dini. Negara menjamin kurikulum pendidikan mampu membentuk pribadi bertaqwa dan berjiwa pemimpin sehingga jauh dari perilaku bunuh diri. Tidak ada solusi yang lebih tepat bagi persoalan penyakit mental ini selain sistem islam.
Wallahu a'lam bisshawab.
Posting Komentar